Karena cinta kah seseorang akan memasuki gerbang pernikahan? Ah, itu hanya sebuah dongeng yang indah untuk diriku yang telah memendam rasa cinta padamu. Ketulusan ku untuk menikahi mu telah engkau balas dengan sebuah pengkhianatan.
Aku yang telah lama mengenalmu, melindungi mu, menjagamu dengan ketulusanku harus menerima kenyataan pahit ini.
Kamu yang lama aku sayangi telah menjadikan ketulusanku untuk menutupi sebuah aib yang tak mampu aku terima. Dan mengapa aku baru tahu setelah kata SAH di hadapan penghulu.
"Sudah berapa bulan?"
"Tiga bulan."
Dada ini terasa dihantam beban yang sangat berat. Mengapa engkau begitu tega.
"Kakak, Kalau engkau berat menerimaku, baiklah aku akan pulang."
"Tunggulah sampai anak itu lahir."
"Terima kasih, Kak."
Namun mengapa dirimu harus pergi di saat aku telah memaafkan mu. Dan engkau meninggalkanku dengan seorang bayi mungil nan cantik, Ayudia Wardhana.
Apa yang mesti ku perbuat, aku bukan manusia sempurna....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : Permintaan Tante Sofia
“Ayu …Ayu. Buka pintunya, dong. Kalau begini, mana mungkin masalahnya selesai,” kata Dika sambil mengetuk pintu kamar Ayu.
Namun sayang, Dia tidak mendapat tanggapan sama sekali dari Ayu. Ayu masih ngambek. Mungkin dia sudah terlalu kecewa karena selama ini dia selalu mengabaikannya. Dia diam termangu di depan pintu kamar Ayu, sampai Sofia dan Steve datang.
“Tante, Om, tumben kalian datang malam-malam begini?” kata Dika sambil menuruni tangga, menyambut kedatangan mereka berdua.
Hari ini, Sofia dan Steve sengaja menemui Dika kembali. Dia ingin meminta kepastian Dika tentang Ayu. Karena dua hari lagi mereka akan kembali ke Sidney.
“Iya Dika. Aku ingin memohon padamu, boleh ya, Ayu aku bawa ke Sidney,” kata Sofia.
“Iya Dika, biar Ayu ikut kami. Aku nggak tega sama tantemu Dik. Setiap hari merengek ingin mengajak Ayu tinggal bersama kita,” kata Steven.
Dia tak boleh egois. Ini demi tumbuh kembang Ayu. Ia akan tumbuh lebih baik jika berada dalam keluarga yang lengkap. Bagaimana pun Ayu memerlukan sosok ibu yang tak mungkin tergantikan oleh dirinya sebagai seorang laki-laki.
“Kalau Ayu mau, aku tak keberatan.” Akhirnya Dika pun menyerah.
Ayu yang mendengar Dika menyebut nama Tante dan omnya, ia sedikit membuka pintu kamarnya. Dia ingin memastikan, apakah Tante dan Om nya benar-benar datang, atau kah ini hanya sekedar jebakan agar dirinya keluar.
Ternyata tante dan om nya benar-benar datang. Merka kini telah duduk, mengobrol dengan Papa Dika di ruang keluarga.Ia pun segera berlari, berhambur memeluk Sofia.
“Tante, papa sudah tidak peduli lagi padaku. Aku mau ikut tante saja.”
“Benarkah?” tanya Ayu.
“Ya, Tante. Dari pada di sini, aku diabaikan terus sama papa.”
Sofia tak percaya dengan apa yang didengarnya. Apa yag diinginkan, disambut baik Ayu sendiri. Kalau sudah begini, dia sudah tak perlu lagi persetujuan Dika lagi.
“Alhamdulillah, Tante senang sekali. Besok Rabu kita berangkat,” kata Sofia kemudian.
Dika hanya bisa tertunduk lesu. Dia tak bisa membohongi hatinya kalau dirinya sedih jika Ayu tak ada di sampingnya lagi.
Dia diam membisu dan menyandarkan punggunggnya dengan malas. Beberapa kali ia mengusap wajahnya yang mulai gelisah.
Rasanya sia-sia apa yang dilakukan selama ini, menemani Lea hingga melahirkan, membesarkan dan menjaga Ayu sampai sebesar ini, jika pada akhirnya ia yang ditinggalkan.
Namun Dika cukup faham, bahwa mereka juga punya kewajiban dan hak atas Ayu juga. Sekarang atau nanti sama saja, Ayu pasti akan pergi juga. Entah karena diminta tantenya, ayah biologisnya, atau suaminya kelak.
Hiks… kok dia jadi sentimental, sih.
“Papa marah?” tanya Ayu dengan bingung.
“Papa tidak marah Ayu. Papa hanya sedih, harus berpisah dengan Ayu.”
“Kan Papa bisa jemput Ayu kapan saja, kalau papa tak sibuk lagi,” kata Ayu.
Dika mengusap rambut Ayu dengan lembut. Dia menyadari jika Ayu belum mengerti dengan keputusannya sendiri. Ia menganggap kepergian dengan tante Sofia hanya untuk memberi hukuman pada Dika yang telah mengabaikannya selama ini, bukan untuk meninggalkan Dika dalam waktu yang lama.
“Iya. Papa bisa jemput Ayu kapan saja,” kata Dika.Tak terasa matanya pun sembab.
“Papa kok menangis sih. Nanti Ayu jadi menangis nih.” Ayu pun mulai sedih.
“Eh, Ayu nggak boleh sedih dong. Kan mau pergi ke Sidney, di sana pemandangannya bagus sekali, lho. Apalagi jika musim semi, banyak bunga bermekaran. Kalau musim salju, kamu bisa bermain ski atau skating. Pasti menyenangkan. Benar begitu kan, Tante?” kata Dika yang membuat semua terharu.
“I... ya…” jawab Sofia dengan terbata-bata. Ia benar-benar terharu dengan cara Dika membujuk Ayu agar bisa lepas darinya, meski masih berat.
“Baiklah, Tante. Ayu boleh ikut kalian,” kata Dika dengan senyum merekah.
Sofia dan Steve pun merasa lega, Dika telah melepas Ayu dengan ikhlas.
“Tapi biarkan Ayu di sini malam ini, Tante?”
“Aku faham, Dika.”
“Ya sudah, Dika. Kami pulang dulu. Kami baru berangkat lusa, kok.”
“Makasih Tante.”
Mereka pun segera berpamitan. Meninggalkan Dika dan Ayu yang kini sudah berdamai kembali.
Timbul sebuah rencana dalam benak Dika untuk menghabiskan waktu bersama putrinya sebelum kepergiannya ke Sidney. Tak apalah kalau besok ia tidak ke perusahaan dulu. Biarlah semuanya di-handle oleh sekretarisnya dan asistennya untuk 2 hari ini. Hitung-hitung sebagai hadiah untuk putrinya yang selama ini telah sabar menunggu saat ia sibuk bekerja.
“Ayu, gimana kalau besok kita ke pantai?”
“Boleh-boleh, Pa. Tapi besokkan Ayu sekolah…”
“Tenang saja. Nanti Papa yang ijin. Pasti dibolehkan.”
“Oke, Pa. Papa baik banget, deh.”
Muaaach… Ayu pun memberi satu ciuman man kecil di pipi Dika, yang dibalas dengan banyak ciuman di wajah putrinya.
“Kita akan berangkat malam-malam, biar bisa tiba di pantai sebelum subuh. Kita bisa lihat sunrise nantinya.”
“Benarkah, Pa?”
Dika mengangguk.
“Sekarang Ayu tidur saja dulu, ya …” kata Dika.
“Baiklah, Pa. Tapi aku tidur di kamar Papa ya…”
Dika menghela nafas yang berhembus sekeras kipas yang hampir dol. Alamat dirinya tidur di kamar tamu, deh.
“Ya… Boleh,” jawabnya agak malas.
“Peluk papa …” pintanya lagi dengan manja.
Hah … sudah sering dibilang tidak boleh peluk-peluk papa lagi karena sudah besar, tapi tetap sama. Kalau ditolak, pasti ngambek. Tak ditolak, dia sudah tidak kecil lagi, walau tidak besar juga.
“Baiklah. Ayo, Papa gendong.”
Ayu senang sekali. Begitu Dika jongkok, ia langsung melompat ke punggungnya. Tak berapa lama, Ayu pun tertidur sebelum sampai di dalam kamarnya.
Dika pun tersenyum saat menurunkan pelan-pelan di atas kasurnya. Dia pun merebahkan sejenak tubuhnya sebelum akhirnya meninggalkan Ayu tidur sendirian.
Tepat tengah malam, ia membawa tubuh Ayu yang masih tertidur pulas ke dalam mobil. Tak lupa ia mengajak Mbok Sari. Dia pasti akan kehilangan saat Ayu pergi dari sisinya nanti.
“Semuanya sudah dimasukkan kah, Mbok?” tanya Dika.
“Insyaallah sudah, Den.”
“Ya sudah. Mbok masuk aja dulu.”
Tanpa diminta, Mbok Sari mengerti apa yang dimaksud tuannya. Ia pun segera masuk, duduk bersandar dengan nyaman agar Dika dapat meletakkan kepala Ayu di pangkuannya.
Begitu Ayu sudah di pangkuannya, ia pun menepuk-nepuk punggung Ayu pelan-pelan
Baru saja Dika menyalakan mesin mobilnya, Ayu tampak terjaga.
“Huuuaahhhh… dimana ini, Pa.”
“Masih di jalan. Tidur saja dulu.”
Bukannya tidur, dia malah berpindah ke depan, menemani Dika menyetir. Agar papanya tidak mengantuk saat menyetir.
Meskipun dalam gelap, ia tetap aktif berceloteh, bercerita apapun yang bisa ia ceritakan. Bahkan tentang bulan yang malam ini sedang mengintip malu-malu di balik awan. Hehehe….
mampir juga di karya aku ya🤭
cuman akan aku persingkat.
sayang kalau tak ku teruskan tulisan ini.
biar deh, walaupun tak lulus review.
yang penting selesai dulu.