Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15, Badai dalam istana
Langit malam tampak mengerikan. Petir berkelebat di balik awan hitam, menerangi atap-atap istana seperti nyala api yang siap menelan segalanya.
Hujan turun deras, menghapus aroma bunga dari taman dan menggantinya dengan bau logam dan lumpur.
Di gerbang timur, Elara berdiri bersama Kaen. Mereka berlindung di balik dinding batu besar, menatap ke arah jalan sempit yang menuju gudang logistik.
Pasukan bersenjata ringan terlihat mendekat tanpa bendera kerajaan, tanpa tanda pangkat.
“Mereka datang lebih cepat dari yang kuduga,” ucap Kaen rendah.
“Itu berarti Kepala Logistik tahu rencanaku.”
Elara menatap ke arah hujan.
“Biar begitu. Malam ini, semuanya akan berakhir.”
Ia menarik pedang tipis yang disembunyikan di dalam jubahnya.
Kaen memandangnya sekilas.
“Kau benar-benar tidak takut mati, ya?”
“Aku hanya takut mati tanpa arti,” jawab Elara pelan tapi tegas.
Sementara itu, di ruang utama istana, Kaelith menerima laporan dari pengintai pribadi.
“Yang Mulia, pasukan tanpa lambang bergerak menuju Gerbang Timur. Jumlah mereka sedikit tapi terlatih.”
Kaisar berdiri perlahan.
Jubah hitamnya melambai saat ia berbalik.
"Berapa banyak pasukanku yang tersisa di istana?”
“Tiga puluh, Yang Mulia.”
Kaelith menatap keluar jendela. Kilat menyambar, memantulkan bayangan wajahnya yang dingin.
“Tiga puluh cukup,” katanya datar. “Kita ke Gerbang Timur.”
Penasehatnya panik.
“Yang Mulia, protokol melarang Kaisar turun ke medan kecil. Biarkan—”
“Protokol tidak bisa melindungi orang yang tidak mengikuti aturan,” potong Kaelith tajam. “Dan malam ini, aku tidak punya waktu untuk aturan seperti itu.”
Hujan makin deras.
Elara dan Kaen sudah berhadapan dengan kelompok pertama dari pasukan bayangan itu.
Tanpa aba-aba, pertempuran pecah.
Kilatan baja beradu dengan suara petir.
Kaen bergerak cepat, seperti bayangan yang menari di antara hujan. Dua orang jatuh sebelum mereka sempat menghunus pedang.
Elara memutar pedangnya, menangkis serangan dari arah kiri, lalu menusuk lawan dengan gerakan ringan namun mematikan.
Meski darah mengucur di hujan, ekspresinya tetap dingin, matanya fokus penuh.
“Jangan biarkan mereka lari!” teriak salah satu penyerang.
Kaen menendang batu, membuatnya terpental ke kepala lawan.
“Kau dengar itu?” katanya sinis. “Mereka takut padamu.”
“Mereka seharusnya takut padamu juga,” balas Elara, tersenyum samar di tengah hujan.
Tiba-tiba, suara terompet panjang menggema.
Dari balik kabut hujan, muncul barisan prajurit berpakaian perak pasukan Kaisar.
Dan di depan mereka, menunggang kuda hitam, Kaelith memimpin langsung.
Sorot matanya tajam seperti mata elang, menyapu medan penuh genangan dan darah.
“Hentikan mereka!” perintahnya keras.
Benturan besar terjadi ketika kedua pasukan bertemu.
Elara menoleh cepat, lalu matanya bertemu dengan Kaelith di antara kerumunan dan kilat.
Ia tidak tahu apakah itu ilusi atau kenyataan, tapi seolah waktu berhenti sejenak hanya ada suara hujan dan napas mereka berdua.
Kaelith turun dari kudanya, mendekat dengan pedang terhunus.
“Aku sudah bilang, jangan bergerak sendiri.”
Elara menatapnya tajam.
“Kalau aku menunggu izinmu, malam ini aku sudah mati.”
Kaisar nyaris ingin marah, tapi melihat darah di bahunya, kata-katanya tertahan.
Ia justru melangkah lebih dekat, lalu berkata pelan hanya untuknya.
“Jangan mati di hadapanku, Elara. Aku tidak akan memaafkanmu kalau kau berani.”
Suara itu tenggelam di tengah dentuman guntur, tapi Elara mendengarnya jelas.
Ia membuang pandangan, pura-pura tidak mendengar, lalu kembali menebas lawan yang menyerang dari belakang.
Di sisi lain, Kaen menemukan pria berjubah hitam Kepala Logistik sendiri berusaha melarikan diri melalui jalur air di bawah istana.
Kaen mengejarnya, menebas rantai, lalu menarik kerah pria itu dengan kasar.
“Kau pikir bisa lolos?”
Pria itu tertawa tercekik.
“Kau takkan sempat membawaku hidup-hidup. Mereka akan membunuhmu juga,kau dan permaisuri kesayanganmu itu.”
Kaen menarik pisau dan menempelkannya di leher pria itu.
“Katakan siapa ‘mereka’ sebelum aku berubah pikiran.”
“Kau pikir cuma aku? Separuh istana sudah berpihak pada pangeran utara… dan Kaisar bahkan tak tahu. Sebentar lagi semuanya—”
Kaen tidak membiarkannya selesai. Ia meninju wajah pria itu hingga pingsan.
“Cukup bagiku.”
Ia menyeret tubuh pria itu ke arah medan pertempuran, di mana Elara dan Kaelith mulai menguasai situasi.
Ketika Kaen tiba, Elara sudah berdiri di tengah medan, hujan menetes dari ujung rambutnya, darah bercampur air di tanah.
Kaelith menatap Kaen dengan dingin, tapi tidak lagi curiga hanya diam, menunggu penjelasan.
Kaen melempar tubuh Kepala Logistik ke tanah.
“Ini dia sumbernya. Dan sebelum pingsan, dia bilang separuh istana sudah berkhianat.”
Semua orang terdiam.
Petir menyambar di langit, menerangi wajah Kaelith yang menegang.
“Separuh istana…ya” ulangnya pelan.
“Kalau begitu, ini baru permulaan.”
Elara menatapnya, mata mereka bertemu lagi.
Kali ini tak ada pertengkaran, tak ada ejekan hanya kesadaran yang sama: mereka sedang berdiri di tepi jurang yang sama.
Dan untuk pertama kalinya, Kaelith berkata dengan nada yang lebih lembut, nyaris seperti pengakuan:
“Mulai malam ini, kau tidak sendirian, Elara.”
Hujan terus turun, menutupi darah yang tumpah, tapi tidak bisa menyamarkan panas yang perlahan tumbuh di antara mereka.
Di menara tertinggi, jauh dari semua keributan, seseorang memandangi pertempuran dari kejauhan melalui jendela kaca.
Bayangan itu tersenyum pelan, lalu berbisik,
“Kaisar, Permaisuri, dan pengawal kesetiaannya… kalian akhirnya bersatu. Tapi kalian lupa satu hal.”
Ia memutar cincin di jarinya berukir lambang kerajaan utara.
“Aku yang menulis akhir kisah ini.”