Edrico Stevanus, pria single, belum pernah menikah, tiba-tiba harus menjadi hot daddy? Bagaimana bisa?
Ikuti yuk petualangan Rico—sang bodyguard dalam keribetannya mengurus seorang balita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 ~ Malam Kelam
Airin langsung menangkap tubuh putranya, memeluknya dengan sangat erat. Matanya terpejam beriringan dengan bulir bening yang membasahi pipi.
Dadanya mengembang untuk menarik oksigen sebanyak-banyaknya. Mengusir sesak yang sejak lama begitu menyiksa. Cukup lama mereka berpelukan dalam keheningan. Hanya air mata yang berbicara atas keharuan ibu dan anak itu.
“Ibu, aku punya ayah,” ujar Rain memamerkannya. Ia melepas lilitan tangan, agar bisa menatap wajah ibunya.
“Oh ya?” seru Airin menanggapi.
“Heem. Ayah sangat baik. Aku dibeliin mainan banyak, diajak main, ditemani ke dokter. Aku mau ikut sama ayah terus. Ayah tidak pernah marah, tidak pernah mencubitku. Tapi ....” Rain menunduk tiba-tiba raut mukanya menjadi sedih.
Airin mengernyitkan keningnya, “Tapi kenapa?” tanya wanita itu penasaran sembari mengangkat dagu putranya. Manik mata Rain mulai berkaca-kaca.
“Ayah akan pergi dengan perempuan itu. Dia pasti akan meninggalkan aku. Seperti Ayah Satya. Aku benci kakak itu, Bu. Aku nggak suka!” Rain kembali menangis dan memeluk ibunya erat.
Airin berjalan dan duduk di teras butik tersebut. Ada beberapa kursi dan meja yang tersedia di sana. Ia memilih tempat duduk di paling sudut dan jauh dari lalu lalang pengunjung. Wanita itu menelan salivanya dengan berat. Mengerti dengan ketakutan putranya. Ia memeluk Rain begitu erat dengan tangis yang kembali pecah. Mengingat malam ketika tragedi itu terjadi.
Flashback ....
Malam tanpa bintang, langit berselimut awan hitam. Bersiap menurunkan titik-titik air. Rain merengek ingin membeli coklat dan eskrim favoritnya di minimarket. Ia tak sabar jika harus menunggu kepulangan Satya—sang ayah. Lelaki itu mengatakan pulang sangat larut karena lembur.
“Baiklah, kita beli sekarang. Tapi, kamu harus berhenti menangis.” Airin membesarkan hati anaknya. Tidak tega melihat putranya itu terus menangis.
“Heem!” Rain mengangguk.
Ibu dan anak itu keluar dari rumah, menunggu beberapa saat di tepi jalan, hingga menghentikan sebuah taksi. Keduanya masuk dengan bersemangat untuk berbelanja.
Di tengah jalan, tepat di sebuah cafe outdoor yang menyajikan konser mini mengalihkan perhatian Airin. Bukan konsernya, melainkan ia melihat seseorang yang sangat familier.
“Pak! Stop, Pak!” pekik Airin menepuk-nepuk kursi kemudi. Mobil berwarna biru itu pun berhenti. Airin mengeluarkan satu lembar seratus ribuan, lalu menggendong Rain keluar.
Rain tampak kebingungan, memutar tubuhnya mengeliling. Belum sampai di tempat yang dituju. Tapi ia hanya diam saja.
Tiba-tiba Airin mempercepat langkah memasuki cafe outdoor itu. “Mas!” seru Airin menarik lengan Satya. Tentu saja pria itu terkejut setengah mati. Matanya melotot dengan mulut menganga.
"Jadi ini yang namanya lembur?" ucap Airin melirik sinis pada wanita di sebelah suaminya.
Tubuh Airin gemetar hebat, dadanya bergemuruh di dalam sana desiran darah pun mengalir dengan cepat saat menemukan suaminya sedang bercumbu dengan wanita lain.
“Apa-apaan kamu?!” sentak Satya beranjak penuh emosi.
Rain terkejut, meski bukan pertama kalinya suara bariton yang menggelegar itu menyelusup indra pendengarannya. Ia mengeratkan lengan yang melingkar di leher sang ibu.
Satya berpamitan pada wanita yang bersamanya. Rain melayangkan tatapannya begitu tajam. Bahkan ia juga melihat Satya mencium bibir wanita itu sebelum pergi.
Hati Airin bagai diremas hingga tuntas. Hancur hingga tak berbentuk. Napasnya tertahan dengan kedua lutut yang gemetar. Ia tak kuat menahan tubuh Rain. Hingga menurunkan bocah itu. Gegap gempita suasana cafe, menyamarkan teriakan demi teriakan yang mengudara pasangan suami istri itu.
“Brengsek! Sudah tahu lelaki ini bersuami kamu masih saja gatal! Murahan!” teriak Airin menghampiri lalu menjambak wanita yang merenggut suami di depan matanya.
“Airin cukup!” pekik Satya menampar pipi Airin, lalu menarik lengan istrinya dan menyeret keluar. Mereka beradu mulut di tepi jalan raya.
“Oh, jadi ini kenapa kamu berubah? Karena wanita murahan itu, Mas?” pekik Airin menunjuk ke dalam Cafe. Air matanya tak henti-hentinya mengalir deras.
Satya semakin murka. Ia mencekik Airin dengan kemarahan membuncah. Airin sampai kesulitan bernapas. “Jaga mulut kamu! Dia kekasihku. Bahkan jauh sebelum aku mengenalmu!” Mata lelaki itu melotot dengan tajam.
Rain menangis tersedu. Ketakutan menyergapnya saat melihat sang ibu tengah meronta kesakitan. Ia berlari menghampiri, menggigit tangan Satya yang menggantung.
“Aaarrgghh! Anak sialan kamu!” pekik Satya menghempaskan tubuh Rainer hingga terjatuh di atas rerumputan. Jerit tangisnya semakin memilukan.
“Jino! Uhuk, uhuk!” Airin berjalan gontai dengan wajah pias. Hendak menghampiri putranya namun sebuah tendangan di pinggang menghempaskan tubuh perempuan itu.
“Aarrghh! Kalau kamu sudah memiliki kekasih kenapa menikahiku, Mas. Aku mau cerai sekarang juga!” pekik Airin mengumpulkan segenap tenaganya.
Berdiri meski kesulitan. Namun ucapan Airin justru semakin menyulut kemarahan Satya. Pria itu seperti sedang kesetanan. Ia kembali menampar Airin yang sudah lancang meminta cerai darinya.
“Jangan harap aku akan melepaskanmu!” geram Satya menjambak rambut Airin hingga kepalanya terdongak lalu membanting tubuh sang istri.
Kepala Airin terbentur sudut trotoar. Cairan merah mengucur hingga tak lama kemudian Airin kehilangan kesadaran.
Rain bersembunyi di balik pot besar. Tubuh kecil itu gemetar hebat. Keringat dan air mata sudah menyatu membasahi wajah dan seluruh tubuhnya.
Tanpa rasa bersalah, Satya justru kembali masuk dan tak lama kemudian keluar lagi menggandeng wanita selingkuhannya tadi. Semua gerakannya terekam jelas di mata anak kecil itu. Ia sama sekali tidak berani keluar dari persembunyian.
Hingga ada beberapa orang yang melalui Airin, menemukannya tergeletak bersimbah darah. Mereka segera membawa ke rumah sakit. Meninggalkan Rain yang meringkuk ketakutan seorang diri dalam gelapnya malam.
...\=\=\=\=\=\=°°°\=\=\=\=\=\=...
“Sayang, untuk saat ini ibu tidak bisa membawamu. Takut Ayah Satya akan menyakitimu lagi. Jadi, tolong menurutlah dengan ayah barumu itu. Kamu akan aman bersamanya.”
“Aku mau sama ibu.”
“Tidak bisa, Nak. Nanti kamu dalam bahaya,” sergah Airin mengusap air mata putranya.
Tanpa mereka sadari, Lala sedari tadi menguping pembicaraan mereka. Lala bersandar pada pilar yang cukup besar, sehingga kehadirannya tak terlihat oleh Airin maupun Rainer.
Lala membekap mulut menahan tangis ketika mendengar celotehan Rain yang jelas-jelas tidak menyukai keberadaannya.
Sebelumnya, Lala berniat mencari Rain ketika Cheryl berjalan seorang diri keluar dari ruang kerja Jihan. Dan ia tidak langsung menemui Rain, ketika menemukannya berada di pangkuan seorang wanita yang begitu akrab dengan bocah itu. Padahal setahunya, Rain sangat sulit beradaptasi dengan orang baru.
“Sayang! Kok kamu malah di sini? Rain belum ketemu?” seru Rico menyusul dan menepuk bahu Lala.
Gadis itu terkejut. Buru-buru menyeka kedua pipinya yang basah. Sampai benar-benar kering. Jantungnya hampir lepas ketika Rico beralih berdiri di depannya. "Hei, ada apa?" tanya pria itu lembut mencubit dagu sang kekasih.
Bersambung~