Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."
Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.
Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15: SUJUD DI TENGAH LELAH, IMAN DI TITIK NOL
Sakit Kepala di Bawah Tekanan
Rina mencoba bangkit dari kursi, tetapi kepalanya berdenyut hebat. Rasanya seperti ada denyut jantung yang salah tempat di dalam tengkoraknya, berirama keras dan menyakitkan, melumpuhkan niatnya untuk berikhtiar lebih jauh. Kelelahan fisik telah mencapai batasnya. Sejak ia memilih untuk menolak tangisan dan bersandar pada ketegaran, tubuhnya telah menarik kembali energi perlawanan, menyisakan nyeri dan keputusasaan yang dingin. Ia tahu ia tidak bisa lagi mengabaikan sinyal bahaya ini.
Ia baru saja hendak mengambil air putih ketika pintu terbuka. Bunda Ida melangkah masuk tanpa mengetuk, langkahnya efisien dan cepat, seperti sebuah mesin yang diatur untuk mengatasi kekacauan yang terjadi. Rina merasa tubuhnya langsung tegang.
“Aku sudah bilang, Rina. Tubuhmu bukan mesin,” kata Bunda Ida, matanya tertuju pada wajah Rina yang pucat dan kantung mata yang menghitam. “Kau harus istirahat. Mengapa kau keras kepala sekali?”
“Aku harus berikhtiar, Bu. Aku harus cari cara untuk menutup semua tagihan ini,” jawab Rina pelan, mencoba mempertahankan suaranya agar terdengar kuat. Ia tahu setiap kelemahan yang ia tunjukkan akan menjadi amunisi bagi ibunya.
Bunda Ida tidak menjawab, tetapi langsung menuju dapur, mencuci tangan, dan mulai membersihkan piring-piring kotor yang menumpuk. Tindakan Bunda Ida selalu merupakan bentuk komunikasi yang lebih kuat daripada kata-kata; itu adalah pernyataan bahwa ia kini mengambil alih.
“Lihat kondisimu,” Bunda Ida melanjutkan, kini memindahkan Arka yang sedang tenang di sudut ruangan. “Kau hampir tidak bisa berjalan, tapi kau bicara soal mencari pekerjaan. Aku tidak akan membiarkan anak dan cucuku menderita karena kau mengira keyakinan spiritualmu lebih penting daripada akal sehat.”
Rina merasa harga dirinya terinjak. “Aku tahu Ibu khawatir, tapi aku tidak minta Ibu mengambil alih. Aku masih bisa mengurus rumah ini.”
Bunda Ida menarik napas dalam-dalam, pandangannya kini tajam dan penuh keputusan. “Aku melihat. Dan yang Ibu lihat adalah kau sedang ambruk. Aku mengambil alih ini bukan karena Ibu meragukanmu, tetapi karena Ibu ingin menyelamatkan sisa-sisa yang Bara tinggalkan.”
Ia kemudian berjalan menuju laci meja Bara, tempat Rina menyimpan dokumen-dokumen penting: berkas asuransi, surat-surat tagihan rumah sakit Arka, dan surat berharga lainnya.
“Aku akan mulai merapikan dokumen-dokumen ini. Kita harus tahu persis apa yang bisa dijual dan apa yang bisa dipertahankan. Kau sudah terlalu lama menunda, Rina,” kata Bunda Ida, mulai menarik laci itu.
Rina melangkah maju, memegang lengan ibunya. “Tunggu, Bu. Jangan sentuh surat-surat itu. Itu urusanku dan Bara.”
Bunda Ida menarik lengannya dengan lembut tapi tegas, lalu menoleh, matanya memancarkan rasa kasihan yang mengikis. “Rina, jangan bodoh. Aku melihat kau berjuang, tetapi kau sudah di ambang kegagalan. Tagihan rumah sakit Arka tidak akan menunggu keajaiban. Aku mengambil alih ini demi anak-anakmu.”
Rina mundur, rasa pahit dan air mata bercampur dengan sakit kepala yang tak tertahankan. Ia teringat Bara yang berjanji akan mencatat keuangan di buku kecilnya. Janji finansial yang ternyata ia tukar dengan janji spiritual, Buku Doa Musafir. Rasa bersalahnya kini berlipat ganda: ia menuntut materi, sementara Bara menawarkan ketabahan.
“Dia pasti sudah mencatatnya di tempat lain,” Rina mencoba membela suaminya, suara memohon.
“Di mana? Di dasar laut?” Bunda Ida mendengus, suaranya dipenuhi frustrasi dan kepedihan. “Ibu sudah bicara dengan Herman. Dia bilang, jika kau terus menunda, rumah ini bisa dijual paksa untuk menutupi utang. Herman bisa membelinya dengan harga yang wajar, lalu kau bisa sewa lagi dari dia. Setidaknya uangnya bisa dipakai untuk Arka. Kau harus tahu, Rina, kesetiaan tidak bisa membayar terapi Arka.”
Kalimat itu menampar Rina, membawanya kembali pada kenyataan yang dingin. “Bara pergi demi martabatnya, Bu! Demi menunaikan bakti pada ayahnya. Dan saya akan mempertahankan martabatnya sebagai suamiku!”
“Kau ini kenapa, Rina? Kau tampak tidak waras. Kau bicara tentang ‘gema tenang’ dan mencium parfum yang tidak ada. Apakah kau benar-benar yakin Bara masih hidup, atau kau hanya sedang berhalusinasi karena tekanan yang tidak tertahankan?” Bunda Ida menatap Rina dengan kecurigaan yang mendalam, mencampurkan kekhawatiran dan ancaman dalam satu pandangan.
Rina memaksakan diri untuk menenangkan napas. Ia tidak boleh membiarkan ibunya menganggap ia gila; itu akan memberikan Bunda Ida alasan sah untuk mengambil alih penuh atas dirinya dan anak-anaknya.
“Saya hanya lelah, Bu. Saya akan mencari pekerjaan besok. Tapi jangan jual rumah kami, dan jangan urus status hukum Bara. Beri saya waktu seminggu lagi.”
Bunda Ida menghela napas panjang, kekecewaan terlihat jelas. Ia kembali ke meja dan mulai memilah dokumen. “Baiklah. Seminggu. Tapi jika dalam seminggu kau tidak bisa menunjukkan hasil yang logis, Ibu akan mengambil alih semuanya. Ini ultimatum, Rina. Pikirkan anak-anakmu.”
Rina hanya mengangguk, melihat punggung ibunya. Ia merangkak ke samping, meraih baju Bara yang Arka tinggalkan di sandaran kursi, dan memeluknya erat-erat. Ia harus menemukan kekuatan yang Bara temukan di pulau itu, kekuatan yang Bara tulis dalam doanya. Ia harus bertahan, tidak peduli seberapa logisnya tuntutan ibunya.
Mencari Keikhlasan di Ujung Tenaga
Di pulau sunyi, Bara kembali ke Cadas Sunyi. Langit di atasnya adalah kanvas hitam tanpa bintang, mencerminkan kekosongan yang ia rasakan. Tubuhnya berteriak, alarm keras dari setiap sendi yang sakit dan perut yang melilit. Ini adalah puncak krisis fisik. Rasa sakit menusuk di perutnya terasa permanen, diiringi pusing akibat kelaparan dan dehidrasi yang parah.
Ia memaksa dirinya untuk melaksanakan salat Isya. Ia berwudu dengan air laut hangat yang ia siapkan, sebuah ritual yang terasa menyakitkan sekaligus suci.
Setiap gerakan terasa seperti menarik beban mati. Saat mengangkat takbir, lengannya terasa seperti batang besi dingin yang sulit digerakkan. Ia harus menopang tubuhnya yang kurus.
Aku tidak meminta diselamatkan. Jangan sampai aku meminta diselamatkan. Bara mengulanginya. Ia ingin doanya murni; murni ketabahan, tanpa syarat. Ia telah belajar dari nasihat Syeikh Tua di pertemuan sebelumnya untuk tidak bergantung pada hasil.
Sujud. Ini adalah puncak perjuangan imannya. Ia memaksa lututnya yang gemetar untuk menopang sisa berat badannya. Dahinya menyentuh permukaan batu kapur yang dingin dan kasar. Ia menekan, berusaha menyalurkan seluruh sisa kekuatannya, bukan untuk meminta karunia, tetapi untuk menawarkan kepasrahan total.
“Ya Allah,” bisik Bara di atas batu. “Aku sudah kehilangan segalanya. Aku ingin ikhlas. Jika ini adalah titik nol takdirku, izinkan aku menerimanya tanpa protes.”
Saat Bara berada di kedalaman sujud itu, ia merasakan kilatan cahaya tipis di kejauhan, di atas lautan lepas, hanya sekilas. Cahaya itu samar, tetapi bentuknya menyerupai lampu kapal yang bergerak cepat. Jantung Bara melonjak, respon fisiknya cepat dan khianat. Harapan palsu langsung menyergap, mengancam untuk merusak keikhlasan yang baru ia bangun.
Kapal. Jangan. Aku tidak boleh berharap pada hasil fisik. Ini ujian keimananku yang paling tinggi.
Ia menekan dahi di batu lebih keras, menolak godaan penyelamatan. Ia memaksa pikirannya untuk kembali pada keheningan sujud. Ia mempertahankan sujud itu hingga ia merasa seluruh energi yang tersisa telah terkuras habis, hingga ia tidak lagi merasakan apa-apa kecuali dinginnya batu kapur dan keharusan untuk pasrah. Sujudnya kali ini adalah sujud yang dipaksakan oleh Iman yang mutlak, yang tidak lagi diukur oleh untung-rugi atau adanya bukti.
Mata di Kegelapan
Bara bangkit dari sujud dengan sisa tenaga terakhir. Ia duduk bersila, dadanya naik turun karena kelelahan, dan tangannya gemetar hebat. Ia menutup Buku Doa Musafir yang baru saja ia letakkan di sisinya, lalu meraih sebuah batu kecil yang ia gunakan untuk menandai halaman.
Tepat pada detik itu, ia mendengar suara. Suara yang sangat pelan, tetapi jelas: derit papan yang terangkat, seolah sesuatu yang berat baru saja bergeser dari sela-sela Akar Bakau Gergasi di belakangnya. Bara menahan napas. Suara itu menyerupai suara puing kapal yang bergerak saat terombang-ambing di laut, atau mungkin desahan dari makhluk hidup yang besar.
Ia menoleh perlahan ke arah kegelapan hutan yang diselimuti bayangan akar-akar raksasa. Ia tidak melihat sosok berjubah Syeikh Tua, tetapi ia melihat dua titik cahaya bercahaya samar, memantul dalam kegelapan. Mata itu menatapnya, tanpa berkedip dan tanpa emosi. Cahayanya dingin, intens, seperti sepasang lensa yang mengamati.
Bara tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa menatap mata itu hingga akhirnya, mata itu kembali diam dan menghilang sepenuhnya ke dalam rimbunnya hutan bakau. Ia tidak tahu apakah itu adalah wujud pengawasan spiritual yang dingin, yang memantau setiap detik ujiannya, ataukah ancaman fisik yang paling nyata dari fauna buas pulau. Ia hanya tahu bahwa ujian kesunyiannya belum berakhir, dan ia telah berhasil melewati titik nol fisik dan imannya.
Ultimatum di Balik Perhatian
Di rumah, Bunda Ida telah selesai memilah tumpukan dokumen. Ia kini mendekati Rina, yang terbaring kaku di tempat tidur, mencoba memejamkan mata tetapi tidak berhasil karena denyutan di kepalanya. Bunda Ida duduk di tepi ranjang. Rina dapat mencium aroma antiseptik yang selalu melekat pada ibunya, aroma yang kontras dengan aroma laut dan petualangan Bara.
“Kau tidak tidur?” tanya Bunda Ida, nadanya melembut, tetapi Rina tahu ini adalah awal dari interogasi yang lebih sulit.
“Tidak bisa, Bu,” jawab Rina pelan. “Kepalaku sakit sekali. Mungkin karena kurang tidur.”
“Itu karena kau terlalu banyak berpikir. Dan kau berpikir dengan cara yang salah,” kata Bunda Ida, kini kembali terdengar nada instruksi dalam suaranya. Ia meletakkan selembar kertas di meja samping. “Aku sudah memeriksa semua dokumen kita. Ibu sudah membandingkan utang dan aset.”
Rina menatap kertas itu dengan cemas. Ia tahu itu adalah inti dari masalah mereka. Sebuah daftar dingin yang merangkum kehancuran finansial.
“Tagihan rumah sakit Arka sudah lebih dari batas toleransi. Kita butuh uang muka untuk terapi lanjutan Arka, dan kita tidak punya. Dan asuransi Bara, Harjo sudah memberikan batas waktu. Jika kau tidak mengajukan status kematian, kita tidak akan mendapatkan dana sehelai pun. Kau akan kehilangan rumah ini,” jelas Bunda Ida, suaranya kini bergetar karena emosi yang tertahan.
Rina memejamkan mata erat-erat. “Aku tidak bisa mengubur Bara hidup-hidup, Bu. Dia akan kembali. Aku merasakannya.”
“Ini bukan menguburnya, Rina. Ini menyelamatkan apa yang tersisa. Ini adalah logika yang harus kau terima.” Bunda Ida mencondongkan tubuhnya. “Kau adalah ibu dari dua anak. Satu anakmu butuh biaya terapi yang sangat besar. Apakah kau lupa janji Bara padamu? Janji untuk mencatat keuangannya?”
Rina teringat buku kecil yang ia peluk beberapa waktu lalu. Buku yang ternyata berisi doa-doa. Bara tidak mencatat uang; dia mencatat janji spiritual. Rasa bersalahnya semakin menusuk, ia telah menuntut transparansi materi, sementara Bara sibuk mencari ketenangan batin.
“Dia pasti sudah mencatatnya di tempat lain, Bu,” Rina mencoba membela suaminya sekali lagi.
“Di mana? Di dalam perut ikan? Di dasar samudra?” Bunda Ida mendengus, frustrasi. “Rina, dengarkan Ibu. Aku sudah bicara dengan Herman. Dia bilang, jika kau terus menunda, rumah ini bisa dijual paksa untuk menutupi utang. Herman bisa membelinya dengan harga yang wajar, lalu kau bisa sewa lagi dari dia. Setidaknya uangnya bisa dipakai untuk Arka. Kau harus tahu, Rina, martabat tidak bisa membayar terapi Arka.”
Kalimat itu menampar Rina lebih keras daripada rasa sakit di kepalanya. “Bara pergi demi martabatnya, Bu. Demi menunaikan bakti pada ayahnya! Dan saya akan mempertahankan martabatnya sebagai suamiku!”
“Kau ini kenapa, Rina? Kau tampak tidak waras. Kau bicara tentang ‘gema tenang’ dan mencium parfum yang tidak ada. Apakah kau benar-benar yakin Bara masih hidup, atau kau hanya sedang berhalusinasi karena tekanan yang tidak tertahankan?” Bunda Ida menatap Rina dengan kecurigaan yang mendalam. “Jika kau terus bicara seperti ini, Ibu akan membawamu ke dokter. Dan Ibu tidak main-main. Kau tidak boleh membiarkan anak-anakmu tumbuh dengan ibu yang secara emosional sudah tidak stabil.”
Rina memaksakan diri untuk menenangkan napas. Ia tidak boleh membiarkan ibunya menganggap ia gila; itu akan memberikan Bunda Ida alasan sah untuk mengambil alih penuh atas dirinya dan anak-anaknya. Ia harus menawarkan solusi logis.
“Saya hanya lelah, Bu. Tapi saya akan cari pekerjaan. Saya akan berikhtiar secara nyata, secara materi, mulai besok. Tapi jangan jual rumah kami, dan jangan urus status hukum Bara. Beri saya waktu seminggu lagi.” Rina meminta batas waktu yang sangat krusial.
Bunda Ida menghela napas panjang. Ekspresi wajahnya menunjukkan kekecewaan, tetapi juga sedikit lega karena Rina akhirnya setuju untuk bertindak secara logis. “Baiklah. Seminggu. Tapi jika dalam seminggu kau tidak bisa menunjukkan hasil yang logis, Ibu akan mengambil alih semuanya. Ini ultimatum, Rina. Pikirkan anak-anakmu. Mereka butuh stabilitas, bukan keyakinan buta.”
Bunda Ida bangkit. “Aku sudah membuatkan bubur untuk Arka. Aku akan pulang sekarang. Jangan lupa minum obat. Dan jangan coba-coba membuang waktu dengan hal-hal puitis lagi.”
Rina hanya mengangguk, melihat punggung ibunya menghilang di balik pintu. Rumah terasa begitu sepi dan mencekam. Ia merangkak ke samping, meraih baju Bara yang Arka tinggalkan di sandaran kursi, dan memeluknya erat-erat. Ia harus menemukan kekuatan yang Bara temukan di pulau itu, kekuatan yang Bara tulis dalam doanya. Ia harus bertahan, tidak peduli seberapa logisnya tuntutan ibunya.
Keheningan yang Memaksa Tidur
Di kamar yang kini terasa dingin, Rina berbaring lagi. Sakit kepala itu akhirnya mereda sedikit, berganti dengan kelelahan yang luar biasa, kelelahan yang mematikan. Ia memejamkan mata, memeluk baju Bara, mencoba mencari kehangatan yang hilang. Kelelahan ini adalah bentuk penyerahan dirinya yang paling murni.
“Ya Allah,” bisiknya putus asa di ambang batas kesadarannya. “Apa yang harus kulakukan? Saya sudah tidak punya tenaga lagi. Saya sudah di titik nol.”
Dalam keadaan setengah sadar, Rina merasakan sentuhan. Bukan sentuhan suaminya yang hangat. Sentuhan lembut di ubun-ubunnya, seolah ada tangan yang membelai dengan penuh kasih sayang. Sentuhan itu terasa dingin, tetapi anehnya menenangkan, menyerap semua ketegangan dari leher hingga punggungnya.
Ia mendengar suara samar di telinganya. Bukan Gema "Tenang" yang biasa ia rasakan setelah Bara berdoa, tetapi bisikan yang sangat tipis, seperti suara daun kering yang bergesekan, menyerupai bahasa Arab yang asing.
“Tawakkal. Tawakkal.”
Rina tidak yakin apakah itu mimpi, bisikan halus, atau efek samping dari sakit kepala yang parah. Tetapi, sentuhan itu cukup kuat untuk mengakhiri krisis kelelahannya, memaksanya tidur nyenyak setelah berhari-hari tegang dan terjaga. Sentuhan karomah spiritual yang dikirim oleh takdir ini akhirnya memberikan Rina ketenangan fisik yang ia butuhkan.
Saat Rina akhirnya tertidur pulas, baju Bara yang ia peluk terlepas sedikit. Sehelai bulu burung, dengan warna biru tua yang mengilap seperti merak, jatuh perlahan dari lipatan baju itu, mendarat di lantai kayu di samping ranjang.
Di ruang tamu yang sunyi, di antara tumpukan tagihan yang sedang Bunda Ida urus, Arka, yang baru saja selesai makan bubur, mendongak. Matanya yang besar dan hitam menatap lurus ke sudut ruangan yang kosong, seolah menyaksikan sesuatu yang indah. Ia tidak rewel, hanya memancarkan kedamaian yang aneh.
Di luar rumah, malam telah mencapai puncaknya. Jarak ribuan kilometer, dua titik koordinat, Rina dan Bara, akhirnya menemukan ketenangan serentak: Bara karena sujud ikhlas tanpa hasil, Rina karena sentuhan ajaib yang memaksanya beristirahat. Ujian telah mencapai titik kulminasi di mana kepasrahan adalah satu-satunya jalan keluar.