Aidol atau idol. Adalah istilah yang lumrah di zaman ini karena kehadirannya yang telah masif.
Chandra Kirana adalah salah satunya. Ia yang mulai dari nol, tak pernah berpikir untuk menjadi seorang idol.
Namun, ia "terperosok" ke dalam dunia itu. Dunia yang tak pernah ia tahu sebelumnya.
Mulai saat itu, dunianya pun berubah.
(Update setiap hari selasa, kamis, Sabtu dan minggu.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baginda Bram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Setelah mendapat pesan dari ketua OSIS, barulah aku bisa tenang. Farrel yang akan tampil ternyata benar adanya. Kabar itu membuat tekadku menjadi bulat untuk tampil semaksimal mungkin. Itu adalah langkah awal agar rencanaku terwujud.
Aku telah memutuskan untuk membawakan lagu "happy feeling" karena hanya lagu itu yang cocok dibawakan dalam acara semacam ini. Yang memberikan positive vibes kepada pendengarnya.
Tenang saja, itu bukan lagu berbahasa Inggris. Hanya judul dan beberapa penggalan katanya saja yang memakai bahasa itu.
Selain cocok, aku juga telah menguasai lagu itu sejak beberapa minggu yang lalu. Koreografinya, liriknya, semuanya bukan masalah.
Tapi hafal bukan berarti akan bagus. Karena aku belum pernah tampil di atas panggung dan juga belum pernah menampilkan lagu ini di hadapan khalayak umum. Namun setidaknya, aku percaya diri untuk membawakannya.
Kemarin adalah hari latihan terakhir karena hari ini adalah harinya pertunjukkan. Ketika seluruh lomba telah usai, ketika siang menjelang sore, ketika sudah bergonta-ganti penampil, aku telah siap.
Karena acaranya menjelang sore, paginya aku sempat ke bongori. Tentu saja untuk di-make up dan memakai kostum yang ada. Kupilih kostum dengan motif warna merah putih agar senada dengan tema 17-an.
Jujur ini kali pertama bagiku untuk memakai make up. Aku meminta tolong pada kak Desy untuk jadi juru riasku karena penting bagiku untuk tampil maksimal.
Tentu saja ia dengan senang hati melakukannya. Apalagi melihat adanya perkembangan dengan wajahku berkat mendengar saran darinya, ia pun semakin bersemangat.
Aku meminta agar dibuatkan make up yang mencolok. Kalau bisa membuatku cantik seratus kali lipat.
Sepanjang proses, aku hanya terpejam. Rasanya agak menggelitik. Begitu kubuka mata. Bulu mataku terlihat lentik, bibirku merah merona, pipiku pun nampak menggemaskan.
Rambutku dibuat berponi di depannya. Aku pun baru sadar kalau rambutku sudah sebahu. Benar saja, aku tampak seperti orang lain.
Aku selalu bertanya, "ini aku?" Sambil menatap kaca. Sampai terheran-heran aku dibuatnya. Kulihat raut muka Kak Desy, tersungging senyum puas.
"Nah, kalo gini kan cantik." Ucapnya sambil menepuk pundakku dari belakang.
Tak pernah terpikir olehku untuk tampil bersama seseorang. Namun, saat Viola dan Anna bertanya alasanku memakai outfit stage dan berias, setelah tahu, mereka malah menawarkan diri untuk ikut.
Aku ragu mau melibatkan mereka atau tidak. Tapi, justru merekalah yang meyakinkanku dengan dalih mencari pengalaman.
Akhirnya kami berangkat ke sekolahku bersama. Jujur saja aku malu jika harus seperti ini dalam perjalanan. Anna yang paham, memesan sebuah ojek mobil untuk ke sana.
Aku yakin ongkosnya mahal bukan main. Tak apalah, daripada terkena sinar matahari, berdesakan dalam angkutan umum, cuma inilah pilihan yang relevan. Baru aku mau mengajak patungan, Anna menolak dengan dalih sudah ia bayar dengan memakai kartu kredit miliknya.
Anak SMA mana yang sudah membawa kartu kredit?
Untungnya kami sampai dengan cepat. Kupinjam kaca yang ada pada bedak milik Anna, syukurlah tak ada yang berubah. Terlihat dari kejauhan, para siswa berkumpul di depan panggung, menyebabkan tak ada siapapun di sekeliling sekolah.
Aku bergegas ke belakang panggung. Mencari di mana ketua OSIS. Kudapati ia sedang sibuk mengarahkan anggotanya ke sana ke mari. Kudekati ia, ia tampak kaget menyadariku.
"Makasih ya 'Kak!"
Ia membetulkan kacamatanya seakan ada yang salah dengan penglihatannya. Matanya mengerjap cepat.
"O-oh ...,"
Ia memandangiku lekat-lekat. Sebelah matanya menaikkan kacamatanya.
"Bajumu ...." Ia nampak terheran-heran memandangiku. Membuat kalimatnya menghilang.
"... bagus." Sambungnya.
"Makasih. Oh iya 'kak, aku tampil urutan ke berapa yah?"
"Ke sembilan. Sesuai permintaanmu."
"Sekarang urutan nomor berapa?"
"Enam."
"Oh kalau begitu, kami akan bersiap-siap. Sekali lagi, terima kasih ya, Kak."
Ia hanya mengangguk pelan.
Dua penampil lagi, giliranku akan tiba. Sebaiknya aku segara mengajak mereka berdua untuk bersiap. Berkumpul di belakang panggung.
Jantungku mulai berdegup kencang. Kakiku serasa bergetar hebat. Tanganku mulai lembap. Viola yang memandangku, segera membelai punggungku lembut.
"Gugup? Tenang aja, anggap aja penonton itu cuma robot yang bernafas." Lipur Viola.
"Perumpamaanmu jelek banget, Vi." Timpal Anna.
"Bener tuh, ngaco banget." Sahutku sambil tertawa kecil.
Mereka berdua pun ikut tertawa.
Tanpa sadar, penampil ke delapan sudah menapakkan kaki di hadapan kami. Kini, giliran kami untuk naik ke atas panggung.
Degupan yang sesaat hilang, kembali hadir, meski tak separah tadi. Aku mengumpulkan segenap tenagaku, mendaki tangga pendek dari belakang panggung.
Keadaan sunyi senyap. Langkahku yang mendaki tangga serasa menggema. Di ikuti dengan suara panggung yang berdecit. Kutegakkan kepala. Mataku memandangi lautan mata yang menatap balik. Nafasku mulai tersengal. Tubuhku serasa memberat. Rasanya gravitasi di atas sini berbeda dengan di bawah.
Begini rasanya berdiri di atas panggung ya?
Bener deh, jantungku berdebar serasa mau copot.
Ingat Kirana! Kamu harus tampil sebaik mungkin, kalau tidak, bisa berantakan semuanya.
Musik mulai menggema melalui speaker. Kukepalkan kedua tangan. Kupejamkan mata. Mengambil napas dalam-dalam. Tubuhku pun mulai bergerak mengikuti alunan irama.
Di saat yang tepat, suaraku mulai keluar. Menggema ke seluruh penjuru sekolah. Tubuhku bergerak, sementara mulutku bernyanyi sambil mempertahankan napas. Begitu pula kedua orang yang ada di kanan dan kiriku. Aku benar-benar tidak tahu apakah gerakan kami selaras atau tidak.
Sebenarnya, aku cukup gugup karena tidak pernah tampil di depan umum. Apalagi, latihan kami bertiga terbilang mepet waktunya. Ketika musik telah dimulai, semuanya seakan blank. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi untungnya tubuhku mengingat gerakan dan mulutku tak melupakan liriknya.
Adakalanya kami bergantian menyanyi, ada kalanya kami bersamaan. Pada reff terakhir, ketika nada meninggi, kami tetap bernyanyi bersama.
Tak ada orang yang berbicara. Mereka mendengarkan dengan khidmat. Pandangan mereka semua hanya tertuju ke satu arah. Hanya ke atas panggung.
Sampai pada akhir lagu, aku menutup gerakan dengan pose tangan berisyarat peace, sementara mataku terpejam sebelah. Tentunya diiringi dengan senyum selebar-lebarnya. Mungkin senyum itu adalah senyum terlebar yang pernah tersungging di bibirku.
Saat musik berhenti, orang-orang terperanjat seperti orang yang terkena hipnotis. Sejurus kemudian, tersadar karena musik berhenti terdengar, orang-orang mulai bertepuk tangan kencang. Bahkan ada beberapa yang meneriaki kami.
Apa mereka menyukainya?
Napasku tersengal. Rasanya oksigen dalam paru-paruku menipis. Ternyata tampil di hadapan orang banyak dengan menari dan menyanyi di saat yang bersamaan, sangat amat berat.
Aku baru sadar, latihan demi latihan yang kulalui itu tidak lah sia-sia. Karena memang lebih berat dari yang pernah terbayangkan.
Karena lagu telah usai, harusnya aku turun panggung. Namun, ada yang harus kulakukan sebelum itu.
Dengan sisa-sisa napas, aku bersuara,
"Demikian tadi penampilan dari kami dengan membawakan sebuah lagu yang berjudul 'happy feeling', gimana menurut kalian?" Tanyaku sedikit tersengal.
"KEREN."
"MANTAP."
"LUAR BIASA."
Terdengar banyak teriakan yang menyahut.
"Syukurlah, kalau kalian suka. Tapi kalian udah tahu belum nih siapa kami?"
"Belom." jawab mereka hampir bersamaan.
"Kalau begitu, kita perkenalan dulu ya!"
Kak Neza bilang jika kita bisa membuat kesan yang mendalam, itu artinya kita berhasil dalam dunia entertainment ini.
Karena itu, aku harus membuat kesan kali ini. Untuk kesan awal, aku akan menjual nama. Sebuah nama yang semua orang tahu.
"Hai, kami dari Flow generasi ketiga~."
Sebagian besar siswa mengangguk. Beberapa orang terkejut.
"Aku sendiri dari kelas 11 B."
Orang-orang tercengang. Mungkin karena tidak ada sosok seperti ini di kelas itu. Hanya ada Chandra Kirana yang tidak peduli penampilan.
"Yang di sebelah kananku Viola, yang di sebelah kiriku ada Anna. Kami sama-sama dari Flow generasi ketiga. Salam kenal semuanya!~"
Aku menunduk kecil disusul oleh dua orang di sampingku. Untuk pertama kalinya aku bisa membanggakan nama girls group itu. Terlebih di depan teman-temanku. Tapi aku tidak boleh puas lebih dulu.
Mereka pun bertepuk tangan kembali. Beberapa ada yang berteriak namun saking riuhnya suara, suara mereka jadi samar.
"Baiklah, kita lanjutkan ke penampilan berikutnya, silakan menikmati ya!"
Setelah berucap, aku segera turun. Tak kusangka, kedua temanku masih diatas panggung. Sedang melambai-lambaikan tangannya.
Aku sempat berpikir kalau ajakanku akan merepotkan mereka. Ternyata mereka justru yang lebih menjiwainya ketimbang aku.
Tahu gitu aku ikut tadi.
Tapi, aku sadar telah menyita waktu yang cukup banyak. Akan kupastikan untuk minta maaf pada ketua OSIS nanti.