"Sella jatuh hati pada seorang pria yang tampak royal dan memesona. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa kekayaan pria itu hanyalah kepalsuan. Andra, pria yang pernah dicintainya, ternyata tidak memiliki apa-apa selain penampilan. Dan yang lebih menyakitkan, dia yang akhirnya dibuang oleh Andra. Tapi, hidup Sella tidak berakhir di situ. Kemudian dirinya bertemu dengan Edo, seorang pria yang tidak hanya tampan dan baik hati, tapi juga memiliki kekayaan. Apakah Sella bisa move on dari luka hatinya dan menemukan cinta sejati dengan Edo?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Andai Saja Waktu Itu
Kepala Sella terasa seperti dipukul palu raksasa. Aroma lembap, dingin, dan sedikit berbau klorin menusuk hidungnya. Ia mengerang, matanya terbuka perlahan, menyesuaikan diri dengan penerangan remang-remang yang berasal dari satu bohlam tunggal yang menggantung di langit-langit.
Mereka berada di sebuah gudang bawah tanah yang kosong. Tidak ada jendela. Hanya dinding beton abu-abu dan rasa dingin yang merayap di kulit.
“Edo?” Sella memanggil pelan, suaranya serak. Ia mendapati dirinya terikat di kursi logam, tangannya diborgol ke belakang sandaran kursi. Pandangannya segera jatuh pada Edo, yang duduk tak jauh darinya, juga terikat.
Kondisi Edo jauh lebih parah. Kemeja putihnya benar-benar basah oleh darah kering di bahu kiri. Wajah tampannya kini babak belur, ada memar ungu di pelipisnya, dan napasnya pendek-pendek.
“Jangan khawatir,” Edo berujar lirih, senyum paksa terukir di wajahnya. Ia tampak kesulitan menahan rasa sakit. “Ini… gudang musim panas Hartono. Cukup nyaman.”
Sella menggeleng, air mata mulai menggenang. “Ini semua salahku. Jika saja aku tidak keras kepala mengikuti Andra waktu itu-”
“Diam,” potong Edo tajam, tetapi matanya penuh kelembutan. “Bukan salahmu. Ini perang Hartono dan aku. Kau hanyalah sandera yang… sangat berharga. Fokuslah pada cara kita keluar.”
Belum sempat Sella membalas, pintu logam di ujung ruangan berderit terbuka dengan suara yang mengerikan. Hartono masuk, didampingi dua pengawalnya. Dia tidak lagi memegang senjata, tetapi senyum liciknya lebih mematikan dari peluru apa pun.
Hartono melangkah mendekat, menghentikan langkah tepat di depan Sella. Ia menunduk, menatap Sella dengan tatapan menghakimi.
“Selamat datang, Nona Sella,” sapanya, nadanya kelewat sopan, menciptakan aura teror. “Sayang sekali, kisah cintamu selalu berakhir tragis. Dulu dengan si mokondo, sekarang dengan CEO idiot ini.”
Sella menolehkan wajahnya. “Jangan pernah sebut aku dengan Andra. Kau hanya buang waktu, Hartono.”
Hartono tertawa, tawa rendah yang memuakkan. “Berani. Aku suka itu. Edo, sepertinya wanita ini sudah belajar banyak darimu. Tidak seperti dulu, ya, Edo? Wanita ini terkenal sangat mudah dibujuk.”
Edo menggertakkan gigi, berusaha bangkit, tetapi ikatan di kakinya menahannya. “Tutup mulutmu, Hartono. Urusan kita berdua. Jangan libatkan Sella. Kau mau perusahaanku? Ambil saja. Apa pun yang kau mau.”
Hartono mengayunkan tangan, seolah menolak tawaran sepele. “Ah, gampang sekali menyerah, kawan. Kau tidak tahu nilai dari permainan ini. Aku ingin kau berdarah dulu, secara finansial dan emosional.” Hartono kembali menatap Sella. “Tahukah kau, Sella? Dulu kau adalah nol. Beban. Sampah yang dibuang si Andra. Tapi sekarang, kau? Kau bernilai. Kau adalah alat paling ampuh untuk memeras orang kaya.”
Sella balas menatap Hartono, tidak membiarkan rasa takutnya terlihat. “Aku bukan alat. Aku juga tidak pernah memohon belas kasihan darimu.”
“Bagus. Tapi Edo akan memohon, demi dirimu.” Hartono memberi isyarat kepada salah satu anak buahnya, pria berotot yang langsung mendekati Sella. Pria itu membawa sebuah kotak besi kecil.
“Aku punya dua opsi untukmu, Edo. Pertama, kau segera tandatangani surat pengalihan aset penuh atas perusahaanmu, malam ini juga. Atau, aku akan membuat ‘alat berharga’ ini menjadi tidak berguna selamanya.” Hartono membuka kotak besi itu. Di dalamnya terdapat sebuah pisau lipat berkilat dan tang penjepit berukuran kecil.
Jantung Edo berdegup kencang. Ia tahu Hartono bukan gertakan. Pria ini haus akan kekuasaan dan sangat sadis.
“Tunggu! Aku bilang ambil perusahaannya! Kau tuli, Hartono? Aku akan menyerahkannya!” teriak Edo, suaranya parau karena putus asa.
Hartono mengabaikannya. Ia menarik rambut Sella ke belakang, memaksanya mendongak. Sella mencengkeram erat kursi itu, mencoba menahan rasa sakit.
“Tidak semudah itu, Edo. Kunci yang kau butuhkan dibawa lari oleh monyet kecilmu, Andra. Aku ingin kau menyaksikannya.” Hartono menoleh ke Sella. “Aku akan memberinya tanda permanen, Sella. Di tempat yang paling ia banggakan. Wajah cantiknya.”
Wajah Sella memucat, tetapi Edo langsung menjadi gila. Ia memberontak dengan kekuatan terakhirnya, menarik rantai borgol hingga bergesekan dengan pergelangan tangannya, mengabaikan luka tembaknya.
“JANGAN SENTUH DIA, HARTONO!” raungnya, matanya dipenuhi amarah yang membakar.
Hartono tersenyum lebar. Ini adalah respons yang ia inginkan.
“Waktumu dua menit, Edo. Telepon pengacaramu, buat pengalihan darurat. Jika tidak, akan ada sedikit torehan di pipi kiri kekasihmu.” Hartono mengarahkan pisau berkilat itu mendekati wajah Sella. “Ini tidak akan membunuhmu, Sayang. Hanya meninggalkan kenang-kenangan agar kau tidak mudah dirayu lagi.”
Edo terengah, napasnya tersendat-sendat. Ia tidak bisa bergerak. Rasa sakit dari luka tembaknya merambat cepat, memaksanya untuk diam, tetapi pemandangan pisau di dekat wajah Sella membuatnya panik total.
“Baik. Aku akan tanda tangan. Lakukan apa pun yang kau mau. Jangan sakiti Sella,” Edo berujar, suaranya benar-benar hancur. Ia kalah.
“Ah, kata-kata yang ingin kudengar dari CEO sombong sepertimu.” Hartono tertawa puas. Ia memberi isyarat pada anak buahnya. “Ambil ponsel Edo. Telepon pengacara itu, segera. Kita buat pengalihan aset di hadapanku.”
Saat anak buah Hartono mencari ponsel Edo yang tersembunyi, Sella menatap Edo. Ia merasa iba, marah, tetapi juga bangga. Pria ini mempertaruhkan kekaisarannya, segalanya, hanya untuk sepasang kekasih yang baru ia temui.
Hartono menjauhkan pisau dari wajah Sella. Namun, saat pengawal sibuk mengurus ponsel Edo, Hartono mendekat lagi, berbisik di telinga Sella.
“Dia mungkin menyelamatkanmu dari bekas luka. Tapi kau tahu, kekayaan yang diserahkan untuk wanita biasanya memiliki tanggal kedaluwarsa,” bisik Hartono, lalu tertawa kecil, kembali ke posisinya.
Panggilan tersambung. Edo harus mendiktekan serangkaian perintah finansial yang akan melenyapkan kerajaannya dalam hitungan jam.
“Ini langkah terakhir, Hartono. Setelah semua ini selesai, kau biarkan Sella pergi, janji,” pinta Edo, suaranya bergetar menahan kesedihan atas kekalahannya.
“Tentu saja. Begitu semua transfer berhasil diverifikasi, aku akan membiarkannya pergi. Tapi aku akan menahanmu sedikit lebih lama. Kau tahu, untuk memastikan flashdisk itu tidak jatuh ke tangan yang salah.”
Sella menatap Edo, matanya memohon maaf. Saat itulah ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Salah satu pengawal Hartono yang menjaga di sudut ruangan, bergerak gelisah, tatapannya teralih ke dinding di belakang Edo. Wajahnya tiba-tiba menunjukkan ekspresi waspada.
Sella merasakan getaran pelan di bawah kursi. Bukan gempa bumi, melainkan resonansi suara berat, seperti deru mesin truk besar, yang perlahan mendekati gudang bawah tanah itu. Getaran itu makin kuat, makin cepat.
Hartono menyadari perubahan di wajah pengawalnya. “Ada apa?” tanyanya dingin.
“Tuan… ada suara mobil mendekat. Banyak. Mereka tidak melewati jalur yang kita jaga.”
Hartono terkejut, melirik ke jam tangannya. Siapa yang datang? Polisi? Tidak mungkin secepat ini. Hartono mendadak tegang. “Periksa segera! Jangan sampai mereka merusak kesepakatanku!”
Saat dua anak buah Hartono bergegas menuju pintu keluar gudang, Sella menatap Edo. Dalam mata Edo, Sella melihat bukan keputusasaan, melainkan percikan harapan yang baru muncul. Apa yang terjadi? Siapa yang datang?
Tepat ketika suara mesin truk-truk itu berhenti mendadak di atas mereka, pintu besi gudang di lantai atas digedor dengan kekuatan eksplosif. Debu berjatuhan dari langit-langit.
Hartono menarik pistolnya. “Siapa di luar? Jawab!”
Terdengar teriakan keras dari luar, suara yang menggelegar dan dingin, melalui celah pintu yang rusak.
“Lepaskan CEO kami, atau kalian semua mati di dalam lubang tikus itu, Hartono!”
Hartono memegang pistolnya ke arah Edo, wajahnya memerah karena amarah. “Kau merencanakan ini, Edo?”
Edo menyeringai. Meskipun lemah dan berlumuran darah, aura CEO sejati itu kembali terpancar. “Aku selalu unggul dalam kalkulasi jangka panjang, Hartono. Kau mengambil berlianku. Tapi kau lupa, CEO sejati tidak pernah pergi tanpa pengawal pribadinya.”
Suara ledakan lain menggema. Pintu besi di atas mulai melengkung, hampir jebol. Pasukan yang menyelamatkan mereka hanya tinggal hitungan detik.
Hartono menoleh panik. Ia tidak bisa membiarkan sandera utamanya lepas. Dengan cepat, ia mengarahkan pistol ke dada Sella, siap menembak. “Permainanmu belum berakhir, Edo! Jika aku tidak bisa memilikimu, setidaknya aku akan melenyapkan alasanku kalah!”
Hartono menarik pelatuk. Ledakan keras pistol mengisi ruangan sempit itu.