Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.
Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.
Namun Wijaya bukan lelaki biasa.
Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.
Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam yang Dijaga Sunyi
Malam turun perlahan di desa Tanjung Sari.
Lampu menyala temaram di ruang tengah rumah Pak Wiryo. Angin masuk lewat celah jendela, membawa suara jangkrik dan bau tanah basah. Setelah seharian menahan canggung, rumah itu akhirnya kembali sepi, hanya menyisakan dua orang yang kini terikat dalam satu ikatan yang sah.
Lia berdiri di depan pintu kamar.
Rambutnya yang legam terurai sederhana, beberapa helai jatuh di sisi wajahnya. Tangannya menyentuh kusen kayu, sedikit gemetar. Bukan karena takut, melainkan karena debar yang tak pernah ia kenal sebelumnya.
Ia membuka pintu perlahan dan melangkah, lalu pintu ditutup. Suara kayu itu terdengar lebih keras dari seharusnya.
Di dalam kamar, Wijaya duduk di tepi ranjang sederhana.
Ia menunduk, memperhatikan telapak tangannya sendiri. Sejak akad siang tadi, kepalanya beberapa kali terasa berat. Bukan nyeri yang menusuk, melainkan tekanan samar, seperti kenangan yang ingin muncul, tapi tertahan.
Ketika Lia masuk, Wijaya segera berdiri.
“Kamu… capek?” tanyanya pelan.
Lia menggeleng. “Sedikit gugup.”
Wijaya tersenyum tipis. “Aku juga.”
Kejujuran itu membuat suasana menjadi lebih ringan.
Mereka duduk berdampingan, menjaga jarak secukupnya. Tidak ada kata-kata berlebihan. Tidak ada tuntutan. Hanya dua orang yang sama-sama belajar menyesuaikan diri.
“Aku tidak ingin kamu merasa terpaksa,” ucap Wijaya akhirnya. “Kalau kamu ingin waktu… aku mengerti.”
Lia menoleh.
“Mas Wijaya,” katanya pelan, “aku menikah denganmu karena aku mau. Bukan karena desa. Bukan karena orang lain.”
Kalimat itu membuat Wijaya mengangkat kepala.
“Kalau begitu,” katanya hati-hati, “izinkan aku menjaga kamu dengan caraku. Pelan-pelan.”
Sunyi.
Sunyi yang penuh. Jarak mereka tinggal sejengkal.
Wijaya mengangkat tangannya, berhenti di udara, menunggu. Lia menatap tangan itu, lalu perlahan mengangguk.
Sentuhan pertama itu ringan. Hampir ragu.
Namun saat tangan Wijaya menyentuh bahu Lia, tubuh Lia menegang sesaat, lalu melunak. Nafas mereka saling bertaut, hangat, dekat.
Tidak ada kata.
Hanya detak jantung yang terlalu jujur untuk disembunyikan.
Lia menunduk, jemarinya saling menggenggam. Wijaya memperhatikannya lama—rambut hitam itu, bahu yang naik turun karena napas yang dijaga, ketenangan yang menyimpan keberanian.
“Kamu yakin?” tanyanya sekali lagi.
Lia mengangguk.
“Tidak ada yang pernah semudah ini,” jawabnya pelan. “Tapi aku memilihnya.”
Wijaya menutup mata sesaat.
Seolah menahan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Malam itu, tidak ada kata-kata berlebihan. Hanya kehadiran yang saling menerima.
Lampu dipadamkan. Tirai digeser. Sunyi kembali menguasai kamar, tapi kali ini tidak kosong.
Di balik gelap, Lia merasakan tangan Wijaya menggenggam jemarinya—erat, seolah takut kehilangan.
Dan untuk pertama kalinya sejak ia ditemukan tanpa ingatan, Wijaya merasa utuh.
Bukan karena masa lalu yang kembali. Melainkan karena seseorang memilih tinggal.
.
Malam semakin larut ketika Jono masih duduk di gardu kecil dekat persawahan.
Lampu-lampu rumah warga satu per satu padam, termasuk rumah Lia. Pemandangan itu membuat dadanya terasa semakin sempit. Ia tahu, malam ini bukan malam biasa bagi mereka.
Jono menunduk, menekan kedua telapak tangannya ke lutut.
Ia tidak ingin membayangkan apa pun. Benar-benar tidak ingin. Namun pikirannya justru berkhianat, menyusun bayangan yang tidak pernah ia undang—tentang Lia yang kini bukan lagi gadis yang bisa ia lihat dari jauh, tentang Lia yang malam ini memilih tinggal dalam keheningan bersama orang lain.
Dia istrinya sekarang, batin Jono getir.
Angin malam menyapu wajahnya, membawa dingin yang menusuk sampai ke dada. Jono memejamkan mata, mencoba mengusir rasa sesak itu, tapi justru wajah Lia muncul lebih jelas. Senyumnya. Caranya menunduk. Suaranya yang lembut saat memanggil nama pria itu—Mas Wijaya.
Panggilan itu terus terngiang.
Jono menggertakkan giginya. Bukan marah pada Lia. Tidak pernah. Ia marah pada keadaan yang terlalu cepat berubah, pada pria asing yang datang tanpa izin lalu mengambil tempat yang tak pernah sempat ia perjuangkan dengan kata-kata.
“Seharusnya aku yang di sana,” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Namun kalimat itu hancur sebelum sempat berdiri tegak. Karena Jono tahu, andai pun ia lebih berani, waktu tidak pernah benar-benar berpihak padanya.
Ia berdiri, menatap rumah Lia dari kejauhan.
Lampunya padam, tapi bagi Jono, rumah itu justru terasa paling terang—terang oleh kenyataan yang tak bisa ia ubah.
“Aku kalah,” bisiknya akhirnya. “Untuk malam ini.”
Namun di balik kekalahan itu, Jono juga menyadari satu hal yang membuat dadanya bergetar:
ia belum benar-benar selesai.
Malam ini, ia memilih pergi.
Tapi perasaannya tertinggal—menjadi bayang-bayang yang kelak bisa berubah menjadi apa saja.
.
.
.
Di kota yang jauh dari desa itu, malam tidak pernah benar-benar sunyi.
Lampu-lampu gedung masih menyala ketika Ana Kusuma terbangun dari tidurnya. Dadanya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang memanggil dari kejauhan. Ia duduk di tepi ranjang, menekan dadanya sendiri, mencoba menenangkan napas.
“Krisna…” gumamnya tanpa sadar.
Nama itu keluar begitu saja, seperti doa yang terlalu lama disimpan.
Ardian Kusuma terbangun, menoleh dengan wajah cemas. “Kamu mimpi buruk?”
Ana menggeleng pelan. “Tidak. Tapi rasanya… aneh.”
Ia bangkit, berjalan ke jendela, menatap kota yang berkilau. Hatinya bergetar tanpa alasan yang jelas. Bukan rasa takut. Bukan pula sedih. Lebih seperti keyakinan yang belum punya bentuk.
“Sudah berbulan-bulan,” lanjutnya lirih. “Aku tidak tahu dia di mana. Tapi malam ini… aku merasa dia masih hidup.”
Ardian terdiam.
“Perasaan ibu,” katanya akhirnya, berusaha terdengar tenang. “Bisa jadi hanya rindu.”
Ana menoleh. “Naluri seorang ibu tidak sesederhana rindu.”
Ia memejamkan mata, mengingat wajah putranya. Cara Krisna menatap lurus saat mengambil keputusan. Cara ia menahan lelah. Cara ia selalu pulang, seberapa pun sibuknya.
“Kalau dia benar-benar sudah tiada,” bisik Ana, “aku pasti sudah merasakannya.”
Di sudut rumah yang lain, Kevin Kusuma berdiri di balik pintu kamar, mendengar percakapan itu tanpa menampakkan diri. Wajahnya tegang. Tangannya mengepal.
Ana mulai curiga, pikirnya.
Ia melangkah mundur perlahan, menahan napas.
Di kamarnya sendiri, Kevin menatap layar ponsel yang gelap. Nama-nama lama berputar di kepalanya. Tempat-tempat yang pernah ia anggap aman kini terasa rapuh.
“Tidak,” gumamnya. “Dia tidak mungkin hidup.”
Namun untuk pertama kalinya, keyakinannya goyah.
Di saat yang sama, jauh di desa kecil itu, Wijaya tertidur lebih tenang dari biasanya. Napasnya teratur, wajahnya damai, seolah sesuatu yang hilang telah menemukan tempatnya kembali, meski belum bernama.
Lia menatapnya lama.
Bagi Lia, pernikahan itu bukan tentang kemeriahan, melainkan keputusan. Keputusan untuk percaya, untuk bertahan, dan untuk menerima seseorang apa adanya. Ia tidak tahu siapa Wijaya sebelum kehilangan ingatan, tapi ia tahu siapa lelaki itu setelah memilih menjadi suaminya.