My Man

Kalau dari sudut pandang polisi, melihat area ini memang sangat layak diledakkan. Selain kehidupan di sini sudah kacau balau, tapi sudah seperti sarang kejahatan. Gimana nggak? Karena semua kejahatan ada di sini. Dari narkoba dan senjata api diperjualbelikan sudah kayak kacang goreng. Belum lagi, kehidupan sex di sini yang terlalu bebas. Banyak orang melakukan hal itu di mana-mana tanpa rasa malu.

Sedangkan kalau dari kaca mata Ketua. Ya, seperti yang dikatakan sebelumnya. Dia geram dengan tingkah laku anak buahnya di sini. Sementara untuk yang lain, pastinya dia mana peduli. Mau tempat ini kayak sarang Zombie kek, sarang kejahatan kek, atau apa kek. Intinya nggak mau dipusingkannya. Namanya dia mafia. Otaknya mana mungkin waras. Alias mana mau dia memikirkan hal yang bukan kepentingannya.

Jadi skema Ketua itu adalah merelakan area ini diledakan. Cuman dia membuat drama. Seolah-olah jika ada polisi menaruh bom di tempat bisnisnya yang ramai.

Setelah merasakan dan mendapatkan info hasil kunjungannya di sana. Keesokan harinya, dengan memakai alat detektor Putra menyisiri area di sana. Alat detektor yang dirancang untuk mendeteksi bom. Namun yang dipakainya berbentuk ekonomis. Yaitu berbentuk kotak kecil seperti korek api. Mungkin karena zaman yang dijalaninya sudah modern. Jadi bukan hal aneh ada barang berbentuk begitu. Selain itu dia memilih barang itu, supaya tidak menyedot perhatian orang atas apa yang dikerjainya. Tentu takutnya orang-orang pada heboh kalau dia pakai alat yang pada umumnya. Karena pasti mereka pada mengira dia mencari bom.

Dia terus mengarahkan alat itu ke semua tempat yang dilaluinya. Tentu gak secepat itu dia menemukan apa yang dimaunya. Karena area di sana luas. Jadi harus ditelusuri satu-persatu. Bahkan bukan hanya di luar saja, tapi juga yang di dalam gedung.

Dari pagi hingga sore dia tidak menemukan hasil. Namun rupanya apa yang dikerjainya itu adalah sia-sia. Karena ada telepon masuk dari Wandi yang berbicara singkat, dan sehabis itu mematikan sambungan. Tapi atas itu mata Putra jadi terpana.

"Putra, kamu tidak perlu melakukan tugas itu lagi. Karena Ketua mengganti hal baru. Sekarang kamu telepon lah polisi yang terdekat di area Monas. Katakan ke mereka, kalau mereka tidak segera menyerahkan area di Tugu Tani. 1 jam lagi akan ada pertunjukan bom bunuh diri, dan area yang akan diledakan adalah Monas."

Kilk!

Apa?!

Sungguh, ini benar-benar gila! Ternyata Ketua memberi tugas yang saat ini dikerjainya hanya untuk mengetesnya saja. Dalam arti, apakah dia pintar menanggapi maksud dari tugas itu. Jelas, apa yang dilakukannya telah dilihat oleh mata-mata, dan itu pasti sudah dilapor ke Wandi. Rupanya tugas yang sesungguhnya adalah ini...

Tapi Ketua sungguh berani melakukan hal itu. Walau jauh dari istana kepresidenan. Tapi kalau Monas meledak goncangannya sampai ke Istana. Tapi memang Ketua pasti begitu untuk memberi peringatan ke orang nomor satu di negeri ini. Agar Tugu Tani diserahkan padanya.

Jadi area di sekitaran istana itu steril dari bisnis Mister James. Sebelum dia bergabung dengan geng itu, memang dia pernah mendengar kepala mafia itu mengincar area di situ, dan area itu masih masuk dalam jangkauan yang harus disterilkan dari bisnis Mister James.

Karena selulernya disadap, dan sudah pasti Wandi lagi menunggu omongannya. Alias apakah dia menjalankan perintah itu. Maka dia menghubungi kantor polisi terdekat di area Monas. Sesuai apa yang tadi diminta Wandi.

"Hallo, selamat sore... Kantor polisi xxx... Ada yang bisa kami bantu?" Seorang polisi menyapanya diseberang sana, setelah teleponnya tersambung.

"Saya ingin berbicara dengan orang penting di kantor Anda." Putra to the point.

"Dengan siapa ini, Pak? Dan dari mana?"

"Saya pemimpin geng Lion Drunk area Jakarta Pusat."

Pemimpin?

Orang di sana mengernyitkan alis. Biar begitu, per-sekian detik dia langsung paham. Pantas, orang ini dari tadi berbicara tanpa basa-basi. Maka atas itu, dia segera menyambungkan telepon ke atasannya. Sudah begini, pasti ada hal penting.

"Baiklah, mohon ditunggu."

Nggak lama saluran yang ditunggu Putra tersambung, dan orang yang dimaunya menyapanya di sana.

"Ya, saya sendiri. Ada apa, Anda mencari saya?"

"Saya menginginkan area di Tugu Tani. Kalau 45 menit lagi tidak diserahkan. Percaya lah... Akan ada pertunjukan bom bunuh diri di Monas. Pastinya, Anda tahu guncangan itu sampai ke mana, bukan?"

Klik!

Sehabis berbicara begitu, Putra mematikan sambungan.

Kalau dihitung dari Wandi menelpon, dan Putra tadi sempat terpana. Tentu waktunya sudah berkurang 15 menit dari 1 jam.

"Hei! Anda siapa? Kenapa Anda bisa di sini?"

Tiba-tiba ada yang menegurnya. Mungkin karena dia berada di dalam kantor orang jadi kena tegur. Maklum, pas Wandi tadi telepon dia lagi berada di situ. Ya, apa lagi demi tugas yang sebelumnya menelusuri bom.

Tapi ini sebenarnya bagus juga. Karena dia bisa memanfaatkan hal ini. Agar terlepas dari mata-mata geng, dan tentunya kubu yang pertama. Karena dia harus menelpon Komandan atas hal genting saat ini.

"Memang kenapa?"

"Loh! Malah nanya kenapa. Memang Anda karyawan sini?!"

"Tapi kan, tidak ada tulisan, selain karyawan dilarang masuk?" Putra terus bersikap nyebelin.

"Bukan berarti tidak ada tulisan itu, Anda jadi sembarangan bisa masuk sini, 'kan?"

"Ya, harusnya ada tulisan itu. Biar orang luar jadi tahu."

"Wah... Benar-benar Anda nih ya!"

Karena jadi emosi, orang itu kemudian langsung mendorong tubuh orang yang gak tahu aturan itu. Agar keluar dari tempatnya.

"Hei! Apa-apaan ini!" Putra protes, dan segera melawan.

Biasa, dia begitu agar terjadi keributan besar. Makanya dari tadi dia bersikap menyebalkan karena ada tujuannya. Caranya berhasil! Karena teman-teman orang itu jadi pada mendengar, dan terpancing keluar dari ruangan mereka masing-masing.

"Ada apa ini?!" tanya mereka.

"Ini, orang luar main masuk tempat kita saja!" lapor orang itu.

Mendengar itu, mereka segera membantu, dan ramai-ramai mendorong Putra agar keluar dari kantor mereka. Memang itu yang diharapkan Putra agar kubu-kubu yang pada mengikutinya melihatnya.

Tentu kalau pria itu lagi berada di dalam kantor orang, mereka hanya menunggu di luar.

Pas di luar, Putra mengarahkan keributan mereka ke gang yang gelap dan sempit. Agar orang-orang yang mengikutinya susah mendekat, dan matanya pada nggak awas. Lalu pas dapat momentnya yang tepat. Dia segera pergi dari sana meninggalkan orang-orang yang pada ribut padanya. Ya, termasuk kubu-kubu itu.

Kemudian di jalan, Putra terus berlari kencang menuju telepon umum. Setibanya, dia langsung menghubungi Komandan.

"Dan! Saya Bima," ucapnya, tanpa memberi kesempatan orang yang dihubunginya berkata 'hallo', saat teleponnya diangkat.

"Oh! Kamu!"

"Dan! Waktu saya gak banyak. Komandan pasti sudah mendengar apa yang terjadi saat ini. Jadi saya kasih waktu 5 menit untuk Komandan berdiskusi dengan para petinggi, Komandan. Nanti saya akan menelpon lagi untuk keputusan itu. Jadi untuk yang pertama, saya yang akan mencari pelaku bom bunuh diri itu. Nanti akan saya pancing dia ke tempat yang sepi agar tidak ada korban jiwa. Tapi Tugu Tani harus diserahkan ke saya. Kedua, saya tidak melakukan apa-apa. Tapi jangan harap saya dapat jabatan itu, dan misi kita cepat selesai."

"Baik lah!"

Klik! Telepon segera dimatikan oleh Bima.