Elara Andini Dirgantara.
Tidak ada yang tidak mengenal dirinya dikalangan geng motor, karena ia merupakan ketua geng motor Ladybugs. Salah satu geng motor yang paling disegani di Bandung. Namun dalam misi untuk mencari siapa orang yang telah menodai saudara kembarnya—Elana, ia merubah tampilannya menjadi sosok Elana. Gadis manis, feminim dan bertutur kata lembut.
Lalu, akankah penyelidikannya tentang kasus yang menimpa kembarannya ini berjalan mulus atau penuh rintangan? Dan siapakah dalang sebenarnya dibalik kehancuran hidup seorang Elana Andini Dirgantara ini? Ikuti kisah selengkapnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ratu jagad 02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Tubuh yang terbaring lemah dengan selang infus yang tertancap di punggung tangannya sudah cukup memperlihatkan betapa menyedihkannya gadis cantik itu. Gadis cantik yang biasanya terlihat sangat manis, cantik dan pintar itu kini tak ubahnya bak batang pisang yang tidak berguna dibawah pengaruh obat-obatan yang kerap ia konsumsi.
Papa Efendi menatap sedih pada salah satu putrinya yang terbaring menyedihkan itu. Masih tergambar jelas dalam ingatannya betapa cerianya gadis cantik yang terbaring itu. Tapi kini, bahkan untuk melihatnya tersenyum 'pun rasanya tidak mungkin.
"Kondisinya sudah semakin membaik sekarang, Om. Semoga kedepannya Elana bisa sembuh total seperti sediakala." Zakia berdiri di belakang Papa Efendi dengan tatapan yang juga terarah pada Elana.
Papa Efendi tersenyum lembut, lalu menatap Zakia dan menepuk pundaknya pelan. "Terima kasih atas kerja kerasmu, Nak."
"Sama-sama, Om. Itu memang tugasku,"
"Oh iya, tadi Om membawakan makan siang untukmu, ambillah." Papa Efendi menyodorkan paper bag kepada Zakia.
"Apa ini, Om?"
"Ayam bakar madu langganan Elana. Om ingat kau juga menyukainya 'kan, makanya tadi Om belikan untukmu makan siang."
Zakia menerima makanan pemberian Omnya dengan tersenyum manis. Tetapi sesaat kemudian tatapannya berubah sendu saat melihat Elana yang terbaring lemah di depannya. Dulu, Elana dan Elara kerap menghabiskan waktu bersamanya saat keduanya masih kecil. Jarak usia mereka yang terpaut sebelas tahun tidak membuat hubungan mereka canggung. Justru, Zakia sebagai Kakak selalu menjadi pendengar yang baik untuk kedua adik sepupunya ini.
Bahkan, hal sekecil berebut makanan 'pun kerap mereka ributkan, hingga berakhir aksi kejar-kejaran bak anak kecil. Jika mengingat kenangan itu, rasanya Zakia tidak menyangka jika gadis kecil yang dulu selalu menemani harinya, kini harus dirawat di rumah sakit kejiwaan.
"Om tahu kau sedih melihat keadaan Elana, Om juga sama sedihnya, Nak. Dunia Om rasanya hancur saat melihat putri Om harus dirawat seperti ini. Apalagi, sekarang Elara juga jauh dari Om, itu semakin membuat Om merasa kesepian karena jauh dari kedua putri Om sekaligus."
"Kenapa Om mengizinkan Elara ke Jakarta? Itu cukup beresiko untuk keselamatannya, Om."
"Kau 'pun tahu persis karakter adikmu yang satu itu. Larangan adalah perintah baginya. Kalau saat itu Om menghalanginya untuk ke Jakarta dan menyelidiki kasus Elana, maka tidak menutup kemungkinan Elara akan melakukan hal nekat untuk merealisasikan rencananya, dan Om tidak mau itu terjadi."
"Iya, anak itu memang keras kepala," rutuk Zakia. "Tapi Om, kenapa kita tidak lapor polisi saja? Paling tidak, Elara tidak akan bergerak sendiri untuk menyelidiki kasus ini."
Papa Efendi mendesah panjang, lalu memilih duduk di sofa yang ada di ruang rawat Elana. "Sejak awal kejadian Elana diperk*sa, Om sudah berniat melaporkan ini ke polisi, tapi Elara melarang Om. Alasannya, dia tidak percaya dengan hukum di Negara kita. Ya, kau tahu seperti apa Elara, dia itu anak jalanan, dia lebih banyak melihat realita yang terjadi di jalanan. Mulai dari perampokan, pembunuhan, bahkan hal-hal seperti penerkos*an 'pun sudah marak terjadi. Tapi walaupun kita melapor ke pihak berwajib, kasus kita belum tentu akan diproses, apalagi kalau lawan kita orang yang lebih kuat dari kita."
Zakia mengangguk setuju. Ia tidak menyalahkan pemikiran Elara, karena memang realitanya itulah yang terjadi di Negara ini sekarang. Kasus kejahatan akan bisa ditutup hanya dengan sejumlah uang. Bahkan beritanya 'pun bisa dialihkan dengan mudah oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
"Sekarang, Om tidak bisa melakukan banyak hal. Yang bisa Om lakukan adalah mendukung semua keputusan Elara. Sebab hanya kepercayaan dan dukungan 'lah yang dia butuhkan sekarang."
...•••***•••...
Elara memarkirkan motor vespanya di area parkir Geng Ganstar. Kebetulan saat itu Kenzie, Darel dan Juna juga sedang memarkirkan motor. Elara melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikan dirinya. Saat memastikan tidak ada yang memperhatikannya, ia mundur beberapa langkah mendekati Kenzie, lalu berpura-pura terpeleset dan hampir jatuh. Beruntung Kenzie cekatan menangkap tubuhnya, kalau tidak Elara pasti sudah benar-benar terjatuh.
Kenzie menahan tubuh Elara yang ia pikir Elana dalam dekapannya. Ia pandangi kedua mata Elara dalam-dalam, dan entah mengapa ia tidak merasakan jantungnya berdebar seperti sebelum-sebelumnya saat bersama Elana. Kenzie merasa ada sesuatu yang berbeda saat ia memandang wajah Elara dari jarak sedekat ini.
"Terima kasih," Elara menegakkan tubuhnya dan merapikan sebagian rambutnya yang berantakan.
"Lain kali hati-hati."
Elara mengangguk dan langsung pamit pergi dari sana. Setelah kepergian Elara, Kenzie meraba dadanya, mencoba menyelami perasaannya yang entah mengapa berubah begitu saja.
"Kenzie, Kenzie, dari dulu suka tapi tidak diungkapkan. Lama-lama dia bisa diambil laki-laki lain. Apalagi muka si Elana juga bukan tipikal muka-muka standar." komentar Darel.
"Biar saja, Rel. Kalau Elana lebih dulu diambil Langit, baru tahu rasa dia." timpal Juna.
...•••***•••...
Elara mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kantin. Saat melihat meja kantin yang sudah terisi penuh, Elara menyunggingkan senyum tipis, sebab rencananya untuk menarik perhatian Kenzie akan berjalan lancar. Namun, lain Elara, lain pula Feli dan Chelsea, terutama Feli yang terlihat cemberut saat melihat meja kantin penuh.
"'kan, lihat, kita tidak kebagian tempat duduk lagi. Ini semua karena kalian mengerjakan tugas terlalu lama," omel Feli.
"Sudah sudah, kita 'kan bisa pesan makan saja, dan makannya di kelas. Tidak perlu diperpanjang." ucap Chelsea menengahi.
Tempat duduk Kenzie dan teman-temannya yang cukup dekat dengan posisi Elara berdiri membuat Kenzie bisa mendengar percakapan tiga sekawan itu. Seketika, ia teringat ucapan Darel dan Juna di parkiran tadi, dan hal itu membuatnya sedikit memiliki ketakutan kalau sampai Elana benar-benar diambil Langit. Apalagi, saat Kenzie melihat ke arah meja yang ditempati Langit dan teman-temannya, ia melihat Langit yang tidak melepaskan tatapan dari Elara.
"Lan, kau pesan apa?" tanya Chelsea.
"Samakan saja."
Cukup lama Elara, Feli dan Chelsea menunggu pesanan mereka siap, setelah siap, mereka melangkah hendak menuju kelas, tetapi terdengar suara Kenzie yang memanggil nama Elana. Elara dan teman-temannya kembali berbalik, dan ternyata Kenzie berjalan mendekati mereka.
"Kalian mau kemana?" tanya Kenzie.
"Kami tidak kebagian tempat duduk, mau makan di kelas saja." Elara memulai rencananya.
"Kenapa memangnya? Kau mau memberi tumpangan meja?" tanya Feli to the point.
"Boleh, kenapa tidak."
"Benarkah?" Feli begitu kegirangan karena diizinkan duduk satu meja bersama Kenzie, sang anggota basket sekolah yang menjadi idolanya. Saking senangnya, Feli langsung menuju meja yang ditempati Kenzie, lalu duduk di samping Darel.
Elara dan Chelsea hanya mampu menggelengkan kepala melihat tingkah Feli. Tapi tak urung, keduanya juga ikut bergabung bersama Kenzie dan teman-temannya.
semakin di bikin penasaran sama authornya .,...🤣🤣
pinisirin kelanjutannya.....💪
masih belum ada titik terang siapa yg memperkosa elana...