 
                            Ayudia berpacaran dengan Haris selama enam tahun, tetapi pernikahan mereka hanya bertahan selama dua tahun, sebab Haris ketahuan menjalin hubungan gelap dengan sekertarisnya di kantor. 
Seminggu setelah sidang perceraiannya usai, Ayudia baru menyadari bahwa dirinya sedang mengandung janin kecil yang hadirnya tak pernah di sangka- sangka. Tapi sayangnya, Ayudia tidak mau kembali bersama Haris yang sudah menikahi wanita lain. 
Ayudia pun berniat nutupi kehamilannya dari sang mantan suami, hingga Ayahnya memutuskan agar Ayudia pulang ke sebuah desa terpencil bernama 'Kota Ayu'.
Dari situlah Ayudia bertemu dengan sosok Linggarjati Putra Sena, lelaki yang lebih muda tiga tahun darinya dan seorang yang mengejarnya mati-matian meskipun tau bahwa Ayudia adalah seorang janda dan sedang mengandung anak mantan suaminya.
Satu yang Ayudia tidak tau, bahwa Linggarjati adalah orang gila yang terobsesi dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nitapijaan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mama Papa
Tak tak tak!
"Tee ... sattee ... sattee .."
Bunyi ketukan bambu dan suara orang yang menawarkan dagangannya membuat Ayudia jadi salah fokus. Wanita hamil itu seketika berbinar sampai melupakan sosok menyebalkan yang lewat —Baginya di depan sana.
"Tii, mau sate, Ti!" seru Ayudia dengan semangat. seperti anak-anak yang merengek meminta dibelikan jajan.
"Nanti juga lewat, tunggu aja." Ujar Uti dengan santai. Ayudia pun mau tak mau menurut.
"Kok tumben ada orang jualan, biasanya sepi." Tanya Ayudia penasaran. Dia baru kali ini mendengar suara seseorang yang menawarkan jajanannya seperti tukang sate saat ini.
"Palingan si Khaer, dia jualan kalau mau aja, kalau lagi males ya nggak bakal kedengaran suaranya," Jawaban Bulik Yati di angguki Uti dan Bulik Hartini.
Hah, memang ada orang yang jualan begitu?
"Jualan kalau ada mood aja gitu, Lik?" Ayudia mendapat anggukan atas pertanyaannya. Wanita itu menatap kedepan jalan, di tunggu beberapa menit ternyata tukang sate itu tak kunjung muncul.
"Kok lama, Ti? Jangan-jangan nggak lewat sini,"
"Coba tengok kedepan, nduk. Siapa tau ada yang beli di depan sana," Titah Uti entah pada siapa. Soalnya, Uti memanggil 'nduk' pada Ayudia, dan kedua anaknya.
"Biar Ayudia aja yang cek, di depan sana, kan?" Ayudia mengusulkan dirinya. Uti dan kedua buliknya mengangguk pelan.
"Lihat dari sini aja, Nok. kalau nggak berhenti di rumah warga, paling di pos ronda. Tadi Bulik lihat banyak anak-anak pada lek-lekkan." (lek-lekkan: kegiatan bergadang, tapi biasanya didasari oleh acara tertentu).
Ayudia angguk-angguk, sembari memakai sendal jepit milik Uti Nur yang tersedia di halaman rumah. Langkahnya menuju ke arah jalan yang sedikit lebar di depan rumah Utinya, mungkin hanya cukup di lewati satu mobil dan satu motor.
Di sebelah tanaman teh-tehan, Ayudia celingak-celinguk mencari keberadaan tukang sate yang dia cari. Ternyata nyangkut di salah satu rumah warga.
Ayudia membuang nafas pendek, sejujurnya dia malas berjalan kedepan sana tapi lidahnya sudah terlalu gatal ingin memakan makanan hangus itu. Coba saja Ayudia tinggal di kota, dia pasti tak perlu repot-repot begini.
Mana jarak dari rumah Utinya sedikit jauh dengan rumah yang menjadi tempat nyangkut tukang sate. Diam-diam Ayudia merutuk, kenapa sih orang-orang di sini rumahnya saling berjarak?
"Pak, satenya masih?" begitu sampai di sebelah tukang sate, Ayudia tanpa ba-bi-bu mengutarakan keinginannya. "Mau tiga bungkus, ya."
"Waduh, kalau tiga bungkus nggak cukup, Mbak. Sisa sebungkus, mau nggak?"
Ekspresi wajah Ayudia seketika lesu, padahal dia sudah membayangkan akan mukbang sate. Ckckck. "Yaudah nggak apa-apa, bakarnya rada gosong ya, pak." pesannya. Tak apa lah kalau cuma sebungkus, lagian sebungkus juga isinya tidak hanya satu, kan?
"Siaaapp!"
"Ngomong-ngomong, Mbaknya dari kota, ya? Nggak pernah lihat," tanya si tukang sate basa-basi. Ayudia menjawabnya dengan anggukan kepala dan gumaman.
"Duduk sini, Mbak. Di situ banyak kukus," Ibu-ibu pemilik rumah itu menawarkan terasnya untuk Ayudia duduki. (asap)
"Di sini aja, Bude. Mau lihat, hehehe ..." Ayudia menyengir kuda. Hampir dua bulan di sini, tapi dia belum terlalu kenal dengan tetangga. Kembali lagi, para tetangga dan warga memang jarang ada di rumah ketika siang hari. Jadi wajar lah kalau Ayudia tidak kenal. Paling hanya beberapa ibu-ibu yang suka bekerja di kebun Pakde Narman saja.
"Nanti bau loh, mbak." Ujar tukang sate itu. tapi Ayudia keras kepala ingin melihat, sekaligus menghirup aromanya yang begitu khas.
Lama memperhatikan bara api yang menyala-nyala ketika si kipasi, Ayudia tak sadar kalau si belakangnya sudah ada seorang lelaki bertubuh tinggi dengan kulit sawo matang.
"Mbak ..." bisik Linggar begitu pelan. Ayudia meremang, wanita itu seketika berbalik karena refleks.
"Heh!" ia melotot sebagai bentuk protesnya karena Linggar sudah mengejutkannya. "Ngapain kamu di sini?" Ayudia sewot. Padahal tadi dia tidak melihat Linggar dimanapun, kecuali pas lewat.
Linggar sendiri hanya terkekeh geli, kedua tangan nya masuk kedalam saku Hoodie. "Liatin apa sih, fokus banget." Tanya lelaki itu. kemudian melongok kedepan.
"Banyak asapnya, nggak baik buat ibu hamil." Tegur Linggar. Tanpa persetujuan Ayudia, lelaki itu menariknya sedikit jauh dari asap sate yang sedang banyak-banyaknya.
"Sok tau!" ketus Ayudia. Entah kenapa, saat bersama Linggar Ayudia selalu tersulut emosi. Mungkin karena kesan pertama mereka tidak cukup baik bagi Ayudia.
"Beli sate?" Linggar mengacuhkan ucapan ketus Ayudia. Dia malah tertarik dengan alasan Ayudia keluar malam-malam begini.
"Nggak! Beli kodok!" Balas Ayudia kesal. "Udah tau ngadepin tukang sate, yakali beli sayuran." Imbuhnya dengan wajah cemberut dan kedua tangan terlipat didepan dada.
Linggar terkekeh ringan. Lagi-lagi Ayudia yang mencak-mencak terlihat lucu di matanya. "Siapa tau cuma beli tusuknya aja," kelakar Linggar yang sama sekali tidak masuk selera humornya.
"Iya buat nusuk kamu semua!"
"Galak banget sih," Linggar menjawil dagu Ayudia gemas. "Mau cium4n nggak? Kangen banget, nih."
Ayudia begidik geli. Cowok di depannya emang stres tidak tertolong. "Mau cium4n sama aspal? Sini!" Wanita itu sudah bersiap dengan memegangi kepala Linggar. Kalau saja Ayudia tak punya hati, dia mungkin sudah menjedotkan kepala lelaki itu dengan aspal jalan yang terlihat hitam.
Sudah di bilang, apapun yang dilakukan Linggar selalu memancing emosi Ayudia. Saking kesalnya wanita itu. Apalagi ketika Linggar tersenyum-senyum sembari memanggil dirinya sendiri dengan sebutan 'Mamas', seperti saat ini.
"Jahat banget sih, Mama. Padahal Mamas Linggar udah berusaha jadi Papa yang baik buat dedek bayi," tutur lelaki itu dengan bibir bawah yang di majukan. Bukannya keliatan imut, malah semakin seram di pandangan Ayudia.
"Papa gundulmu!" Hardik Ayudia. dia dengan tega menggeplak kening Linggar yang kontan membuat lelaki itu semakin menyengir lebar.
"Ciyee ... Mama udah berani sentuh-sentuh Papa," ledek lelaki itu dengan cengiran lebar.
Ayudia bertambah melotot. "Heh! Beneran stres ya kamu, ngga jelas lagi!" Paparnya dengan wajah aneh.
Linggar terbahak, sampai Ibu-ibu di teras rumah, tukang sate, dan beberapa pemuda di pos ronda menoleh ke arah mereka.
Tapi Linggar seolah tak perduli di perhatikan. Biarlah, biar semua orang tau kalau Linggar dan Ayudia punya hubungan. Biarkan mereka menyebarkan gosip hehehe.
Kan katanya ucapan adalah doa, siapa tau dari gosip mereka yang menerka-nerka hubungan keduanya bisa menjadi jalan.
"Emang nggak jelas, soalnya yang jelas cinta Papa pada Mama."
Dug!
Ayudia tanpa perasaan menonjok perut rata Linggar. Ternyata keras juga ya, padahal Ayudia kira Linggar itu tipe-tipe cowok tinggi yang kurus. Ternyata berotot.
"Makin makin nggak jelas, ampun deh!" Rutuk Ayudia meninggalkan Linggar. Wanita hamil itu berjalan menuju tukang sate yang sudah selesai menyiapkan pesanannya.
"Eh, lupa nggak bawa uang." Ayudia mendesah lirih. belum juga dia bersuara, sosok Linggar sudah lebih dulu menyodorkan selembar kertas pink lewat bahunya. Sedangkan sebelah tangan lelaki itu mengalung ringan di perut Ayudia.
Wanita itu panik, celingak-celinguk memastikan tidak ada yang melihat mereka.
