Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)
Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.
Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.
Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Beberapa hari setelah percakapan mereka di taman rumah sakit, suasana hati Sekar terasa berbeda. Tidak seenteng balon yang lepas ke angkasa, tapi juga tidak lagi seberat beban yang terus menekan. Ia masih ragu, masih belajar berdamai dengan diri sendiri, tapi ada sesuatu yang mulai tumbuh: harapan. Harapan yang kecil, rapuh, tapi cukup untuk membuatnya berhenti melangkah mundur.
Pagi itu, langkah Sekar terasa lebih lambat dari biasanya saat berjalan menuju ruangan kepala bidang keperawatan. Panggilan mendadak itu membuat dadanya sedikit sesak. Ia mencoba mengingat-ingat, adakah laporan yang terlambat dikumpulkan? Apakah ia lupa sesuatu yang penting? Atau mungkin... ada komplain dari pasien?
Pikirannya terus menari-nari di antara kemungkinan buruk. Tapi begitu ia membuka pintu ruang rapat kecil itu, pemandangan di dalam membuatnya terpaku sejenak.
Hanif duduk di sisi kanan meja, mengenakan kemeja putih dan jas rumah sakit, terlihat santai dan—seperti biasa—tenang. Di seberangnya, Direktur Rumah Sakit sedang menyusun beberapa lembar dokumen.
"Tenang, ini bukan rapat evaluasi," ujar sang Direktur sambil tertawa kecil, menangkap ekspresi gugup di wajah Sekar. "Silakan duduk."
Sekar duduk dengan punggung sedikit tegang. Matanya tak sengaja bertemu dengan milik Hanif, yang tersenyum tipis padanya—senyum yang entah kenapa, membuat detak jantungnya sedikit melambat.
"Ada undangan khusus untuk konferensi nasional kesehatan di Bandung minggu ini," kata Direktur, menyodorkan map biru kepada mereka. "Topiknya tentang sistem layanan terpadu dan komunikasi antar-divisi. Saya ingin kalian berdua yang mewakili rumah sakit."
Sekar terdiam. Kata-kata 'kalian berdua' menggema di kepalanya.
"Ini kesempatan bagus, Sekar," lanjut Direktur, suaranya mantap tapi bersahabat. "Saya melihat kerja sama kalian akhir-akhir ini. Kalian saling melengkapi. Konferensinya berlangsung tiga hari. Hotel dan akomodasi sudah disiapkan panitia."
Sekar menoleh perlahan ke arah Hanif. Pria itu masih dengan wajah tenang, seperti sudah tahu dan menerima semuanya.
“Baik, Pak. Kami siap,” jawab Hanif tanpa ragu.
Sekar hanya mengangguk pelan. Mulutnya kering, tapi ia tak ingin terdengar bimbang. Dalam dirinya, berbagai perasaan saling bertabrakan. Pergi ke luar kota? Bertiga hari? Bersama Hanif? Ini jelas di luar zona nyaman yang selama ini ia pelihara rapat-rapat. Ia bahkan belum sepenuhnya memahami arah hubungan mereka setelah percakapan itu di taman. Masih ada jarak, masih ada hati yang belum selesai membenahi luka.
Namun di sela kekalutan itu, ada suara kecil yang berbisik lembut: Mungkin ini kesempatan untuk mengenalnya lebih dalam. Untuk mengenal dirimu juga lebih baik.
Dia tidak tahu apakah keputusannya akan berujung pada kejelasan atau justru semakin membingungkan. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak ingin terus bersembunyi. Tidak lagi.
"Baik, Pak," akhirnya ia bersuara, meski lirih. "Terima kasih atas kepercayaannya."
Direktur tersenyum puas, lalu berdiri dari kursinya. "Bagus. Siapkan laporan ringkas masing-masing. Kita berangkat dua hari lagi."
Sekar mencuri pandang ke arah Hanif saat mereka beranjak dari ruangan. Pria itu tidak berkata apa-apa, hanya memberi tatapan singkat yang hangat—dan entah kenapa, Sekar merasa, ada sesuatu yang baru sedang menunggu mereka di perjalanan itu. Sesuatu yang tak bisa diukur dengan jadwal konferensi atau lembar laporan.
Tapi mungkin... bisa dirasakan di sela-sela waktu yang mereka habiskan bersama.
****
Malam itu, langit terlihat gelap dan berat. Hujan belum turun, tapi aroma tanah basah sudah mulai menyeruak lewat celah jendela kamar Sekar yang terbuka sedikit. Angin masuk perlahan, membawa udara dingin yang menusuk, membuat bulu kuduknya meremang. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lutut, dengan lampu meja yang hanya menyala redup. Suasana kamarnya tenang, hampir sunyi, tapi isi kepalanya justru riuh, berisik oleh kegelisahan yang sulit ia redam.
Besok pagi, ia akan berangkat ke Bandung. Naik kereta. Bersama Hanif.
Bukan pertama kalinya mereka bepergian dalam urusan dinas, tapi yang satu ini terasa berbeda. Ada jeda yang tidak bisa dijelaskan antara mereka—jarak yang semakin rapat tapi juga semakin mengintimidasi. Perjalanan ini… terasa seperti ujian. Mungkin juga sebuah awal. Atau justru penentu.
Sekar mengembuskan napas pelan. Tangannya mengusap lengan kirinya yang dingin, entah karena udara atau kecemasan yang diam-diam merayap. Ada perasaan gamang yang sulit ia tolak. Sejak beberapa waktu terakhir, hubungan mereka tidak lagi sebatas rekan kerja. Setidaknya, tidak bagi Sekar.
Ia memejamkan mata, mencoba membayangkan bagaimana rasanya duduk di samping Hanif selama beberapa jam di gerbong yang sama. Apakah mereka akan bicara? Tentang pekerjaan? Tentang diri mereka? Atau justru larut dalam keheningan yang canggung? Dan bagaimana jika Hanif tidak merasakan hal yang sama? Bagaimana jika semua perhatian yang diberikan pria itu hanya bentuk tanggung jawab profesional, bukan karena perasaan yang lebih dalam?
“Apa aku siap?” bisiknya pada diri sendiri. “Apa aku benar-benar siap membuka ruang lebih besar untuknya?”
Pertanyaan itu berputar di kepalanya berkali-kali, seperti kaset usang yang tak pernah berhenti diputar. Ia tahu, rasa ini tumbuh perlahan. Sejak Hanif mulai datang lebih sering, mengajak bicara, menawarkan bahu saat hari-harinya terasa berat. Sejak senyuman itu terasa lebih tulus, dan tatapan itu… menjadi lebih lama dari yang seharusnya.
Namun, ketakutan selalu datang setelahnya. Ketakutan bahwa ia hanya salah menafsirkan semuanya.
Ia melirik koper kecil di pojok kamar. Separuh isi sudah dipersiapkan—seragam, buku catatan, baju santai. Tapi yang belum ia siapkan adalah dirinya sendiri. Hatinya. Karena tak ada pakaian yang cukup tepat untuk membungkus rasa takut akan ketidakpastian. Tak ada daftar bawaan yang bisa mencatat bagaimana cara menghadapi seseorang yang mungkin sedang berjalan ke arah yang sama, tapi belum tentu dengan tujuan yang sama pula.
Ponselnya bergetar di meja. Sekar terlonjak pelan, lalu meraihnya. Satu pesan masuk dari Hanif.
> “Jangan lupa sarapan dulu sebelum ke stasiun. Besok pagi aku jemput jam 06.30.”
Sekar terdiam menatap pesan itu. Sederhana. Singkat. Tapi hangat. Sangat Hanif. Ia bisa membayangkan nada tenang pria itu saat mengucapkannya, seolah Hanif selalu tahu cara membuat orang lain merasa aman—termasuk dirinya.
Ia senyum tipis, nyaris tidak sadar. Jantungnya berdebar pelan. Entah karena pesan itu, atau karena fakta bahwa Hanif akan menjemputnya sendiri. Tidak mengirim sopir kantor, tidak menyuruh orang lain.
Ia mengetik balasan:
> “Baik. Sampai besok.”
Namun, jari-jarinya ragu. Lama ia hanya menatap layar, seolah satu pesan bisa menentukan arah hubungan mereka. Seolah titik di akhir kalimat itu bisa berarti akhir atau justru permulaan.
Akhirnya, ia tekan juga tombol kirim.
Sekar memeluk bantal di pangkuannya, mencoba menenangkan diri. Suara jarum jam terdengar lebih keras dari biasanya. Malam itu jadi malam yang panjang. Tidur terasa jauh, seperti halnya rasa percaya yang masih setengah jalan. Tapi ia tahu, esok pagi akan datang juga. Dan bersama fajar, datang pula harapan-harapan baru.
Mungkin, di balik kecanggungan dan diam-diam yang panjang, akan ada ruang untuk bicara dari hati ke hati. Mungkin, Bandung akan menjadi tempat di mana semua tanya bisa perlahan dijawab. Atau setidaknya, jadi awal dari keberanian Sekar untuk bertanya—dan menerima apa pun jawabannya.
Karena pada akhirnya, bukan tentang apakah Hanif akan membalas perasaannya. Tapi apakah ia sendiri berani jujur pada hatinya.
Entah ia akan pulang dengan hati yang lebih utuh atau lebih hancur, Sekar hanya ingin satu hal: untuk tidak lari dari kemungkinan. Untuk berani menghadapi semuanya.
Bersama Hanif.