Nara Anjani Sukma berada di situasi harus menikah dengan adik angkat pria yang akan melamarnya. Sakti Pradana tidak menduga ia akan bertukar jodoh dengan kakak angkatnya. Dua karakter bertolak belakang, pertemuan tak terduga dan pernikahan mendadak seperti tahu bulat, drama rumah tangga apa yang akan mereka jalani.
===
“Sudah siap ya, sekarang aku suamimu. Bersiaplah aku buat kamu bahagia jiwa dan raga.” Sakti Pradana.
“Aku penasaran, apa milikmu bisa sesakti namamu.” Nara Anjani Sukma
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Coba Lagi
Bab 16
Sakti tiba di showroom siang hari. Pagi tadi ia mengurus persiapan racing. Memastikan pihak sponsor sudah mempersiapkan semua kebutuhan dan juga tim yang akan terlibat, termasuk asuransi.
Rupanya Marko sudah membahas di grup dan menyampaikan secara lisan kalau pemilik showroom sekaligus pimpinan mereka sudah sold out. Menjadi hari patah hati berjamaah.
Ada beberapa customer di tempat itu, Sakti bersyukur usahanya masih ramai dan bertahan. Namun, tatapan kecewa terlihat dari wajah para karyawan wanita.
“Bang,” sapa Marko menghampiri Sakti. “Gue simpan berkas di meja, tolong di cek dan laporan bulan lalu belum ada feedback dan evaluasinya.”
“Ah iya, besok pagi deh. Sekalian hitungan bonus triwulan ya.”
“Nah itu penting bang,” ujar Marko lalu terkekeh. “Satu lagi bang, gue udah sampaikan info lo nikah. Kecewa mereka bang.” Kali ini Marko bicara agak lirih.
“Biarin daripada mereka ngarep atau gue ngasih harapan palsu.”
“Coba mereka mau nemplok sama gue ya bang. Satu aja yang mau serius, langsung gue bawa ke KUA.”
Sakti tersenyum sambil menepuk bahu Marko lalu menuju ruangannya di lantai dua. Larut dan fokus dengan tumpukan pekerjaan yang disampaikan Marko termasuk approval bonus untuk karyawan dan bagian penjualan karena target yang sudah mereka capai.
“Kemarin penjualan juga lumayan nih. Ternyata menikah memang membawa rezeki,” gumam Sakti masih fokus dengan layar komputer. Terdengar ketukan pintu. “Masuk!”
“Bang Sakti, apa ada waktu?”
“Oh, Rina. Masuk, Rin.”
Wanita bernama Rina yang posisinya sebagai sales counter itu memasuki ruangan. Sudah biasa bagian marketing atau penjualan menemuinya untuk membicarakan progress atau langkah yang harus mereka lakukan untuk meningkatkan hasil penjualan.
“Bang,” panggil Rina sudah duduk di depan meja Sakti.
“Iya, gimana Rin?” Sakti menutup berkas di atas meja serta mengalihkan pandangan dari layar komputer. “Ramai nih di bawah, nggak ada masalah ‘kan?”
“Kalau itu nggak ada bang,” jawab Rina.
Sakti heran, kalau tidak ada masalah kenapa pula Rina malah ada di sini.
“Hm, abang beneran sudah menikah?” tanya Rina ragu-ragu.
“iya, betul. Yah baru akad aja, resepsi menyusul. Kalian semua pasti aku undang.”
“Serius bang?”
“Seriuslah atau aku bicarakan dengan istriku adakan syukuran dengan kalian,” tutur Sakti lagi.
Raut wajah Rina berubah sendu bahkan kedua mata wanita itu mengembun.
“Bang, aku … kecewa bang.”
“Loh, kenapa?” tanya Sakti mengambil kotak tisu dari meja sofa dan meletakan ke depan Rina. Sudah mulai paham apa yang Rina maksud, bisa jadi karena pernikahannya.
“Aku tuh suka sama abang.”
'Sudah kuduga,' batin Sakti. Tidak mungkin ia marah apalagi menunjuk wajah Rina karena ungkapan perasaan itu, semua manusia punya hak untuk mencintai dan dicintai, termasuk dirinya atau juga Rina.
“Rina ….”
“Abang nggak ngertiin perasaan aku, selama ini apa nggak jelas sikap dan perhatian aku?”
“Rina, dengar ya. Kamu berhak memiliki rasa itu, tapi tidak boleh memaksa ketika tidak berbalas. Selama ini aku menganggap semua karyawanku keluarga, jadi tidak ada rasa lebih dari itu.”
“Tapi ….”
“Aku paham kamu kecewa, tapi jangan berlarut. Yakinkan dalam pikiran dan hati kamu kalau rasa itu salah.”
“Nggak bisa bang.” Rina malah terisak.
“Penyakit,” batin Sakti lalu mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan pada Marko agar menyelesaikan masalah Rina.
“Bisa,” sahut Sakti pendek dan cepat.
Rina beranjak dari kursinya menghampiri Sakti bahkan langsung memeluk.
“Rina, jangan begini.” Sakti ikut beranjak dan menghindar.
“Aku sayang dan cinta sama Abang.” Rina kembali merangsek untuk memeluk Sakti.
“Rina, aku tidak mungkin kasar dengan perempuan. Apa yang terjadi barusan akan aku lupakan, sebaiknya kamu keluar dan lanjutkan pekerjaanmu!”
“Nggak bisa, begitu bang.” Rina merengek sambil terisak dan menghentakkan kaki. Pintu ruangan diketuk dan masuklah Marko.
“Iya bang,” ucap pria itu.
“Ajak Rina keluar dan kamu camkan apa yang aku sampaikan barusan!” titah Sakti pada Marko dan menunjuk Rina.
“Abang ….”
Marko membawa Rina yang terlihat enggan meninggalkan tempat itu.
“Bang Sakti.”
“Udah Rin, gue bilang udah dan jangan begini.”
Menyaksikan drama Rina yang masih enggan keluar dan ada adegan Marko membawa sambil merengkuh pundak wanita itu.
“Ya Tuhan,” gumam Sakti mengusap wajahnya.
Baru saja kembali duduk, ponsel Sakti berdering. “Istriku” tertera di layar, wajah Sakti pun tersenyum.
“Iya, sayang.”
Nara berdecak di ujung sana. “Apaan sih.”
“Jangan ngambek dong, nanti wajahnya keriput loh. Sayang sudah makan, hampir waktunya nih,” seru Sakti sambil melirik jam dinding.
“Makanan masih otw, besok aku mau ketemu orang. kamu bisa ikut?”
“Ketemu orang, biasanya kamu ketemu siapa? M0nyet?”
“Sakti, serius dikit deh.”
Sakti terkekeh. “Oke, maaf. Padahal aku serius, serius banget. Mau ketemu siapa?”
“Bang Dewa, dia udah dapat info siapa yang menyebar info hoax itu. Tapi dia minta ketemu kita berdua, katanya karena aku sudah nikah biar nggak salah paham dan takut aku putuskan masalah ini sendiri.”
“Oh gitu, by the way Dewa itu siapa?"
"Dia ... besok-lah aku jelaskan."
"Besok jam berapa, tapi jam berapapun aku selalu siap untuk kamu kok.”
“Ck, jangan lebay deh.”
“Serius sayang. Pagi aja ya.”
“Hm, sebentar. Wen, besok pagi ….”
“Aman kak, besok sampai siang, tidak ada kegiatan. Siangnya kak Nara ikut launching film di Mall ABC,” terdengar penjelasan Weni di ujung sana.
“Oke, bisa. Share Loc, rumah ayah kamu. Sore ini aku langsung ke sana.”
“Siap, sayangku. Tapi jangan heran ya kalau nanti Samir bicara yang agak nyeleneh, kalau aku pikir dia dan Serli agak mirip. Sebelas dua belas lah.”
“Hah, nggak penting,” ujar Nara di ujung sana.
“Kalau aku, gimana? Penting nggak?”
“Itu … nomor yang anda hubungi sedang sibuk. Silahkan coba tanya, tahun depan.”
Panggilan pun diakhiri sepihak.
“Ra, Nara … yah dimatiin.”
ada aja bahasa lo sak, kalau kata nara mah lebay tapi dia demen mesam mesem sendiri😂😂
heran orang ko ribet banget ya biarin aja toh mereka ini yang nikah. situ kalau iri ya tinggal nikah nih sellir nganggur 😂😂
gayanya ngentol abis ra ehhhhhh demen juga kan di sekop sekop kerasakti🤭🤣🤣🤣🤣
bakal gimana itu keseruannya???