Ellena dijual ibu tirinya kepada seseorang sebagai pengantin yang diperkenalkan di muka umum, agar istri sah tetap aman.
Namun, di hari pengantin ia diculik sesuai dugaan pria itu, dan disanalah awal penderitaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kinamira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Maxim tengah mencumbu seorang wanita, namun dibenaknya dipenuhi bayang tubuh Ellena.
Membayangkan Ellena membuatnya bergairah, namun disaat bersamaan membuatnya merasa jijik menyentuh wanita lain.
Maxim menggeram, menghempaskan wanita itu lepas dari tubuhnya. "Tuan, kenapa berhenti? Kita baru mulai?"
"Keluar!" Usir Maxim dengan suaranya yang meninggi.
"Hah? Tapi Tuan ...."
Maxim menoleh menatapnya dengan tajam. "Kenapa apa kau ingin mati?"
Ucapan itu membuat wanita itu, tanpa pikir panjang segera berlari keluar, meninggalkan Maxim.
Maxim menghela nafas kasar, mengusap kasar bibirnya, saat rasa jijik itu tak hilang. Ia diam menatap langit kamar, yang lagi membuatnya teringat bayangan tubuh Ellena.
"CK. Aku terlalu kecanduan menyiksa tubuhnya," gumamnya.
Menyiksa atau terlalu menikmati. Hingga bayang-bayang Ellena tidak bisa hilang.
Maxim berulang kali menghela nafas kasar. Bayangan Ellena dalam benaknya terus membuatnya berfantasi liar, yang tidak bisa ia kontrol, membuatnya bergairah.
Ia butuh pelampiasan, namun menyentuh wanita lain, entah kenapa membuatnya jijik.
Maxim yang dalam keadaan gundah, sementara di luar kamarnya dua orang kepercayaannya tengah membicarakan dirinya.
"Hm, di usir lagi. Ini wanita ke empat yang di ganti Tuan Maxim untuk memuaskannya, namun tidak ada yang dipakai," ucap Liam sembari menatap ke arah pintu kamar Maxim.
"Ya dia seperti kehilangan mainannya, ingin cari yang lain tapi tidak didapat," timpal Johny diikuti kekehan gemas.
Liam mengangguk dan ikut tertawa. "Tapi, jika dipikir-pikir, aku lihat Ellena masih sangat muda."
Johny mengangkat sebelah alisnya. Mengingat kembali bagaimana wajah Ellena. Ia mengedikkan bahu merasa ragu. "Entahlah. Identitas dirinya juga tidak bisa diakses. Sekedar tau kapan dia lahir saja ditutupi Felix Willson."
"Hm, kamu benar. Sudah sangat jelas Felix menjaganya. Tapi, kenapa Ellena tidak mengakui Felix? Dia berulang kali mengatakan itu?" ucap Liam merasa heran.
Johny mengedikkan bahu, "Bisa saja supaya dilepaskan Maxim kan?" tebaknya, menduga hal yang paling masuk akal.
"Setelah ini, mungkin Ellena tidak akan berani keluar rumah. Dia pasti trauma besar," lanjut Johny mengingat kembali bagaimana histerisnya Ellena melihat mayat-mayat berjatuhan.
"Hm, setidaknya sebelum Ellena lepas. Maxim berhasil membuatnya trauma," timpal Liam.
"Ya itu benar, tapi apa Tuan kita itu benar-benar bisa melepaskan Ellena? Ini saja belum dua puluh empat jam, dia sudah uring-uringan tidak ada mainan," ucap Johny sembari terkekeh, mendengar teriakan Maxim di dalam sana. Memperjelas, bagaimana pria itu sedang emosi.
Obrolan mereka terhenti karena orang yang dibicarakan telah keluar dari kamar, dengan wajah merah yang tidak tenang.
Maxim hanya melirik sekilas pada mereka, dan terus berjalan melewatinya. Mau tak mau Johny dan Liam bangkit dari tempat istirahat mengikuti sang Tuan dari belakang.
"Selamat pagi Tuan." sapa Jonathan membungkuk hormat saat Maxim melewatinya.
Maxim memasuki ruang makan. Sebelum ia sampai seorang dengan pakaian pelayan, menarik kursi untuknya duduk.
Lagi tanpa mengucapkan apapun, ia duduk begitu saja, yang detik berikutnya sarapan pagi baru diletakkan di atas meja.
Maxim mengerutkan keningnya, menatap hidangan di depannya. Semakin banyak yang dihidangkan semakin kesal pula dirinya.
Maxim menggeram, sebelum hidangan terakhir mendarat di meja. Pria itu dengan emosi mengambil hidangan paling dekat dengan jangkauannya dan membantingnya ke lantai disertai dengan gertakan suaranya. "Hidangan apa yang kalian buat ini!"
"Aku tidak mau makanan seperti ini. Dasar tidak berguna!" teriak Maxim membanting dan menghancurkan satu persatu makanan yang ada.
Para pelayan hanya bisa menjerit, menjauh agar tidak terkena serpihan piring yang hancur di lantai.
***
Tidak di tempat Maxim atau di tempat Felix. Dua pria berbahaya dan berhati dingin. Ellena dituntut untuk menurut.
Hidupnya benar-benar diambang kehancuran.
Saat ini wanita itu dipaksa ikut ke negara Perancis. Negara pilihan Lovie untuk melakukan bulan madu.
Sekali lagi dirinya ikut hanya sebagai bayangan, dan akan dijadikan pusat jika dalam keadaan bahaya.
Dengan menggunakan pesawat pribadi. Ellena memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Sementara di depannya terdengar obrolan dan candaan ringan sepasang kekasih itu.
Terdengar sangat seru, membuatnya bertanya-tanya. Apakah seseru itu mencintai dan dicintai? Apakah orang sekejam Felix, benar-benar bisa menjadi lembut di depan wanitanya? Dan apakah dirinya pantas mendapatkan cinta seperti itu?
Air mata Ellena berurai. Tangannya mengepal di atas pangkuan. "Ibu kenapa setelah ibu pergi, hidupku semakin menderita saja? Aku butuh ibu ...," ucapnya sembari terisak pelan.
"Hey hey jangan menangis suaramu menganggu!" ucap Felix yang menyentikkan tangannya di atas kursi.
Ellena diam, namun tidak sepenuhnya berhenti menangis. "Haven, aku hanya bisa berharap, kamu baik-baik saja. Setidaknya kamu harus sehat. Hanya kamu yang kakak punya," batinnya.
Setelah menempuh waktu berjam-jam, mereka telah sampai di negara tujuan.
"Pakai ini!" perintah Felix menyerahkan sebuah outher.
Ellena diam menatap outher itu, lalu menatap Lovie yang memasang masker dan kacamata menutupi wajahnya.
Pakaian mereka yang sama. Tinggi dan bentuk tubuh yang nyaris sama. Membuat hati Ellena semakin sakit, karena benar-benar dijadikan sebuah bayangan.
"Kenapa kau diam? Ambil ini dan pakai, jangan buang waktu!" sahut Felix menyentakkan suaranya.
Ellena memejamkan mata. Ia yakin outher itu dipakai untuk menyamarkan dirinya lebih dulu, dan akan dilepaskan dalam keadaan genting dan berganti Lovie yang memakainya.
"Kalau aku tidak mau bagaimana!" ucap Ellena, menatap dengan kosong, tanpa semangat hidup.
Lovie berdecih, menggandeng mesra tangan Felix sedangkan Felix menatap Ellena dengan tajam. "Maxim sangat menyiksamu kan? Jika kau tidak ingin merasakan hal yang sama bersamaku, sebaiknya kau patuh!" ucapnya dengan penuh penekanan.
Entah keberanian mana yang datang. Ellena membalas. "Itu juga karena ulahmu! Kau membuat hidupku menderita!" bentaknya yang detik kemudian sebuah tamparan dilayangkan di pipinya.
"Beraninya kau berteriak di depanku!" ucap Felix menatap dingin.
Ellena menyentuh pipinya, air matanya mengalir tanpa mampu dihentikan.
Felix menghela nafas panjang. "Kau jangan menguji kesabaran aku Ellena. Karena kau harus baik-baik saja. Kau tidak boleh terluka saat aku perlihatkan di publik. Jadi jangan membuatku memukulmu!" ucapnya dengan tegas.
"Pakai ini, atau adikmu yang kena imbasnya!" Ancam Felix menekan kata adik. Ia begitu tau titik kelemahan Ellena.
Ellena yang semula diam dalam tangisnya beralih menatap tajam Felix, tanpa mengatakan apapun. "Dengan sekali ucapanku, aku bisa membuat adikmu merasakan jauh lebih menyakitkan apa yang kamu rasakan!" tambah Felix membuat Ellena semakin tertekan.
Ellena ingin abay, namun mengingat kembali siapa Felix, membuatnya harus menurut.
Dengan kesal Ellena menarik outher itu dan memakainya yang mampu menutupi dress yang dikenakan.
Felix memicingkan mata, merasa ada yang kurang untuk menutupi. Ia lalu melirik anak buahnya, membuatnya langsung paham kekurangan itu.
"Berikan dia topi dan kacamata!" perintahnya, kemudian berbalik pergi sembari bergandengan tangan dengan Lovie.
"Ini topi dan kacamata, kau berjalan sejajar dengan kami!"
Ellena tidak membantah. Ia hanya bisa pasrah menerima apapun yang diperintahkan.
Menatap Lovie yang berjalan di depan, membuatnya merasa setiap langkahnya mendekatkannya dalam bahaya.