Aku belum pernah bertemu atau pun berbicara dengan Komisaris di kantorku. Sampai kami bertemu di Pengadilan Agama, dengan posisi sedang mengurus perceraian masing-masing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ranjau
Saat aku selesai, aku mendapatinya di depan Lobby hotel, sedang bicara melalui telepon dengan seseorang. Aku mendekatnya diam-diam. Aku ingin tahu saja bagaimana hidupnya, bagaimana ia mengatasi masalahnya.
Apakah ia tipikal yang mengatur segala sesuatunya dengan uang, atau dengan taktik, atau dengan kewarasan logika?
“Fel,” dia mengucapkan kata itu.
Aku ingat nama mantan istrinya.
Felicia Asmorochandra.
Aku pun duduk tepat di belakangnya, memperhatikannya, “Untuk rumah itu aku tak akan mengalah. Kamu butuh uangnya untuk kegiatan partai Paman, sementara aku menginginkan rumah itu kembali padaku. Aku tahu kemampuan kalian tidak akan bisa mengangsur cicilan. Aku akan diam saja berpura-pura tidak tahu apa pun, walau pun tujuan pinjaman illegal di mata OJK. Aku pertaruhkan karierku di sini demi rumah itu, kamu nggak usah macam-macam!”
Lalu ada jeda sebentar.
“Apa sih arti rumah itu untuk kamu Fel? Kamu punya banyak rumah! Itu rumah pertama yang kubeli pakai penghasilanku sendiri tanpa campur tangan perusahaan bapakmu! Kantor yang Salemba juga! Aku bangun itu sampai jatuh bangun jadi budak korporate di kantor bapakmu. Kamu pikir aku berhutang budi pada kalian? Tidak! Berkat aku, perusahaan bapak kamu bisa sebesar sekarang! Aku cuma minta kasih sayang dari kamu sebagai balas jasa, itu pun tidak kamu berikan!”
Lalu ada jeda lagi, ia tampak mendengarkan argumen dari seberang.
“Oke aku salah karena melanggar RUPS untuk tidak menjabat di perusahaan lain selama aku jadi CEO di kantor bapak kamu. Tapi sekarang aku malah bersyukur sudah melakukan hal itu! Setidaknya setelah kalian membuangku, aku masih punya penghasilan nggak luntang-lantung di jalan!”
Jeda lagi sebentar.
“Heh, cewek ja lang!” dia mulai kasar, “Yang selingkuh duluan siapa hah? Aku yakin yang minta rumah bukan kamu, tapi pacar kamu! Kalian akan hancur pelan-pelan. Ini bukan masalah hati, ini masalah harga diriku,”
Dan hening sesaat...
“Aku sekarang sudah suka orang lain. Percuma saja kamu kembali padaku. Mxxxx kamu sudah dibagi-bagi ke orang lain. Pacar kamu bukan cuma satu heh, dikira aku nggak tahu?! Semuanya pejabat rekanan perusahaan kamu. Dengar ya... satu persatu akan dilikuidasi oleh Beaufort dan Amethys. Aku jamin, aku akan ada di belakang rencana itu!” dan dia mendengus, lalu menekan tombol end.
Dan Pak Felix pun menunduk sambil memegangi dahinya.
Sambil memejamkan mata berusaha mengatur nafasnya.
Lalu kembali dia menelpon seseorang.
Aku bisa sayup-sayup mendengar perbincangannya, “Lex... bantuin gue. Iya gue mau mulai prosesnya. Gue nanti izin sama Pak Sebastian, gue sendiri yang menghadap ke beliau nanti. Gue juga bakal ke Bu Susan habis ini...” gumamnya di telepon.
Dan kembali ia pun menunduk. Ponselnya ia letakkan di sebelahnya, dan tangannya menutupi wajahnya sambil menarik nafas panjang.
Aku merasa, saat ini Pak Felix sudah putus asa. Dari semua kalimatnya, saat aku tela’ah lebih dalam, instingku berbicara kalau ini sebenarnya merupakan jalan terakhirnya. Bukan keinginannya untuk berseteru. Bukan maksudnya untuk menghancurkan perusahaan orang lain. Tapi, kalau ia tidak bertindak, ia yang akan dihancurkan.
Perseteruan dalam keluarga semacam ini, seperti mengalami peperangan. Kalah-Menang sama-sama jadi abu. Sama-sama merugi.
Pak Felix pernah mengalah di pengadilan. Semua ia relakan untuk mantan istri. Tapi mungkin, hal itu tidak cukup untuk pihak sana, saat mereka tahu Pak Felix tidak hancur sepenuhnya. Mereka ingin semua yang ada di diri Pak Felix jatuh ke tangan mereka.
Menurutku karena prediksi mereka meleset.
Ini playing victim besar-besaran.
Aku pun mendekat.
Saat kusentuh punggungnya, ia tampak tersentak mengangkat wajahnya.
Menatapku dalam kagetnya.
Tak menyangka aku akan ada di sana.
“Sejak kapan-“
Aku tidak menunggunya menyelesaikan kalimat.
Aku hanya langsung maju dan memeluknya.
Aku ingin membagi semangatku. Aku ingin membagi keberuntunganku.
Perjuanganku sudah selesai, perjuangannya masih panjang.
Saat manusia sudah pada batasnya, ia akan frustasi. Sebagai seseorang yang menganggapnya istimewa, aku akan menemaninya.
Kata-kata penyemangat akan terasa basi di saat sekarang.
Tindakan yang memperlihatkan ketulusan lebih diperlukan.
Karena dulu... aku mengalaminya.
Ia menarik nafas dan balas memelukku.
Lalu kudengar isakannya.
“Saya takut...” begitu lirihnya.
“Saya juga capek... tapi kalau berhenti sekarang, saya mati.” ia melanjutkan isakannya.
Aku tidak bisa bicara banyak.
Aku hanya memeluknya.
Ia adalah aku yang kemarin. Jatuh terbuang.
Sekarang, aku akan jadi dia yang dulu. Selalu ada untuknya.
**
Kami akhirnya makan malam di restoran hotel. Dalam diam menyendokkan sup ke mulutnya. Gerakannya elegan, tidak macam-macam.
Dan pandangannya ke mangkuk terasa kosong.
Kalau kubiarkan saja kami diam-diaman, bisa-bisa pikiran beliau malah melayang kacau balau.
Jadi, seperti permintaannya saat pertama, atau mungkin juga ini tipikalnya dia, mengalihkan masalah dengan masalah baru. Setelah merasa bersyukur karena pernah mendapat masalah yang lebih ringan, Pelan-pelan, masalah lama diselesaikan.
Aku pun membahas masalahku.
“Saya akan memperingan tuntutan atas Rani, Pak. Pelakornya Tommy,”
Dia tampak mengangkat wajahnya ke arahku dan mengangkat alisnya. Bertanya.
“Eh? Kenapa?”
Aku lalu menceritakan alasanku. Karena Rani sebenarnya sudah dicuci otak oleh Tommy.
“Periksa dulu kejiwaannya,” kata Pak Felix.
“Sedang dilakukan Pak. Kalau dia dalam kondisi sehat, saya bersedia berdamai. Biasanya orang waras masih bisa dibilangin, Pak. Tapi kalau kejiwaannya terganggu, dendamnya ke saya pasti tidak pupus. Akan sangat berbahaya kalau sampai dilepaskan. Jadi dia akan melalui proses rehab sebelum diubah statusnya jadi pesakitan,”
“Yang harusnya direhab itu kondisi kejiwaan mantan kamu,” desisnya sambil mengernyit jijik.
“Iya, mantan bapak juga, keduanya sama-sama kecanduan gituan,” kataku.
Lalu ia tampak berpikir, “Kamu benar,”
“Semua pesakitan biasanya kecanduan hal itu Pak. Tidak semua psikopat membunuh, tapi semua psikopat kecanduan ....grafi,” kataku.
“Gangguan mental, dong,”
Aku mengangkat bahuku. Begitulah dunia dengan makhluk fana ini. Manusia diciptakan dengan nafsu.
“Kamu tahu kenapa saya tertarik sama kamu?”
Aku mungkin tahu, tapi aku ingin dia mengucapkannya dengan teorinya sendiri. Aku ingin tahu apakah ia sepenuhnya memahamiku.
“Karena kamu...” desisnya, “Sama seperti saya. Mengalah malah ditindas. Tanpa lawan tahu kalau kita diam saja dan berusaha tidak menyakiti siapa-siapa karena kita memegang senjata mematikan untuk mereka. Sekali ‘Dor’ habis semua soalnya.”
Wah...
Mengejutkan.
“Efek senjata itu sebenarnya membuat kita sakit sendiri loh Pak,” desisku. Senjataku adalah pengendalian diri. Mungkin sama sepertinya.
“Karena kekuatan Illahi, efeknya malah berbalik. Itulah senjata kita,” Ia menunjuk ke arah atas. Ke Langit.
Aku tersenyum, “Atas dasar itu, saya memutuskan menjadi pemenang dengan memberi kesempatan untuk Rani. Tommy yang akan saya tuntut lebih banyak. Tadinya saya sudah diam, eeeh mereka jahil. Ya sudah tahu sendiri akibatnya. Tidak akan ada ampunan lagi. Kesempatan hanya datang sekali saja.” Kataku
“Dalam hal ini... senjata kamu sudah meletus sekali, dong,” kata Pak Felix.
“Hem... pelurunya cuma satu sebenarnya sih Pak. Iya sudah meletus Dor balon hijau. Tapi kan mereka tidak tahu kalau pelurunya hanya satu.” gumamku pelan setengah berbisik.
“Hehe,”Pak Felis menyeringai sambil mengelus kepalaku.
“Terima kasih,” desisnya sambil tersenyum
Aku bingung untuk apa terima kasih itu.
“Karena memberi saya inspirasi. Saya juga akan bersikap begitu,” desisnya sambil mengerling.
Pak Felix ini berbahaya.
Karena...
Pelurunya bukan hanya satu, tapi banyak.
Si mantan bodoh sekali. Beraninya dia menekan pelatuk ke arahnya sendiri. Coba ia tidak iseng injak-injak itu ranjau...
**
sesuka itu aq pada karyamu thor
cuma 4 kata tapi paham kan maksudnya apa/Facepalm//Facepalm/
cari novel dengan gaya penulisan seperti ini yg susah, makanya sambil nunggu update novel terbaru aku baca ulang novel yg dah tamat.
aku terlalu dimanjakan , gk kerja , mau belanja di kang sayur tinggal teriak dari luar rumah " mas habis segini , bayarin ya.." belanja kebutuhan pokok , beli skincare, aku yg ambil dia yg bayarin. gk pernah ngerti harga beras berapa sampai harga gincu aku gk tau.. suami yg bayarin.
aku gk takut dia selingkuh tapi aku takut dia gk ada di bumi untuk selama lamanya.. telat aku mau mandiri , suami yg ambil alih sini aku aja.
definisi UJIAN yang mengENAKkan
Tommy : kamu bekerja juga atas ridho dariku
Cintya : ya karena klo aku gk kerja kamu yg mati
Tommy udah mokondo , toxic, manipulatif pula
novel ini dibuat tahun 2023, tahun 2025 ada kasus yg mirip banget , kasus perselingkuhan suami dilan janiar.
wes mokondo(modal Ko**ol doangl) gak kerja, ngikut istri kerja minta digaji , digugat cerai karena ketahuan selingkuh , malah minta harta Gono gini. kevarat bener lakik nya