Maura, gadis lugu dari kampung dengan mimpi besar di kota, bekerja sebagai pengasuh nenek dari seorang milyader muda bernama Shaka Prawira. Tak disangka, Maura juga ternyata mahasiswi di universitas milik Shaka. Di balik sikap dinginnya, Shaka menyimpan perhatian mendalam dan mulai jatuh cinta pada Maura—meski ia sudah memiliki tunangan. Terjebak dalam cinta segitiga, Maura harus memilih antara impian dan perasaannya, sementara Shaka berkata,
"Aku sangat menyukaimu, Maura. Aku ingin kau ada saat aku membutuhkanku."
“ anda sudah bertunangan tuan ,saya tidak mau menyakiti hati wanita lain .”
“ Kau tidak akan menyakitinya sayang ,Thalita urusanku ”.
Namun, apakah cinta mampu mengalahkan janji dan status?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 16
Mobil sport hitam itu berhenti anggun di depan gerbang kampus. Shaka menoleh ke arah Maura yang sedang sibuk merapikan tas dan rambutnya yang terurai.
"Kamu yakin nggak mau aku antar sampai ke dalam?" tanya Shaka dengan nada tenang, tapi dalam hatinya sebenarnya berat melepas Maura pergi begitu saja.
Maura tersenyum sopan.
"Nggak usah, Shaka. Sampai sini saja sudah cukup. Terima kasih sudah mengantar."
Shaka mengangguk pelan.
"Hati-hati."
Maura turun dari mobil, dan seperti yang sudah diduga, beberapa pasang mata langsung memandang heran dan penasaran ke arahnya. Mobil mewah dengan kaca gelap? Mereka tak bisa melihat siapa yang duduk dibalik kemudi. Desas-desus mulai terdengar pelan, tapi Maura tetap berjalan tenang menuju gerbang.
Tepat saat itu, suara panggilan terdengar.
"Maura!"
Maura menoleh dan mendapati Alex berdiri tak jauh dari gerbang, melambai kecil ke arahnya. Wajah Maura langsung berbinar dan ia membalas dengan senyum hangat, lalu menghampiri Alex.
"Pagi, Alex," sapa Maura ramah.
"Pagi juga. Kamu makin semangat hari ini. Siapa yang nganter? Kakakmu?" tanya Alex santai, mencoba terdengar biasa.
Maura hanya terkekeh.
"Bukan... cuma sopir bos ,sekalian mengantar ke kantor ."
“ Oh…ayo kita masuk .” Ajak Alex.
Mereka kemudian berjalan bersama memasuki kampus, mengobrol ringan.
Sementara itu, dari balik kaca gelap, Shaka memperhatikan semua itu. Matanya menyipit sedikit saat melihat senyum Maura pada pria lain. Hatinya terasa aneh—sedikit panas.
"Siapa dia?" gumam Shaka lirih, bibirnya mengatup. Ia sempat memegang gagang pintu mobil, berniat turun. Tapi kemudian ia urungkan.
Sebagai pemilik kampus, ia tahu benar tidak etis membuat kehebohan. Ia menarik napas panjang dan menyandarkan punggung ke jok, mencoba menenangkan gejolak cemburunya.
"Tenang, Shaka mungkin mereka hanya berteman , Belum …saat nya kamu marah sama maura. Kalau dia marah ia pasti bakalan pergi meninggalkanmu….ah…!”
Sahaka memukul setir mobil dengan kesal, ia segera meninggalkan kampus. Mobil itu pun perlahan menjauh, meninggalkan halaman kampus yang masih ramai dengan bisik-bisik mahasiswa.
Langkah kaki mereka menyusuri koridor kampus yang mulai ramai oleh mahasiswa. Angin pagi menyapu lembut rambut Maura yang tergerai. Sesekali terdengar tawa kecil di antara percakapan mereka.
"Eh, kamu ke mana aja sih? Lama banget nggak kelihatan di kampus," tanya Maura sambil melirik ke arah Alex, matanya sedikit menyipit penuh rasa penasaran.
Alex tersenyum santai, tangannya dimasukkan ke saku celana.
"Aku ikut program pertukaran pelajar ke Bandung. Dikirim kampus mewakili jurusan. Baru balik tiga hari yang lalu."
Maura mengangguk paham, matanya sedikit membesar.
"Wah, keren juga ya. Kok kamu nggak cerita sih sebelumnya?"
"Mau cerita, tapi kamu juga susah dihubungi. Kayaknya akhir-akhir ini kamu lebih sibuk dari aku," goda Alex sambil tertawa pelan.
Maura tertawa kecil sambil menggeleng.
"Enggak kok. Cuma... banyak hal saja yang harus aku kerjain. Hidupku belakangan ini kayak roller coaster."
Alex menatap Maura sesaat, seakan ingin bertanya lebih jauh, tapi ia urungkan.
"Kalau butuh teman cerita, kamu tahu harus cari siapa, kan?"
Maura tersenyum, lalu berhenti di depan ruang kuliahnya.
"Aku tahu. Terima kasih ya, Alex."
Alex membalas senyuman itu.
"Oke, kalau gitu aku lanjut dulu ya. Sampai ketemu nanti."
"Hati-hati."
Maura masuk ke ruangannya, sementara Alex berjalan menjauh. Tapi dari kejauhan, seorang mahasiswi yang sejak tadi memperhatikan mereka tampak cemberut — menyimpan rasa tak suka melihat keakraban Maura dan Alex.
*
*
*
Sorotan lampu catwalk menyapu tajam mengikuti langkah para model yang memukau. Musik bergema mengiringi langkah-langkah elegan di atas panggung. Di antara deretan model senior, Thalita tampil mencuri perhatian. Gaun merah marun berpotongan tajam membalut tubuhnya, dan setiap lenggak-lenggoknya menunjukkan kelas.
Dengan kepercayaan diri yang terpancar dari tatapan dan sikapnya, Thalita menyusuri catwalk seperti sudah bertahun-tahun berada di dunia fashion. Sorak tepuk tangan pun mengiringi akhir dari peragaan busana tersebut.
Setelah acara selesai, Thalita turun dari panggung dan masuk ke belakang panggung. Di sana, Nathan—pacarnya—sudah menunggu dengan wajah bangga. Ia langsung memeluk Thalita erat.
"Kamu luar biasa, Sayang. Aku nyaris nggak bisa bernapas lihat kamu di atas catwalk tadi," ucap Nathan sambil mencium kening Thalita.
Thalita tertawa kecil, masih terengah tapi bahagia.
"Aku sempat deg-degan banget pas mau naik, Nath. Tapi pas lihat kamu di barisan penonton, rasanya jadi lebih tenang."
Nathan menyodorkan botol air dan menatap pacarnya dengan penuh kagum.
"Kamu bukan cuma cantik, tapi juga berkelas. Para desainer tadi langsung bisik-bisik soal kamu. Mereka minta kamu buat show berikutnya!"
Thalita menatap Nathan dengan mata berkaca.
"Kalau bukan karena kamu terus dukung aku dari awal, aku nggak akan berani ambil langkah ini."
Nathan tersenyum hangat sambil menggenggam tangan Thalita erat.
"aku akan selalu ada buat kamu, Tha. Dan aku akan selalu jadi orang pertama yang berdiri paling depan buat banggain kamu."
Sementara itu, di sudut ruangan yang remang, seseorang berdiri setengah tersembunyi di antara para pengunjung di sana. Matanya tajam menatap ke arah Thalita dan Nathan yang tengah berbagi momen penuh kehangatan. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya, tapi bukan senyum bahagia—melainkan senyum penuh keberhasilan.
Tangannya menggenggam ponsel, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk pelan layar, seolah sedang berpikir. Semua interaksi, setiap tatapan, setiap sentuhan di antara Thalita dan Nathan tak luput dari pengamatannya.
"Sempurna ..." gumamnya lirih.
Ia memutar badan pelan, lalu berjalan keluar tanpa suara, menyelinap di tengah keramaian yang masih bergemuruh karena euforia acara.
Acara telah selesai dan para penonton mulai meninggalkan aula megah itu. Sementara di belakang panggung, para model berjalan ke ruang ganti untuk mengganti pakaian mereka. Thalita ikut masuk, membawa tas kecilnya, namun langsung merasakan suasana yang agak tegang.
Beberapa model senior sedang bercermin dan bergosip. Begitu melihat Thalita masuk, mereka saling menoleh dan mulai berbisik.
Model 1 (elsa):
"Lihat tuh, si pendatang baru. Baru sekali show udah disanjung-sanjung, padahal jalan juga masih kaku begitu."
Model 2 (Cynthia):
"Iya, mungkin ia punya orang dalam ? Gak heran sih kalau dapat sorotan lebih. Ada yang ‘backing’."
Cynthia tertawa kecil sambil membetulkan lipstiknya di depan cermin.
Model 3 (Samanta):
"Hati-hati aja, biasanya yang cepat naik juga cepat jatuh..."
Ucapnya sambil menatap Thalita lewat pantulan kaca.
Thalita hanya mendengar sepintas, tapi ia memilih diam. Ia tahu, meladeni hanya akan memperkeruh suasana. Ia menarik napas dalam dan mengganti bajunya dengan tenang, mencoba bersikap profesional.
Begitu selesai, ia langsung berjalan keluar ruangan, tak ingin berlama-lama di dalam.
Di lobi, Nathan sudah menunggunya dengan senyum hangat. Tatapan Thalita melembut, dan semua tekanan di belakang panggung seakan luruh saat Nathan meraih tangannya.
Tanpa banyak bicara, mereka berjalan menuju mobil, meninggalkan suasana dingin di ruang ganti dan kembali ke hotel dengan hati yang lebih tenang.
Nathan menggandeng mesra tangan Thalita, keduanya berjalan beriringan menuju lift hotel. Di dalam lift, mereka saling melempar senyum kecil, tak banyak bicara, namun suasana di antara mereka terasa hangat.
Begitu sampai di lantai tempat kamar mereka, Nathan mengeluarkan kartu akses dan menempelkannya ke pintu. Dengan bunyi "bip", pintu terbuka. Mereka masuk dan langsung menutup pintu di belakang mereka.
Dalam keheningan kamar yang nyaman, Nathan menatap Thalita,Tanpa banyak aba-aba, ia memiringkan wajahnya dan mengecup bibir Thalita dengan lembut. Ciuman itu awalnya mengejutkan Thalita, tapi dalam beberapa detik, ia pun membalas, matanya terpejam, tenggelam dalam momen penuh gairah dan keintiman yang manis.
Tangan Nathan terampil melepaskan satu persatu baju Thalita Hingga sekarang ia tanpa busana ,kemudian ia menanggalkan sendiri semua baju yang ia pakai . Diangkat nya Thalita dan membaringkannya di atas kasur empuk hotel.
Mereka berdua larut dalam pelukan hangat, menikmati kehadiran satu sama lain. Hanya detak jantung mereka yang menjadi irama dalam keintiman .
desahan demi desahan menggema di seluruh ruangan. Nathan dengan lembut mengecup lembut leher Hingga bobo kecil di dada Thalita, memberikan sensasi yang tak dapat ditahan Thalita . Tubuh nya merespon dengan baik sentuhan Nathan di tubuhnya.
Waktu itu menjadi milik mereka berdua. Dalam keheningan kamar, hanya terdengar hembusan nafas dan suara lirih yang mencerminkan keintiman. Nathan memeluk Thalita seolah tak ingin melepaskannya. Sentuhan demi sentuhan membuat Thalita larut, terbuai oleh perasaan yang sulit dilawan.
Jeritan kepuasan terdengar Syahdu dari mereka berdua. Menandakan kepuasan telah Mereka dapatkan .nafas memburu dari keduanya .Thalita memejamkan mata menikmati sensasi dahsyat itu. Nathan menjatuhkan tubuhnya di samping Thalita dan mengecup lembut kening Thalita.
Tubuhnya terasa ringan, melayang di antara kenyataan dan keinginan yang selama ini ia tahan. Ia tahu ada batas yang seharusnya tidak ia lewati—ia sudah bertunangan—namun Nathan selalu berhasil membuatnya lupa akan semua itu.
Di dalam pelukannya, Thalita merasa aman…
Sesaat Setelah pergulatan panas, Mereka merasakan lapar . segera saja Mereka membersihkan diri, setelah selesai Nathan dan Thalita duduk santai di sofa sambil memesan makanan dan menunggu pesanan makanan mereka datang. Thalita mengenakan kimono hotel, rambutnya masih basah tergulung handuk. Nathan duduk di sebelahnya, menyalakan televisi hanya sebagai pengisi suara di kamar yang terasa terlalu senyap.
Tak lama, terdengar ketukan pelan di pintu.
Nathan bangkit, membuka pintu, dan menyambut pelayan hotel yang mendorong troli makanan masuk. Pelayan itu tampak profesional, namun sesekali matanya mencuri pandang—bukan hanya kepada Thalita yang cantik, tapi juga ke atmosfer kamar yang menyisakan jejak keintiman yang tak bisa disembunyikan.
"Selamat menikmati," ucap pelayan itu, tapi suaranya terdengar agak berat, seolah menyimpan sesuatu.
Thalita merasakan ada yang aneh. Ia sempat menatap pelayan itu sejenak sebelum pintu kembali tertutup.
"Menurutmu... Apa pelayan itu mencurigakan ?" Kata Thalita pelan sambil membuka penutup makanan.
Nathan hanya tersenyum tipis. “Biarin aja. Kita bayar hotel ini,dan itu bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan sayang .”
Thalita menganguk membenarkan ,ia membuang perasan curiganya dan segera menyantap makanan yang telah di pesan nya .