NovelToon NovelToon
Kutu Buku Mendapatkan Sistem

Kutu Buku Mendapatkan Sistem

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Sistem
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: jenos

Kehidupan Jansen, seorang pemuda biasa, berubah secara drastis ketika ia secara tak terduga mendapatkan sesuatu yang misterius bernama "System". Sistem ini memberinya kekuatan untuk mengubah takdir hidupnya dan membawanya ke jalan kesuksesan dan kebahagiaan.

Dengan bantuan sistem ini, Jansen berusaha untuk meraih impian dan cinta sejatinya, sambil menghadapi berbagai rintangan yang menguji keteguhan hatinya.

Akankah Jansen mampu mengatasi tantangan-tantangan ini dan mencapai kehidupan yang ia inginkan, ataukah ia akan terjebak dalam keputusasaan karena kekuatan baru yang ia miliki?

Jansen mendapatkan beberapa kemampuan dari sistem tersebut, seperti kemampuan bertarung, peningkatan kecepatan dan kekuatan, serta kemampuan untuk mempelajari teknik baru lebih cepat. Sistem tersebut juga memberikan Hansen akses ke pengetahuan yang luas tentang dunia, sejarah, dan berbagai aspek kehidupan, yang membantu Jansen dalam menghadapi berbagai tantangan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jenos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 14

Rendy berdiri di samping Ronald, seorang pria tampan yang memancarkan pesona keanggunan dan kemapanan. "Dia adalah temanku, Ronald. Merupakan Tuan Muda Perusahaan Angkasa Mas," perkenalkan Rendy pada Vindy dan Lorenza. Namun, ia sepenuhnya mengabaikan keberadaan Jansen yang berdiri di samping Lorenza, seolah ingin mengesampingkan kehadirannya.

"Aku Ronald," ujar pria tersebut sambil menjulurkan tangan pada Lorenza. Senyum menghiasi wajahnya, dan matanya menatap Lorenza dengan tatapan yang jelas mengisyaratkan kehendak yang tak bisa diabaikan. Rasa penasaran dan harapan terpancar jelas dari sorot matanya.

Lorenza, yang merasa terintimidasi oleh tatapan Ronald, terdiam tak mampu berkata apa-apa. Merasa keberadaannya terancam, Jansen yang berdiri di samping Lorenza dengan sigap mengulurkan tangan dan menjabat

Tangan Ronald, memotong aliran tatapan antara Ronald dan Lorenza. "Aku Jansen!" ujarnya dengan senyum ramah yang mencoba menutupi kecanggungan yang sebenarnya ia rasakan.

Mendengar perkenalan Jansen yang tiba-tiba, Lorenza tertawa kecil. Ia merasa bersyukur dan lega atas intervensi Jansen yang tepat waktu, mengalihkan perhatian dari dirinya dan mengurangi tekanan yang ditimbulkan oleh tatapan Ronald.

Wajah Ronald terlihat begitu masam, seolah ada rasa amarah yang menggebu-gebu di dalam hatinya. Ia akan mengingat wajah Jansen yang membuatnya malu ini dan bertekad akan memberikan pelajaran pada Jansen suatu saat nanti. Namun, untuk saat ini, ia harus menyimpan amarahnya dan memaksa diri untuk tersenyum.

"Aku akan traktir kalian makan, ayo kita ke tempat yang lebih baik dari ini!" ujar Ronald dengan senyum yang terasa terpaksa.

"Aku tidak bisa, ada urusan yang harus

Aku lakukan!" kata Lorenza, menolak tawaran Ronald.

Vindy lalu maju untuk membujuk Lorenza, "Say, kita sudah lama tidak berkumpul. Lagi Pula, ini hanyalah acara makan-makan biasa saja."

"Benar, kita hanya makan-makan saja!" ujar Rendy mendukung perkataan Vindy.

Lorenza menatap Vindy dengan tajam, tetap menggelengkan kepalanya. Ia tahu betul, beberapa hal dalam pergaulan yang tidak seharusnya diikuti. Ia tidak ingin terjebak dalam situasi yang merugikan dirinya.

"Ayolah Say, kali ini saja jangan tolak aku!" Vindy mendesak lagi, berusaha membujuk Lorenza dengan senyuman manisnya.

Namun, Lorenza tetap teguh dengan pendiriannya. Ia tidak ingin mengikuti jejak Vindy yang terjebak dalam pergaulan bebas. Di sisi lain, Ronald mencoba mengambil hati Lorenza dengan berbagai cara.

"Untuk merayakan pertemuan ini, kamu bisa minta banyak hal padaku!" ujar Ronald dengan nada penuh harap. Jelas dia ingin mengambil hati Lorenza, dan menjadikannya bagian dari kehidupannya.

Namun, dibalik itu semua, Ronald memiliki niat jahat. Ia tidak peduli pada kehadiran Jansen, yang dianggapnya sebagai rakyat jelata yang tidak pantas bersanding dengannya. "Rakyat jelata ini harus disingkirkan!" gumam Ronald dalam hati, masih kesal dengan jabatan tangan Jansen sebelumnya.

Tepat saat itu, ponsel Lorenza berdering keras, mengagetkan semua orang. Dia segera mengangkatnya dan wajahnya langsung berubah pucat. "Halo, Mam! Baik, Aku akan pulang secepatnya!" ucapnya dengan nada panik, seolah-olah dunia sedang runtuh. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, ia memutuskan sambungan telepon.

"Ibuku sedang dalam situasi rumit, aku harus pulang!" seru Lorenza pada Vindy.

Wajah Vindy berubah sedih dan kecewa, begitu juga dengan Ronald dan Rendy. Mereka berdua seolah-olah sependapat dalam rencana yang belum sempat mereka jalankan, mengingat mereka sudah saling mengenal kepribadian satu sama lain dengan baik.

Mata Vindy berkaca-kaca, namun dia berusaha tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, kamu harus segera pulang. Semoga semuanya baik-baik saja," ujarnya dengan suara yang bergetar.

"Terima kasih pengertianmu," ucap Lorenza pada Vindy dengan mata berkaca-kaca, seraya memeluk erat sahabatnya itu. Ia lantas melepaskan pelukan dan melambaikan tangan pada teman-teman yang lain, sebelum menarik tangan Jansen untuk segera pergi.

Jansen terpaksa mengikuti Lorenza yang berlari menuju mobil mereka. Setelah tiba di mobil, tiba-tiba Lorenza tertawa lepas, seolah ia baru saja memenangkan medali emas di olimpiade.

"Ada apa denganmu, Lorenza?" tanya Jansen

Bingung, melihat perubahan suasana hati Lorenza yang drastis.

"Aku berhasil membohongi mereka, Jansen!" seru Lorenza dengan wajah berbinar. "Sebenarnya aku tidak ingin ikut acara mereka itu, dan sangat kebetulan ibuku memanggil tadi, minta belikan Nasi Padang. Jadi, aku gunakan saja itu sebagai alasan untuk kabur!"

Lorenza terkekeh, menunjukkan rasa lega dan puas atas kelancaran rencananya. Jansen tidak menyangka bahwa Lorenza cukup pintar dan licik dalam menghindari situasi yang tidak ia inginkan.

Jansen terdiam, matanya tak lepas dari Lorenza yang tertawa lepas. Suara tawa Lorenza mengisi mobil merah yang saat ini masih terparkir tepat dibawah pohon pinang, membawa keduanya dalam suasana canggung.

Tertawa puasnya karena berhasil mengerjai Vindy tadi, membuat Lorenza merasa semakin bahagia.

Namun, ketika tatapan Jansen yang dalam menembus jantung Lorenza, tawa itu perlahan

Menghilang. Ada sesuatu yang berbeda dari mata Jansen kali ini, membuat degup jantung Lorenza semakin kencang layaknya genderang yang ditabuh.

Perlahan, wajah mereka saling mendekat, seperti ada gaya magnet yang menarik mereka untuk semakin dekat. Jarak di antara mereka semakin menipis, hingga hanya tinggal satu hasta saja lagi. Mereka hampir merasakan nafas masing-masing, ketika tiba-tiba suara klakson keras mengagetkan mereka berdua.

Mereka segera menarik wajah mereka, sadar bahwa mereka hampir melangkah ke batas yang seharusnya tidak dilalui. Namun, ada perasaan aneh yang mulai tumbuh di antara mereka, menyisakan pertanyaan apakah ini hanya keisengan semata atau sesuatu yang lebih dari itu.

"Turun kamu!" bentak Lorenza, wajahnya memerah dan matanya melotot tajam pada Jansen. Jansen bingung, namun saat melihat arah jari telunjuk Lorenza yang menunjuk sesuatu, ia segera menyadari ada yang salah.

Tak lama setelah Jansen menuruni mobil, Lorenza dengan cepat melajukan kendaraannya, meninggalkan Jansen terpaku di parkiran kampus. Jansen menatap kepergian Lorenza dengan rasa heran dan bingung, lalu menghela nafas panjang.

"Wanita memang sulit dimengerti!"

gumam Jansen sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Sementara itu, Lorenza yang sudah keluar dari gerbang kampus segera menepikan mobilnya di pinggir jalan. Ia menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu bergumam dengan nada kesal, "Sial, mengapa aku harus marah seperti itu?!"

Dalam hati, Lorenza merasa menyesal telah memperlakukan Jansen dengan cara yang tidak pantas.

Lorenza duduk termenung di kamar tidurnya, wajahnya memerah bak tomat matang. "Apakah aku jatuh cinta dengan Jansen?" gumamnya pelan, seraya meraba jantungnya yang berdebar kencang. Bayangan

Peristiwa sore tadi di parkiran tak kunjung lepas dari pikirannya, membuat pipinya semakin memerah. Andai saja itu tak terjadi di parkiran, mungkin saja ciuman pertama mereka sudah terwujud. Namun Lorenza merasa malu, bukan benci. Itulah mengapa ia meninggalkan Jansen begitu saja.

1
Pakde
lanjut thor
Pakde
up
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!