Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14. PANIK
Deru napas berat prajurit itu semakin terdengar jelas, seperti orang yang sedang tenggelam dan berusaha menghirup udara yang tak kunjung masuk ke paru-parunya. Matanya melotot, tangannya mencakar-cakar leher sendiri. Suara seraknya berubah menjadi desahan seram, hampir tak keluar suara.
Aruna nekat bersuara lebih keras, kali ini dengan bahasa yang mengejutkan semua orang.
"Laat me helpen! Als jullie nu niets doen, gaat hij sterven!" (Biarkan aku menolong! Jika kalian tidak melakukan apa pun sekarang, dia akan mati!)
Suasana seketika membeku. Beberapa prajurit saling berpandangan, wajah mereka terperangah. Tak ada yang menyangka seorang perempuan pribumi mampu berbicara bahasa Belanda dengan fasih, jelas, dan penuh keyakinan. Bahkan intonasinya nyaris tak berbeda dari lidah seorang Eropa.
"Wat? Zij spreekt onze taal? (Apa? Dia berbicara bahasa kita?)" gumam salah satu tentara dengan mata melebar.
Jendral Willem, yang biasanya tenang dan penuh wibawa, kini ikut terkejut. Ia menatap Aruna seakan baru melihat sisi lain yang sama sekali tak diduganya. "Kau ... bisa berbahasa Belanda?” suaranya rendah, nyaris tak percaya.
Aruna menatap langsung pada sang jenderal. "Ya. Aku mempelajarinya. Sekarang bukan waktunya bertanya. Jika kalian tidak segera bertindak, prajurit itu akan mati karena kehabisan napas!"
Sementara itu, keadaan sang prajurit, yang disebut rekan-rekannya dengan nama 'Hilfe', semakin mengkhawatirkan. Bibirnya kini membiru pekat, wajahnya penuh keringat dingin. Dadanya bergerak cepat, namun udara seperti tak bisa masuk. Ia terbatuk, tapi suaranya tak lagi terdengar jelas, hanya desisan serak yang mengerikan.
"Mijn God ... hij stikt! (Tuhanku ... dia sedang tercekik!)" seru salah satu prajurit panik.
Jendral Willem menggertakkan gigi. Ia tahu ia hanya punya dua pilihan: menolak, dan kehilangan anak buahnya di hadapan seluruh pasukan, atau memberi kesempatan pada perempuan yang entah bagaimana bisa berbahasa Belanda ini untuk menolong.
Dengan langkah mantap, Willem mendekat. Ia menghunus belati dari sabuknya, lalu dengan cepat memotong ikatan yang melilit pergelangan tangan Aruna. Tali itu jatuh ke tanah.
"Baiklah, lakukan apa yang bisa kau lakukan!" suara Willem tegas, meski ada nada cemas di baliknya. "Jika kau berbuat macam-macam, peluru pertama akan bersarang di kepalamu!"
Aruna mengangguk singkat, lalu segera berlutut di sisi prajurit yang hampir sekarat itu. Ia memeriksa lehernya, mendengar desahan napas yang makin berat. Lidah sang prajurit membengkak, tenggorokannya menyempit, dan udara nyaris tak bisa masuk.
Ini bukan sekadar asma ... bukan alergi biasa. Ini lebih parah. Jalan napasnya tersumbat. Jika tidak segera dibuka, ia akan mati dalam hitungan menit, batin Aruna panik.
Aruna menatap Willem dengan mata tegas. "Jalan napasnya tertutup! Aku harus membuat lubang di lehernya agar ia bisa bernapas lagi!" katanya.
Para prajurit langsung riuh, sebagian mundur ngeri.
"Een gat in zijn keel? Bent u gek?! (Lubang di lehernya? Kau gila?!)" teriak seorang serdadu.
Namun Willem mengangkat tangan, menenangkan pasukannya. Tatapannya masih tertuju pada Aruna. "Apakah kau yakin?"
Aruna mengangguk mantap, meski keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "Ya. Jika tidak, dalam beberapa menit ia akan mati."
Willem terdiam sejenak, lalu menunduk pasrah. "Doe het. (Lakukan)," perintahnya.
Aruna menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang kacau. Ia tahu apa yang harus dilakukan, meski belum pernah sekali pun ia melakukan tindakan ini dalam kenyataan. Ingatannya kembali ke potongan catatan medis yang pernah ia baca, tentang bagaimana dalam keadaan darurat, sebuah lubang kecil di trakea bisa menyelamatkan nyawa seseorang dari kematian karena tersumbat jalan napas.
Namun sekarang bukan sekadar catatan. Nyawa seorang manusia nyata sedang berada di ujung tanduk, dan semua mata tertuju padanya.
"Cepat! Aku butuh pisau kecil atau belati!" serunya dalam bahasa Belanda, matanya melirik ke arah Willem.
Sang jenderal tak membuang waktu. Ia menyerahkan belatinya sendiri ke tangan Aruna. Pegangan dingin logam itu membuat bulu kuduk Aruna meremang. Ia berlutut lebih dekat, mengamati leher sang prajurit yang naik-turun dengan cepat, disertai suara napas serak yang kini nyaris tak terdengar.
"Dia akan mati jika kau gagal," ujar salah satu prajurit, wajahnya tegang, senjata masih dalam genggaman. Ucapannya bukan sekadar ancaman, melainkan kenyataan yang menggantung di udara.
Aruna menelan ludah, lalu menoleh sekilas pada Willem. "Aku butuh sesuatu yang kaku, selongsong pena, batang bambu kecil, apa saja yang bisa menahan lubang tetap terbuka."
Seorang prajurit kebingungan, lalu merogoh sakunya. Ia mengeluarkan tabung kecil dari buluh bambu yang biasanya digunakan untuk menyimpan tembakau. Ia menyerahkannya dengan tangan gemetar. "Ini ... bisa kah?"
"Cukup!" jawab Aruna cepat. Ia meletakkan buluh itu di sampingnya. "Berikan aku air bersih sekarang!"
Dengan cepat prajurit memberikan kendi berisi air sesuai permintaan Aruna.
Aruna langsung mengguyur belati dan tabung dari buluh itu dengan air untuk mensterilkannya.
Suasana sunyi. Hanya suara serangga siang dan deru napas tercekik sang prajurit yang terdengar. Burung-burung di pepohonan seolah ikut membisu menyaksikan.
Aruna menempelkan telinganya ke dada sang prajurit, jantungnya masih berdetak, tapi cepat dan lemah. Wajahnya membiru semakin pekat. Waktu hampir habis.
Dengan tangan bergetar, Aruna menekan bagian leher bawah sang prajurit, mencari titik di bawah jakun, di tempat trakea bisa diraba dengan jelas.
Aruna bergumam lirih pada dirinya sendiri, "Di sini ... ya, di sini."
Ia lalu mengangkat belati Willem. Kilau baja itu memantul terkena cahaya matahari. Para prajurit yang mengelilingi menahan napas. Beberapa menutup mulut, ngeri membayangkan apa yang akan terjadi.
"Demi Tuhan ... dia akan benar-benar melakukannya," bisik seorang serdadu dengan wajah pucat.
Aruna merapal doa singkat dalam hati, lalu menancapkan ujung belati dengan cepat ke kulit leher prajurit itu. Darah merah segar langsung menyembur, membuat beberapa tentara mundur ketakutan. Namun Aruna tidak goyah. Ia memerlebar sayatan sedikit demi sedikit, lalu dengan hati-hati menusukkan buluh bambu kecil itu ke dalam lubang yang terbuka.
Detik itu, waktu seakan berhenti.
Semua menunggu dengan jantung berdegup kencang, apakah ini akan berhasil, atau sang prajurit akan mati dalam kesia-siaan?
Pada awalnya, hanya ada keheningan. Lalu tiba-tiba, terdengar bunyi whooosh kasar dari udara yang masuk melalui buluh itu. Dada sang prajurit naik-turun lebih teratur. Bibirnya yang membiru perlahan memerah kembali. Suara desis napasnya masih serak, tapi kini ia bisa bernapas!
"Hij ademt ... hij ademt weer! (Dia bernapas .. dia bernapas lagi!)" teriak salah satu prajurit dengan mata berbinar.
Sorak lega bercampur tak percaya terdengar dari rombongan. Beberapa prajurit yang tadinya siap menembak Aruna kini menurunkan senjata mereka. Ada yang berlutut, menyentuh bahu rekannya yang selamat, air mata hampir jatuh dari pelupuk mata mereka.
Jendral Willem berdiri tegak, kedua tangannya mengepal, matanya tak lepas dari Aruna. Wajah kerasnya berubah, kali ini bukan hanya terkejut, tapi juga terpukau. Ia baru saja menyaksikan sesuatu yang nyaris mustahil: seorang tawanan pribumi melakukan tindakan medis yang bahkan tidak semua dokter Eropa tahu.
Aruna sendiri terengah-engah. Tangannya berlumur darah, dadanya bergetar menahan adrenalin yang meluap. Namun ia tetap menekan luka di leher sang prajurit dengan kain untuk mencegah pendarahan lebih lanjut. Meminta kain bersih untuk menutup luka agar tidak infeksi.
"Dia harus dirawat, diganti perban setiap hari, dijaga kebersihan. Jika tidak, infeksi akan membunuhnya. Nyawanya sudah selamat, hanya perlu penanganan lebih lanjut saja," kata Aruna.
Willem mendekat, berjongkok di samping Aruna. Untuk pertama kalinya sejak perjalanan dimulai, ia menatap Aruna bukan sebagai tahanan, melainkan sebagai penyelamat.
"Kau ... menyelamatkan nyawanya," ucap Willem dengan suara pelan, sarat kekaguman.
Aruna mengangkat wajah, matanya penuh tekad meski lelah. "Itu sudah tugasku. Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan. Nyawa manusia tak boleh dipermainkan, siapa pun dia."
Keheningan menggelayut sesaat. Angin berhembus, membawa aroma darah bercampur debu siang itu. Para prajurit menundukkan kepala, masih belum percaya pada apa yang baru saja mereka saksikan.
Namun di balik rasa lega itu, tersimpan sebuah kenyataan baru: tawanan mereka bukan hanya seorang perempuan biasa. Ia membawa pengetahuan, keberanian, dan keyakinan yang sanggup mengguncang cara pandang mereka semua.