"aku pernah membiarkan satu Kalila merebut milik ku,tapi tidak untuk Kalila lain nya!,kau... hanya milik Aruna!"
Aruna dan Kalila adalah saudara kembar tidak identik, mereka terpisah saat kecil,karena ulah Kalila yang sengaja mendorong saudara nya kesungai.
ulah nya membuat Aruna harus hidup terluntang Lantung di jalanan, sehingga akhirnya dia menemukan seorang laki laki tempat dia bersandar.
Tapi sayang nya,sebuah kecelakaan merenggut ingatan Aruna,sehingga membuat mereka terpisah.
Akankah mereka bertemu kembali?,atau kah Aruna akan mengingat kenangan mereka lagi?
"jika tuhan mengijinkan aku hidup kembali, tidak akan ku biarkan seorang pun merebut milik ku lagi!"ucap nya,sesaat sebelum kesadaran nya menghilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aru_na, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16.Aruna merasa nyaman
Munira baru saja keluar dari semak-semak samping rumah Dokter Arza. Dia sedang berusaha mengintip pasangan pengantin baru itu, tapi ternyata ketergesa-gesaannya membuatnya ceroboh sehingga dia hampir terpeleset di depan jendela.
"Sial, sial, sial!" runtuknya dalam hati. Keinginannya untuk menyaksikan adegan tak sepantasnya itu pupus sudah akibat ulahnya sendiri.
"Sedang apa kau di sini?" Una, salah seorang perawat yang malam itu sedang bertugas jaga malam di puskesmas, melihat grasak-grusuk yang terjadi di semak-semak belakang puskesmas.
"Eh, itu... e... em, lagi menikmati pesta," ujarnya terlihat gugup.
"Pesta di depan, kenapa malah di belakang? Aneh banget."
"Suka-suka aku dong," Munira meninggalkan tempat itu dengan perasaan kesal berkali-kali lipat.
"Ais, kesal," gerutunya, dan berjalan meninggalkan pesta yang masih tersisa.
Pagi menyingsing dengan matahari yang cukup terik sehingga cahayanya masuk ke dalam kamar tempat pasangan pengantin baru yang masih terlelap dalam tidurnya.
"Emm..." Aruna mengerjap, merasakan kehangatan bantal guling yang sedang dipeluknya itu.
Dia masih setengah sadar dan meresapi sinar matahari yang sedari tadi sudah menyinari tempat tidurnya.
"Hah! Sudah pagi kah?" Dia langsung terduduk, melihat ke seluruh penjuru kamar tersebut. Tidak ada siapa pun di sana, hanya dia dan sebuah buku di atas nakas, yang tidak didapatinya semalam.
"Nyenyak banget semalam, beda banget dengan biasanya," desisnya. Dia merasakan seluruh tubuhnya terasa lebih ringan, seperti beban berat yang selama ini menimpanya telah terangkat. Senyum kecil terukir di bibirnya. Ini adalah pagi pertama di rumah baru ini, di samping suaminya. Meskipun dia tidak melihatnya saat ini, tapi kehadiran Arza terasa di setiap sudut ruangan.
Dia bangkit dari tempat tidur, melangkah pelan menuju jendela. Tirai tipis berwarna krem bergoyang lembut diterpa angin pagi. Di luar, terlihat taman kecil dengan beberapa bunga mawar yang mulai merekah. Wangi tanah basah bercampur aroma mawar menyeruak masuk, menciptakan suasana yang menenangkan. Aruna menghela napas panjang, menikmati ketenangan yang jarang dia rasakan.
Pandangannya beralih ke meja nakas. Buku yang dilihatnya tadi adalah sebuah notebook . Dia mengambilnya dan membuka halaman depan. Ada tulisan tangan di sana, "Selamat pagi Aruna istri ku, semoga kau menemukan kebahagiaan sejati. Arza." Aruna tersenyum lagi. Sikap Arza yang perhatian dan tak terduga berhasil membuatnya terkejut.
Dia meletakkan buku itu kembali dan memutuskan untuk membersihkan diri. Setelah mandi, Aruna mengenakan daster katun tipis berwarna biru muda. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai. Dia merasa segar dan bersemangat. Perutnya mulai keroncongan. Dia melangkah keluar kamar dan mencari Arza.
Bau masakan menguar dari dapur. Aruna mengikuti aroma itu dan menemukan Arza sedang sibuk di depan kompor, membelakangi pintu. Pria itu hanya mengenakan kaus putih polos dan celana pendek selutut. Rambutnya sedikit acak-acakan, menunjukkan bahwa dia juga baru bangun tidur.
"Selamat pagi, Dokter Arza," sapa Aruna pelan.
Arza tersentak kaget, hampir menjatuhkan spatula yang dipegangnya. Dia berbalik dan tersenyum melihat Aruna. "Selamat pagi, istri ku. Sudah bangun?"
"Tentu saja. Bau masakanmu membuatku tak bisa tidur lagi," Aruna mendekat. Dia melirik ke arah wajan. "Masak apa?"
"Hanya nasi goreng sederhana. Aku tidak tahu kau suka sarapan apa, jadi kuputuskan yang aman saja," jawab Arza, pipinya sedikit memerah. "Kau mau teh atau kopi?"
"Teh saja,," jawab Aruna. Dia duduk di kursi bar di dapur, mengamati Arza yang kembali sibuk dengan masakannya. "Sejak kapan kau bangun?"
"Sekitar satu jam yang lalu. Aku ingin menyiapkan sarapan sebelum kau bangun," jelas Arza, menata nasi goreng di atas dua piring. "Kau tidur nyenyak?"
Aruna mengangguk. "Sangat nyenyak. Aku tidak tahu mengapa, tapi rasanya berbeda sekali dari biasanya."
Arza meletakkan piring nasi goreng di depannya, lalu meletakkan secangkir teh panas. "Mungkin karena suasana baru. Atau mungkin karena ada aku di sini," candanya dengan senyum nakal.
Aruna terkekeh.entah kenapa rasa takutnya pada Arza seketika menghilang. "Mungkin juga. Terima kasih untuk sarapannya."
Mereka mulai makan dalam diam, menikmati hidangan sederhana yang terasa lezat. Aruna sesekali melirik Arza, mengamati raut wajahnya yang tenang.
Dia bersyukur bertemu dengan orang ini, meskipun awalnya semua terasa menakutkan. Tapi dokter Arza selalu berusaha membuat suasana nyaman, dan itu sangat Aruna hargai. Mungkinkah arza adalah rumah yang selama ini selalu dia doakan.
"kau tidak bisa makan masakan orang lain?" Aruna memberanikan diri bertanya pada Arza.
Arza yang sedang menyuap kan makanan ke mulut nya seketika berhenti.
"kata siapa?"Arza berujar dengan lembut, dia selalu berusaha membuat Aruna tidak takut.
"ibu kepala desa" ujar nya tersenyum, lalu melanjutkan lagi makan nya.
Arza mengangguk "apakah itu aneh?" Aruna tidak menjawab,dia hanya menanggapi dengan menaikkan bahunya tanda tidak tahu.
"sejak kecil,aku memang terbiasa makan makanan rumahan. sehingga saat dewasa, lidah ku terasa asing dengan masakan luar. Entahlah,aku juga tidak mengerti,tapi begitulah kenyataan nya,saat memakan makanan yang di masak orang lain,aku akan muntah" ujar nya panjang lebar, Aruna hanya mendengar suara Arza tanpa ekspresi, dia menatap Arza dengan tatapan mata nya yang polos.
"kalau begitu,kau harus memasak sendiri setiap hari?". Arza mengangguk. "Duh, pasti capek".
Arza menatap wajah polos Aruna dengan penuh rasa syukur. "Sekarang ada kamu, jadi gak capek lagi" ujar nya, lalu mengambil piring yang sudah kosong di depan mereka, dia membawa nya ke wastafel dan mencuci nya.
"tapi kan kamu gak bisa makan masakan orang lain? " Aruna mengikuti Arza dari belakang, tubuh mungil nya terlihat seperti seorang anak yang sedang mengikuti ayah nya.
"kamu bukan orang lain,Aruna. Kamu istri ku" arza berbalik, menatap Aruna yang tepat berada di depan nya. "ingat itu baik baik,Aruna" dia berkata lembut, tapi nada suara nya tegas, sehingga membuat Aruna merinding. Aruna tidak lagi menjawab,dia kembali ke meja makan dan mulai membereskan nya, sedang Arza melanjutkan lagi mencuci piring di wastafel sambil sesekali melirik istrinya. Mereka bekerja sama secara alami, seolah-olah sudah terbiasa.
"Hari ini kau tidak ke puskesmas?" tanya Aruna kemudian, sesaat setelah mereka selesai mengerjakan pekerjaan di dapur.
Arza menggeleng. "Tidak. Jadwal ku kemarin, jadi hari ini libur. dokter lain yang bertugas" Arza menatap Aruna dengan tatapan penuh arti.
"ada berapa dokter disini?"
"dua,awas saja kalau sampai kau berani melirik nya" arza meraih tangan Aruna dan menggenggam nya, lalu membawa ke teras kecil di depan rumah, dari sana terlihat jelas kamar kamar rawat pasien yang terletak berhadapan dengan rumah dinas yang dibangun oleh warga desa untuk dokter arza.
"dokter itu tinggal disini juga?"
"Dia asli penduduk desa ini, jadi ya pulang kerumah nya lah" Aruna mengangguk, lalu menatap suster suster yang sedang berlalu lalang melakukan tugas tugas mereka di pagi hari.
Arza mengajak Aruna duduk di kursi depan rumah, menikmati kesejukan, angin sepoi-sepoi yang berasal dari persawahan.
"Mas arza..." suara itu, Aruna mengenal nya,dia langsung menoleh ke arah sumber suara, begitu juga dengan arza.
"Kalila..."