NovelToon NovelToon
MENIKAHI ANAK BOS ANEH

MENIKAHI ANAK BOS ANEH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:672
Nilai: 5
Nama Author: Tri 2001

Rara, gadis 20 tahun yang polos, kerja di PT. Nganjuk Sejahtera Group. Bosnya, Pak Samingan, super disiplin tapi eksentrik. Suatu hari, Rara terpaksa tinggal di rumah bos untuk mengurus anak tunggalnya - Arifbol - cowok tampan tapi bertingkah seperti anak kecil karena kondisi epilepsi yang dideritanya. Meski begitu, Arifbol ternyata punya sisi religius, perhatian, dan secara tak terduga... bikin Rara jatuh cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri 2001, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Operasi Rebut Hati Mas Bol

Pagi itu Rara bangun lebih pagi dari biasanya.

Kalau biasanya jam tujuh masih guling-guling sambil scroll TikTok, kali ini jam lima udah dandan kayak mau lamaran.

“Ndika, ayo cepet! Aku ngantor duluan!” teriak Rara dari dapur sambil ngoles roti.

Andika, adiknya yang baru kelas tiga SMA, masih ngulet di kasur. “Kok semangat banget, Mbak? Ada bonus tahunan, to?”

Rara langsung manyun. “Bonus dari langit, Dik. Hari ini aku harus menang!”

“Menang apa?”

“Menang rebut hati orang ganteng tapi polos, hehe…”

Andika mendelik. “Jangan-jangan Mas Arifbol lagi?”

Rara cuma nyengir. “Diem kowe, Dik. Pokoknya doain aja. Aku harus buktiin ke Bu Wiji kalau aku lebih pantas daripada Fitri!”

Andika cuma geleng-geleng. “Ngono ae semangatmu ngalahne lomba karang taruna.”

Setelah sampai di rumah Pak Samingan, Rara langsung disambut Mbok Jum.

“Lho, Mbak Rara kok rawuh isuk tenan? Wong Mas Arifbol ae durung adus.”

Rara nyengir. “Hehe, biar sekalian bantu Mbok masak, Mbok.”

“Waduh, iki ono angin opo yo?” goda Mbok Jum sambil ngakak.

Rara cuma senyum misterius. “Biar tahu, Mbok… ini bukan Rara yang dulu.”

Rara langsung melangkah ke dapur, iket celemek, dan mulai bantu nguleg bumbu. Tapi dasar gak biasa, baru lima menit, cabe muncrat kena mata.

“Aduh! Pedes! Panas! Mbok! Airrr!” teriaknya sambil loncat-loncat.

Mbok Jum sampai ngakak guling-guling. “Hahaha, iki loh namanya cinta buta! Baru nguleg wae wes menderita.”

Rara sambil melek sebelah mata, “Wes, gak popo Mbok! Cinta emang kudu berjuang!”

Setelah wajahnya lumayan reda dari perih, Rara mulai bersih-bersih ruang tamu.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki.

“Raraaa…” suara itu lembut banget.

Rara nengok, ternyata Arifbol, masih pakai sarung, rambut acak-acakan, tapi wajahnya cerah kayak habis wudhu.

“Mas Arifbol... subuhan tadi, to?”

“Iya,” jawabnya sambil senyum. “Aku juga tadi mimpi aneh.”

“Mimpi opo, Mas?”

“Mimpi kamu bawain aku sarapan.”

Rara langsung melotot tapi juga senyum, “Wah, berarti mimpi itu pertanda baik, Mas.”

“Iya, tapi... kamu beneran bawain?”

Rara terdiam sejenak, terus dengan gaya dramatis: “Kebetulan... iya, Mas. Aku udah siapin roti telur spesial rasa cinta.”

Arifbol bengong. “Rasa cinta itu kayak apa?”

Rara nyengir, “Kayak sambel Mbok Jum — pedes tapi nagih.”

Arifbol ketawa polos, “Hehehe... aku mau dong, Rara.”

Rara ambil piring, nyodorin roti ke Arifbol. Tapi pas Arifbol mau makan, Fitri muncul dari dapur bawa segelas jus jeruk.

“Mas, ini jus biar gak haus.”

Rara langsung freeze. Lagi-lagi Fitri datang di timing yang gak sopan.

“Fitri,” kata Rara sambil senyum kaku, “kok kamu pas banget, ya, muncul tiap aku deket Mas Arifbol?”

Fitri nyengir, “Hehe, kebetulan aja, Mbak. Allah yang ngatur.”

Rara dalam hati: “Ya Allah... kok Engkau ngaturnya pas banget tho, Gusti?”

Bu Wiji datang dari ruang belakang, lihat pemandangan itu:

Rara megang roti, Fitri megang jus, Arifbol di tengah.

“Lho iki opo, lomba servis Mas Bol nasional?” godanya sambil ketawa kecil.

Semua langsung canggung. Arifbol cuma senyum polos, “Ibu, ini Rara sama Fitri rebutan kasih aku makan.”

Rara spontan, “Lho ndak rebutan, Bu, cuma... bagi tugas aja. Aku bagian roti, Fitri bagian minum. Gitu kan, Fit?”

Fitri cengengesan, “Iya, Mbak. Tapi habis ini aku juga mau bantu nyuapin Mas Arifbol, boleh kan?”

Rara nyengir getir, “Hehe... boleh, Fit... tapi nanti aja, tunggu aku selesai dulu.”

Bu Wiji menatap Rara lama, seolah tahu Rara lagi berjuang menahan rasa.

“Ndok, sabar yo. Kadang yang kelihatan kalah, justru menang di hati.”

Rara hanya menunduk pelan. Dalam hati, ia bersumpah,

“Aku gak bakal mundur. Aku bakal buktiin, Mas Arifbol bukan buat Fitri.”

Sore hari, setelah insiden roti dan jus yang bikin suasana awkward, Rara masih belum bisa tenang.

Dia duduk di teras rumah Pak Samingan, sambil ngemil pisang goreng buatan Mbok Jum, tapi pikirannya udah melayang-layang ke Arifbol yang lagi di dalam — dan mungkin bareng Fitri.

“Ndok, kok ndomblong ae? Pisange ra enak, to?” tegur Mbok Jum sambil nyapu.

Rara nyeletuk pelan, “Enak sih, Mbok... tapi yang makanannya itu loh, yang manis tapi bikin mules.”

Mbok Jum nyengir, “Lho, opo maneh yen bukan cinta!”

Rara langsung tutup muka pakai tangan. “Ssst, Mbok! Jangan keras-keras, ntar Bu Wiji denger!”

Mbok Jum malah ngakak. “Lha wong Ibu wes ngerti kabeh. Ora usah dirahasiakne, Ra. Wes ketok kok, matamu nek ndelok Mas Bol pancen ono roso.”

Setelah maghrib, suasana rumah mulai tenang. Arifbol duduk di mushola kecil dalam rumah, membaca Al-Qur’an pelan dengan suara merdu.

Rara berdiri di luar pintu, memperhatikan diam-diam.

Setiap kali suara Arifbol melantun, dada Rara ikut bergetar.

“Lho, kok suarane adem banget to... Gusti, iki perasaan opo iki?”

Fitri belum kelihatan sore itu — katanya pulang ke rumah Mbok Jum sebentar.

Kesempatan emas!

Rara langsung ambil mukena, pura-pura ikut ngaji.

Begitu duduk di sebelah Arifbol, dia senyum tipis.

“Mas, aku boleh ikut baca bareng, ya?”

Arifbol menatap Rara dengan mata jernihnya. “Boleh banget, Rara. Semakin banyak yang baca Qur’an, semakin bahagia aku.”

Rara buka mushafnya... tapi baru baca dua baris, udah belepotan harokatnya.

“Masya Allah... kenapa aku grogi kayak mau disidang KUA?” batinnya.

Arifbol senyum lembut, “Rara, sini, aku bantu.”

Dia mencondongkan badan sedikit, jarak mereka cuma sejengkal.

Aroma sabun wangi dari Arifbol nyenggol hidung Rara.

Rara langsung deg-degan setengah mati.

“Mas, jangan deket-deket... nanti...”

“Nanti kenapa?”

Rara salah tingkah, “Nanti aku salah baca lagi, hehe...”

Arifbol ketawa kecil. “Kamu lucu, Rara. Tapi semangatmu bagus.”

Rara nyengir. “Iya, Mas... aku kan pengen jadi wanita solehah, biar... cocok sama yang rajin ngaji.”

“Cocok sama aku, maksudnya?” tanya Arifbol polos.

Rara langsung salah tingkah. “Lho... eeh... ya pokoknya gitu, Mas, hehe.”

Tak lama, Bu Wiji lewat sambil bawa teh hangat.

Dilihatnya Rara dan Arifbol ngaji bareng, senyum tersungging di wajahnya.

“Alhamdulillah, iki baru cocok. Sing siji rajin ngaji, sing siji belajar ngaji. Ibu seneng ndelok e.”

Rara langsung merona. Arifbol juga senyum malu-malu.

Begitu Bu Wiji pergi, Rara menunduk. “Mas, Ibu kayaknya seneng banget liat kita, ya.”

Arifbol mengangguk pelan. “Iya. Aku juga seneng kamu di sini.”

Rara menatapnya sebentar, lalu pelan-pelan berkata,

“Mas, boleh gak... besok aku yang bacain ayat buat Mas?”

Arifbol mengangguk, “Boleh. Tapi kamu gak boleh salah baca, ya. Aku takut salah paham.”

Rara nyengir nakal, “Kalau salah pahamnya jadi cinta, gimana, Mas?”

Arifbol bengong. “Cinta sama siapa?”

Rara nyengir lagi. “Ya sama... Qur’annya, Mas. Hehehe.”

Arifbol cuma geleng-geleng, “Kamu aneh, tapi lucu.”

Malamnya, di kontrakan, Rara cerita ke Andika dengan wajah sumringah.

“Dik! Hari ini Mbak berhasil ngaji bareng Mas Arifbol! Aku duduk sebelahnya!”

Andika melongo. “Ngaji kok kayak menang lotre.”

Rara nyengir lebar. “Wes, pokok e strategi berjalan lancar! Fitri gak nongol, dan Bu Wiji seneng! Iki langkah pertama menuju status calon mantu!”

Andika menatap kakaknya heran. “Mbak, cinta kok koyok lomba strategi negara. Sampe ada ‘operasi rebut hati’.”

Rara nyeletuk, “Dik, cinta itu perang batin! Dan aku jenderalnya!”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!