NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Permainan di atas api

Fajar merayap lambat di atas menara-menara hitam Dreadholt. Cahaya pucat pertama menembus celah tirai berat di kamar kecil Rosella, membangunkannya dari tidur singkat yang tak pernah benar-benar tenang. Dengan gerakan hampir otomatis, ia duduk di ranjang kayu sempit, menarik napas panjang yang berembus tipis di udara dingin, lalu bangkit tanpa berpikir panjang.

Sejak ditunjuk sebagai pelayan pribadi Duke Orion, rutinitas paginya tak pernah berubah dan tak boleh ada kesalahan sekecil apa pun. Ia merapikan rambut pirangnya dengan ikatan sederhana, mengenakan gaun pelayan yang lusuh namun bersih, lalu melangkah cepat menuju dapur utama. Api tungku sudah menyala, memanaskan udara yang sarat aroma roti hitam dan daging asap. Suara panci beradu dan langkah pelayan lain bergema, tapi hanya satu hidangan yang menjadi tanggung jawab penuh dirinya yaitu sarapan sang Duke.

Dengan hati-hati, Rosella menyiapkan roti hitam hangat, irisan daging asap, dan segelas teh hitam kental yang mengepulkan uap tajam. Jemarinya sempat gemetar halus ketika menuang teh. Karena ia tahu, satu tetes yang tumpah, secuil kesalahan, bisa menjadi alasan kemarahan Orion.

Nampan perak itu lalu ia bawa melewati lorong batu Dreadholt yang panjang dan hening. Cahaya obor yang suram membuat bayangan langkahnya beriringan dengan sosok-sosok prajurit berseragam hitam yang berjaga di sisi dinding. Pistol berkilat tergantung di pinggang mereka, dan meski tak seorang pun berkata sepatah kata, tatapan dingin mereka terasa menusuk punggung Rosella hingga membuat napasnya semakin berat.

Namun tugas paginya tidak hanya itu. Ia juga wajib memastikan kamar pribadi sang Duke dalam keadaan sempurna:l, meja kerja yang biasanya dipenuhi peta perang dan laporan strategi harus ia rapikan, dokumen-dokumen ditata kembali dengan teratur, pistol perak berukir lambang serigala serta majalah pelurunya diletakkan persis di tempatnya, perapian dinyalakan agar kamar tetap hangat, mantel hitam sang Duke digantung rapi, dan lantai batu dibersihkan hingga tak ada debu yang berani menempel.

Saat tiba di depan pintu besar berlambang serigala, Rosella berhenti sejenak. Napasnya terhenti di tenggorokan. Ia menarik udara panjang, menggenggam erat gagang pintu logam yang dingin, bersiap masuk untuk menjalankan tugas.

Namun suara langkah tergesa dari lorong menghentikannya. Seorang pelayan paruh baya muncul, wajahnya pucat pasi seolah baru saja berlari. Ia menunduk dalam-dalam sebelum berkata lirih, suaranya nyaris pecah.

“Nona Rosella … tak perlu masuk. Tuan Duke tidak ada di dalam.”

Kening Rosella berkerut. “Apa maksudmu? Aku harus menyiapkan sarapannya, dan—”

Pelayan itu menelan ludah, lalu menunduk lebih rendah. “Sejak petang kemarin beliau sudah pergi. Seorang utusan dari istana datang membawa titah langsung. Kaisar memanggilnya. Tuan Duke berangkat bersama pasukan pengawal pilihan.”

Nampan di tangan Rosella mendadak terasa jauh lebih berat. Uap dari teh hitam masih mengepul, seakan mengejek segala persiapan yang kini tak lagi berguna.

“Untuk apa?” tanyanya cepat, suara pecah.

Pelayan itu hanya menggeleng, kedua tangannya meremas kain bajunya. “Saya tidak tahu. Utusan itu tidak menjelaskan. Kami hanya diperintahkan memastikan semuanya berjalan seperti biasa di Dreadholt.”

Lorong itu tenggelam dalam hening. Rosella menatap pintu besar yang kini tampak asing tanpa penghuninya. Ada sedikit rasa lega, untuk sementara ia terbebas dari tatapan biru dingin Orion. Namun bersamaan dengan itu, kegelisahan yang menyesakkan justru tumbuh. Panggilan mendadak dari Kaisar tak pernah berarti perkara sepele.

Perlahan, Rosella melepaskan genggamannya dari gagang pintu. Pagi itu, untuk pertama kalinya, rutinitasnya terhenti bahkan sebelum sempat dimulai.

Lorong batu Dreadholt terasa lebih panjang dari biasanya saat Rosella berjalan kembali, membawa nampan perak di tangannya. Uap tipis dari teh hitam yang sedari tadi ia jaga dengan hati-hati kini hanya membuat beban itu terasa semakin sia-sia. Prajurit yang berjaga di tikungan lorong hanya melirik sekilas, mata mereka dingin, pistol hitam berkilau tergantung di pinggang sebelum kembali menatap lurus ke depan, seolah tubuh mereka adalah bagian dari dinding yang membeku. Sunyi menekan rapat, hanya dipecahkan oleh derap langkah Rosella yang beradu pelan dengan lantai batu keras.

Begitu ia mendorong pintu kayu berat menuju dapur, gelombang hangat segera menyambut, menyeruak menyingkirkan dingin yang melekat di kulitnya. Aroma roti hitam baru dipanggang bercampur dengan asap daging asin yang direbus untuk jatah pasukan, menusuk hidung dengan kepekatan khas. Asap dari tungku bergulung ke langit-langit, suara panci beradu bertalu-talu, teriakan koki bersahutan, dan pelayan muda berlari tergesa dengan keranjang gandum di tangan. Hiruk pikuk itu bagaikan dunia lain, kontras total dengan lorong Dreadholt yang kaku dan membungkam.

Rosella menaruh nampan itu di meja panjang kayu. Uap teh masih menipis di udara, melayang seperti sesuatu yang sia-sia. Ia mendorong nampan itu menjauh, seakan ingin menyingkirkan segala persiapan yang tak lagi berguna. Jemarinya berhenti di atas permukaan meja yang hangat oleh uap makanan, merasakan sedikit kelegaan yang tak mampu benar-benar menenangkan.

“Rosella!” suara nyaring memecah kebisingan. Feya muncul dari balik rak tepung, menenteng mangkuk bubur encer dengan wajah penuh semangat. Ia langsung menjatuhkan diri ke bangku panjang, hampir menumpahkan buburnya. Lyrra menyusul dengan langkah lebih kalem, kedua tangannya membawa beberapa cangkir logam yang masih basah oleh cucian.

“Kau tidak jadi mengantarkannya?” Feya menunjuk ke arah nampan.

“Orion sudah pergi,” jawab Rosella singkat. “Sejak petang kemarin. Katanya Kaisar memanggilnya.”

Sendok di tangan Feya langsung berhenti di udara. “Hah? Dipanggil Kaisar? Untuk apa?”

“Tidak ada yang tahu,” Rosella mengangkat bahu, nada suaranya datar.

Hening seketika menyelimuti meja kecil mereka. Suara panci, teriakan, dan dentang logam masih riuh di sekeliling, namun seolah semuanya menjauh, memberi ruang hanya untuk mereka bertiga. Lyrra menaruh cangkir dengan hati-hati, menunduk, sedangkan Feya justru bersandar ke meja dengan tatapan penuh niat iseng.

“Kau tahu apa yang paling sulit di sini?” Feya berbisik dramatis, matanya membesar seolah akan menyampaikan rahasia besar. “Bukan menghadapi prajurit. Bukan juga menghadapi Duke. Tapi … kursi dapur ini!” Ia menepuk bangku kayu di bawahnya keras-keras. “Terlalu keras. Duduk lima menit rasanya seperti dihukum.”

Rosella menoleh sekilas, alisnya terangkat. “Itu hanya kursi.”

“‘Hanya kursi’ katamu!” Feya menunjuk bangku dengan sendoknya, nada suaranya dibuat seperti orator. “Kalau aku harus duduk di sini setiap hari, pinggangku pasti bengkok. Nanti kalau kita pulang, keluargaku tak akan mengenaliku lagi. Mereka akan berkata, ‘Siapa gadis bungkuk ini?’”

Lyrra buru-buru menutup mulutnya dengan tangan, bahunya berguncang menahan tawa. “Feya, kau berlebihan.”

Feya bukannya berhenti, malah makin semangat. “Dan lihat meja ini!” Ia menepuk papan kayu di depan mereka hingga mangkuk bergoyang. “Terlalu tinggi. Kalau aku makan bubur begini, sendokku hampir jatuh karena harus kuangkat setinggi bahu. Aku merasa sedang dilatih jadi prajurit—latihan angkat sendok!”

Rosella menunduk, bibirnya menahan senyum yang nyaris pecah. Jelas Feya sedang mengada-ada, namun justru itulah yang membuat atmosfer sedikit lebih ringan di tengah Dreadholt yang menyesakkan. Ia menatap gadis itu lama, sorot matanya melembut, lalu berkata pelan, nyaris seperti bisikan, “Sepertinya kau sudah berdamai terhadap keadaanmu.”

~oo0oo~

Ruang pertemuan Kaisar dipenuhi cahaya temaram dari perapian yang menyala tenang di sisi ruangan. Nyala api berkilau di permukaan dinding berlapis ukiran perunggu, menghidupkan bayangan panjang yang bergeser perlahan, seolah makhluk hidup yang bersembunyi di balik cahaya. Karpet merah marun membentang anggun di atas lantai marmer dingin, membentuk jalur yang mengarah lurus pada meja kecil di tengah ruangan—meja catur berukir obsidian dengan kaki perak berkilat. Bidak-bidaknya pun tampak megah, bukan kayu sederhana, melainkan pahatan perak dan oniks, prajurit mini dengan tombak mungil, meriam kecil, hingga raja dan ratu yang berwajah dingin tanpa senyum, seakan memandang permainan itu sebagai peperangan sesungguhnya.

Kaisar duduk tegak di kursinya, bahunya terbalut mantel bulu gelap yang menambah wibawanya. Wajahnya nyaris tak tergoyahkan, namun sorot matanya penuh kalkulasi. Jemari kurus tapi kokoh itu bergerak anggun, memegang sebuah benteng putih lalu menggesernya ke depan. Bunyi klik kecil tercipta saat logam bidak bertemu papan obsidian, bunyi yang seakan menggema di seluruh ruangan. Tatapan Kaisar pun beralih pada lawannya—Duke Orion, keponakannya sendiri yang duduk tanpa bergeming, tubuh tinggi tegapnya bagai patung batu yang diciptakan untuk menantang waktu.

Orion menundukkan wajah sedikit, rambut hitamnya jatuh menutupi sebagian mata birunya yang dingin dan tajam. Ia meraih kuda hitam, mengangkatnya dengan tangan besar yang mantap, lalu menaruhnya ke depan dengan gerakan lambat namun penuh maksud. Tak ada suara selain bunyi gesekan bidak, namun ketegangan melayang di udara.

Kaisar membuka suara, nadanya datar dan dingin, seolah yang ia sebut bukan manusia, melainkan sekadar nama bidak di papan.

“Valdrosh.”

Nama itu memantul di dinding batu, membuat nyala api di perapian seakan ikut meredup. Kaisar menggeser pion putih ke depan, menatap papan seakan menyingkap rahasia di balik langkah sederhana. “Kepergiannya cukup mengejutkan tetapi yang lebih mengejutkan adalah laporan tentang penyelundupan garam itu benar adanya.”

Orion tidak menoleh. Pandangannya terpaku pada kotak-kotak hitam putih, seakan jawaban tersembunyi ada di sana. Dengan gerakan tegas, ia menggeser benteng hitam maju, memotong jalur pion putih. Suaranya berat ketika akhirnya ia bicara.

“Garam adalah darah bagi prajurit, Yang Mulia. Tanpanya, daging membusuk dan pasukan melemah. Valdrosh menggunakannya untuk keuntungan pribadi … langkah yang gegabah.”

Kaisar menyipitkan mata, sudut bibirnya terangkat samar. Ia menggerakkan gajah putih, meluncur serong dengan elegan. “Gegabah? Atau terlalu licik? Ia mungkin sudah menyiapkan jaringan lebih luas dari yang kita duga. Seperti pion ini ...,” Ia mendorong satu pion putih maju satu petak, menekannya dengan telunjuk, “… kecil, sederhana, tapi bisa membuka jalan untuk serangan.”

Sorot mata Orion tak bergeser. Ia memperhatikan papan dengan tajam, napasnya teratur namun terasa berat. Perlahan ia mengangkat menteri hitam, menggesernya menyilang hingga mengancam pion putih itu. “Tapi bidak tetaplah bidak. Sekali hilang arah, ia jadi korban pertama.”

Kaisar tak berhenti. Jemarinya yang panjang kembali bergerak, kali ini menaruh ratu putih jauh ke depan, menekan barisan hitam dengan langkah berani yang langsung mengubah dinamika papan. “Namun terkadang, kehilangan satu bidak justru mengungkap kelemahan raja.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Hanya bunyi 'tok' lembut dari tiap bidak yang digerakkan terdengar, berpadu dengan suara api yang mendesis di tungku. Nyala perapian bergetar, seolah mengawasi permainan ini. Permainan yang jelas lebih dari sekadar adu strategi catur.

Orion menegakkan bahunya, tubuhnya kaku seperti baja. “Apakah Yang Mulia mencurigai orang lain?” tanyanya, suaranya berat dan dalam, seperti batu besar dijatuhkan ke sumur dalam.

Kaisar tidak menjawab. Tangannya dibiarkan menggantung di atas raja putih, mengusapnya perlahan, lalu berpindah ke pion lain. Sorot matanya menyala tajam, menusuk seakan hendak menggali isi kepala keponakannya. “Dunia ini penuh pengkhianat, Orion. Bahkan darah sendiri bisa berubah menjadi racun.” Ia mengangkat wajah, menatap lurus pada Orion dengan sorot dingin. “Aku ingin tahu, seberapa jauh kesetiaanmu diuji?”

Orion terdiam beberapa detik, hingga akhirnya menggerakkan kudanya ke depan, menjatuhkan salah satu pion putih. Bunyi bidak yang terhempas terdengar jelas. “Kesetiaan saya hanya pada Yang Mulia.”

Kaisar tertawa pendek, suara rendah yang terdengar seperti ejekan. Senyum yang melintas di wajahnya tidak membawa kehangatan. Ia kemudian meraih ratu putihnya, menggesernya lebih maju—ratu meluncur jauh ke depan, mendekati sisi raja hitam. Posisi papan menjadi genting.

“Begitu mudahkah?” suaranya penuh sindiran. “Karena terkadang, bahkan bidak paling setia pun bisa berubah haluan, bila ada tangan lain yang menggerakkannya.”

Orion menatap papan dalam-dalam, menyadari raja hitamnya terancam dari dua sisi. Hening panjang membentang sebelum akhirnya ia menggeser rajanya satu petak ke samping. Bunyi gesekan lembut itu terdengar jelas, seperti ketukan drum perang yang menandai dimulainya pertempuran besar.

Kaisar bersandar perlahan, menautkan jemari di depan dada, lalu menatap Orion dengan sorot tajam yang tak tergoyahkan. “Langkahmu menyelamatkan sementara, tapi membuka celah lain. Sama seperti keadaanmu sekarang, keponakanku.”

Orion mengangkat kepala, sorot biru matanya berkilat dingin. Nyala api perapian berpendar di matanya, menyulut bara yang tak pernah padam. Suaranya terdengar tegas, menembus keheningan. “Apakah ini peringatan … atau tantangan, Yang Mulia?”

Kaisar tidak memberi jawaban. Ia hanya mengetuk papan dengan ujung jarinya, sekali, tepat di petak kosong di samping raja hitam. Bunyi ketukan itu menggema, bercampur dengan denting jam tua di dinding yang berdetak berat.

“Jawabannya akan datang dari siapa yang pertama melangkah lebih jauh sebelum permainan ini benar-benar berakhir.”

Api perapian mendesis, bayangan di dinding bergoyang seolah menari. Bidak-bidak catur berdiri membisu, namun udara di ruangan terasa semakin berat, sarat ancaman. Permainan masih berlangsung—tapi jelas, taruhannya jauh lebih besar daripada sekadar kemenangan di papan.

.

.

.

Bersambung ....

1
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Xuě Lì: Do'akan agar saya tidak malas wkwkw:v
total 1 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Xuě Lì: Otw🥰
udah selesai nulis hehe🤭
total 1 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!