Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 16 - Tamu tak di undang
Beberapa hari kemudian...
Di temani cahaya hangat matahari sore yang menyelinap masuk melalui celah tirai kamar, Azura sedang terbaring dengan kondisi yang masih lemah.
Suara burung di kejauhan yang biasanya terdengar menenangkan, kini malah membuat suasana hati Azura semakin kacau.
Ia duduk bersandar di ranjang sambil memandangi tangannya yang masih dibalut perban dan sesekali ia menyentuh pelipisnya yang masih memar.
Luka-luka fisik itu mungkin akan sembuh… tapi luka di hatinya, siapa yang bisa menjamin?
“Apa aku harus tetap di sini? Bersama seorang pria yang bahkan tidak sadar telah hampir membunuhku?
Apa yang sebenarnya mereka inginkan dariku? Cinta? Keluarga? Atau hanya pewaris…?
Aku… bahkan belum pernah benar-benar dicintai…”
Azura memejamkan matanya sambil menggenggam selimut yang menutupi kakinya. Dadanya terasa sesak. Ia teringat bagaimana hidupnya dulu… sesederhana apa pun, setidaknya ia bisa memilih untuk tertawa atau menangis.
Tapi kini semua berbeda.
“Pernikahan ini… hanya ikatan di atas kertas. Tidak ada cinta. Tidak ada kebersamaan. Hanya kesepian dan luka. Lalu sekarang… Pak Adrian meminta anak? Dari Rangga… yang bahkan tidak mengenal siapa dirinya sendiri?.”
Tiba-tiba, Azura bangkit perlahan dan berjalan menuju jendela. Angin sore yang berhembus membelai rambutnya yang tergerai.
Dari kejauhan, ia bisa melihat taman belakang… tempat di mana Rangga sering mondar-mandir sendiri, seperti jiwanya terperangkap dalam dunia yang tidak dimengerti siapa pun.
“Apa salah jika aku ingin pergi…? Jika aku ingin hidupku kembali…?,” gumam Azura seraya menatap jauh.
Tapi, bayangan wajah ibu tirinya dan Nadine langsung muncul di benaknya. Wajah-wajah yang selama ini menekannya dan memanfaatkannya.
Azura tau… jika ia kembali, ia tidak akan pernah bebas. Dunia luar pun bukan jaminan keselamatan baginya.
“Kalau aku pergi, aku tidak punya tempat pulang… Kalau aku tetap di sini, aku bisa saja mati perlahan…”
Akhirnya, air matanya pun tak terbendung dan lolos begitu saja membasahi pipinya. Dengan cepat ia mengusap wajahnya dan tidak ingin membiarkan air matanya terus menetes.
“Tapi… aku bukan boneka siapa pun. Bahkan jika takdir menjebakku, aku masih bisa memilih untuk tidak tunduk.”
Azura lalu berbalik kemudian menatap lukisan-lukisan yang terletak di pojok ruangan. Yang salah satunya adalah lukisan hasil karya Rangga, abstrak, kelam, namun terlihat jujur.
“Rangga… siapa kamu sebenarnya? Dan kenapa aku harus jadi bagian dari dunia rusak ini bersamamu?.”
Beberapa saat kemudian, langkah-langkah pelan dari luar terdengar mendekat ke kamarnya. Lalu, salah satu pelayan mengetuk dan masuk dengan membawa teh hangat.
“Ini untuk Nona. Dokter bilang minuman hangat akan membantu…”
Azura hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Saat pelayan itu pergi, Azura menatap cangkir teh di tangannya dan berkata lagi dalam hati,
“Aku butuh waktu. Tapi aku juga butuh jawaban. Jika aku harus tinggal… mungkin aku harus mencari tahu. Semua. Tentang Rangga. Tentang Pak Adrian. Tentang rahasia di balik rumah ini…”
Azura mengambil cangkir teh tersebut lalu meneguk tehnya dengan perlahan.
SRUPUTTT...!!
**
Keesokan harinya...
Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja tempat tinggal Azura kedatangan dua wanita yang tak diundang yaitu Rita dan Nadine, ibu dan saudari tirinya yang selalu bersikap angkuh.
Tanpa sopan santun atau salam, mereka turun dari sebuah mobil mewah yang berhenti di pelataran vila.
Rita turun lebih dulu dengan kaca mata hitam besar yang menutupi setengah wajahnya.
Sedangkan Nadine menyusul dengan langkah genit dan senyum mengejek yang tak pernah lepas dari bibirnya.
“Lihat tempat ini, Nadine… mewah sekali. Ugh, akhirnya anak bodoh itu berguna juga," ujar Rita sambil menatap vila tersebut.
“Kalau tahu seperti ini, harusnya dari dulu dia kita serahkan ke orang gila aja ya, Bu," timpal Nadine seraya tertawa kecil sambil menggandeng tas mahalnya.
Kemudian mereka masuk ke dalam vila tanpa memedulikan para asisten yang menyambut mereka dengan bingung.
“Permisi, Ibu… kami belum mendapat informasi tentang kedatangan—”
“Kami keluarga Azura. Tak perlu sok repot menyambut. Mana tuan rumahnya? Pak Adrian mana?,” sergah Rita sambil menepis tangan asisten tersebut.
“Dan mana kamar tamu kami? Kami mau ganti baju dulu. Rumah ini terlalu berdebu…” sok Nadine, padahal vila itu bersih dan harum.
Para asisten pun hanya bisa saling pandang. Mereka bingung harus menjawab atau menuruti saja.
Dengan seenaknya, Rita dan Nadine mulai menyusuri ruang demi ruang, membuka pintu sembarangan, bahkan mencicipi kue di meja makan tanpa izin.
“Perabotannya dari luar negeri semua, Nadine. Lihat itu vas! Pasti mahal," seru Rita sambil menatap sekeliling ruang tamu lalu menyentuh vas kristal di meja kaca.
Nadine pun mengangguk-anggukan kepalanya sambil mengelus sofa di hadapannya.
“Kalau kita bisa tinggal di sini… hidup pasti menyenangkan. Tapi sayangnya, yang dapat justru Azura," dengusnya kesal.
“Ckk. Santai saja. Kita tinggal rajin datang dan pura-pura peduli untuk melihat-lihat celah. Lagipula, kalau dia mati ketiban Rangga, warisan ini bisa jatuh ke kita.”
Xi xi xi xi xi...
Keduanya pun tertawa dan merasa puas. Sementara beberapa asisten yang mendengar hanya menunduk dan tidak berani bicara, walau wajah mereka terlihat tidak nyaman.
“Tapi Bu… harusnya kita langsung temui Azura dulu. Masa bodoh sama lukanya, yang penting kita bisa minta dia bicara baik-baik ke Pak Adrian soal ‘jatah’ kita," ujar Nadine sambil menepuk tangan ibunya.
“Tenang saja. Dia pasti senang melihat kita datang… atau paling tidak, pura-pura senang. Kita mainkan ini pelan-pelan," balas Rita.
Lalu Nadine berlari kecil menaiki anak tangga kemudian mengintip kamar-kamar di lantai atas.
“Bu! Aku nemu kamar yang cocok buatku. Ada bathtubnya juga!,” teriak Nadine.
Merasa tertarik, Rita pun menyusul naik ke atas sambil berkata, "Bagus! Kita beresin diri dulu. Setelah itu baru kita hadapi si pengantin baru yang katanya hampir mati dicekik suaminya. Hahaha…”
**
Beralih ke kamar Azura.
Ia masih berbaring dengan pikirannya yang bimbang juga dengan perban yang masih melilit lengan dan dahinya yang memar.
Dia belum tahu bahwa dua sosok kejam kini telah hadir di rumahnya dengan membawa masalah dan ambisi.
BRAK!
Tiba-tiba pintu kamar Azura terbuka lebar dengan kasar sehingga membuat Azura terlonjak kaget dan menoleh ke arah pintu.
"Ib- ibu?."
Rita berdiri di ambang pintu sambil tersenyum sinis dan berkacak pinggang.
“Wah, wah, wah… Permaisuri kita sedang hidup enak, ya. Hanya tiduran saja, semua kebutuhan dipenuhi dan dilayani.”
Azura memaksakan diri untuk duduk padahal tubuhnya masih lemas dan wajahnya pun nampak pucat.
“Bu… Nadine? Apa yang kalian lakukan di sini?,” tanyanya.
“Kami bosan di rumah. Dan tentu saja, penasaran dengan hidup mewahmu sekarang. Kamu kan sekarang 'nyonya besar' di vila orang kaya," jawab Nadine yang nyelonong masuk sambil memutar bola matanya.
Tanpa izin, Nadine langsung menyusuri kamar Azura, membuka lemari pakaian, mengobrak-abrik laci, dan menyentuh gaun-gaun Azura yang tergantung rapi.
“Wow… baju-baju mahal, parfum branded, bahkan ada perhiasan. Siapa sangka, si gadis tidak tau diri yang dulu cuma cuci piring sekarang tinggal di istana," ledek Nadine.
“Tolong jangan sentuh barang-barangku,” pinta Azura ketika Nadine sudah mulai bertindak keterlaluan.
“Astaga, kamu masih punya keberanian bicara ya? Setelah semua yang kami ‘korbankan’ agar kamu bisa menikah dengan anak orang kaya, sekarang malah sok menjaga harga diri?,” sergah Rita sambil mendekat ke ranjang dan melipat tangannya di dada.
“Aku tidak pernah meminta kalian mencarikan suami untukku… apalagi seperti ini," ucap Azura dengan suara bergetar karena menahan sakit dan emosi.
“Jangan pura-pura suci. Kamu harusnya bersyukur. Tanpa kami, kamu masih jadi pembantu! Jadi meskipun kamu babak belur… itu harga kecil untuk hidup mewah yang kamu nikmati sekarang,” jawab Rita seraya mendekatkan wajahnya ke wajah Azura.
Azura pun menunduk. Karena tidak bisa di pungkiri, rasa takut pada ibu tirinya itu masih melekat di hatinya. Matanya pun mulai berkaca-kaca. Bukan hanya karena takut, tapi juga karena luka batin yang kembali diungkit.
“Aku lebih memilih hidup sederhana… daripada seperti ini. Tinggal dengan seseorang yang bahkan nyaris membunuhku," gumam Azura tapi terdengar oleh Nadine.
“HA HA HA HA... Yah, kamu memang cocoknya jadi bahan kasihan. Selalu jadi korban. Tapi jangan harap kami datang untuk memeluk dan menangis bersamamu, ya. Kami di sini karena kami tahu… cepat atau lambat kamu akan ‘gagal’ jadi istri. Dan saat itu terjadi, kita lihat siapa yang dapat bagian lebih besar dari warisan Pak Adrian.”
Nadine terus mengejek Azura tanpa henti sambil menutup pintu lemari dengan kasar dan mendekat pada ibunya yang tersenyum puas. Kini keduanya berdiri sambil menatap Azura.
“Jadi mulai sekarang, kamu jangan lupa… bahwa kami bisa datang kapan saja. Vila ini besar. Dan kekayaan Pak Adrian, kami juga punya hak untuk ikut mencicipi," ujar Rita dengan tatapan yang menakutkan.
Azura menggenggam sprei tempat tidurnya erat-erat karena menahan amarah dan sakit hatinya yang menggunung.
Setelah itu, Rita dan Nadine meninggalkan kamar dengan langkah yang angkuh. Namun Azura tetap membisu dan hanya memejamkan matanya dengan napas yang berat.
“Haruskah aku terus bertahan dalam lingkaran ini? Atau sudah saatnya aku menentukan hidupku sendiri…?”
BERSAMBUNG...
tambah lagi doooooooong