Galih adalah seorang lelaki Penghibur yang menjadi simpanan para Tante-tante kaya. Dia tidak pernah percaya Cinta hingga akhir dia bertemu Lauren yang perlahan mulai membangkitkan gairah cinta dalam hatinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAAB 14
Malam turun pelan-pelan, diselimuti hujan rintik-rintik yang menari di jendela rumah sakit jiwa Mentari. Udara terasa dingin, dan suasana begitu lengang. Jam jenguk sudah lama berakhir, namun Galih berdiri di depan meja resepsionis dengan wajah memohon.
“Tolong, Pak… cuma sebentar aja. Saya cuma mau lihat Bapak saya…”
Petugas sempat menolak, tapi wajah Galih yang begitu lelah dan putus asa membuatnya ragu. Setelah beberapa detik hening, akhirnya dia mengangguk pelan.
“Lima belas menit, ya. Jangan terlalu lama.”
Galih membungkuk dalam-dalam.
“Terima kasih…”
---
Kamar isolasi 207.
Galih membuka pintu perlahan. Ruangan itu sunyi. Bau obat dan antiseptik menyengat. Di ranjang besi itu, Budi Santosa, ayah Galih, terlelap dengan tangan diikat longgar dengan kain khusus. Wajahnya tenang—berbeda dari hari-hari di mana ia mengamuk tanpa arah, berteriak menyebut nama istri yang telah meninggalkannya.
Galih duduk di lantai, memeluk lututnya.
Hening. Hanya suara alat medis yang berdetak pelan.
Lalu, air mata itu jatuh sendiri.
Pak…”
“Aku gagal lagi…”
“Aku pikir aku bisa bahagia. Aku pikir... ada seseorang yang bisa nerima aku. Tapi ternyata… aku malah menyakiti orang yang aku cinta.”
Tangis Galih tertahan. Dia menutup wajahnya, tapi tak bisa menahan suara isak yang pecah di antara kesunyian.
“Pak... kenapa semua harus seperti ini? Aku capek. Aku muak jadi laki-laki kotor kayak gini. Tapi aku juga harus biayain Bapak... biayain hidup... semua orang cuma lihat aku dari luar, tapi nggak ada yang tahu rasanya jadi aku…”
Galih menengadah. Wajah ayahnya tetap sama—tenang, tak bereaksi. Tapi Galih tidak butuh jawaban. Yang ia butuhkan hanyalah tempat untuk pulang. Dan di hadapan lelaki tua yang pernah menggendongnya ke sekolah, memandikannya saat kecil, dan kini tak lagi mengenal namanya, Galih merasa sedikit lebih tenang.
“Aku nggak tahu aku bisa kuat sampai kapan. Tapi… aku janji Pak. Aku bakal berubah. Suatu saat… kalau Bapak udah bisa sembuh, sudah ngenalin galih lagi, aku pengen Bapak bangga punya anak kayak aku.”
Galih menggenggam tangan ayahnya yang dingin.
"Bapak satu-satunya yang galih punya, Dan cuma bapak orang yang paling Galih percaya…”
Dan di kamar sunyi itu, seorang anak laki-laki yang patah, kembali menemukan kekuatannya di sisi seorang ayah yang telah membesarkannya.
Sudah lima hari berlalu sejak malam penuh luka itu. Sejak Galih pergi dari rumahnya dengan langkah tergesa, meninggalkan hatinya yang belum sempat mengerti. Dan sampai hari ini, Lauren belum mendengar kabar apa pun darinya.
Ponselnya terus menyala. Notifikasi datang dan pergi, tapi tak ada satu pun dari Galih. Sudah lebih dari seratus pesan dia kirimkan—panjang, pendek, berisi tanya, harapan, permintaan maaf, bahkan sekadar “Aku kangen.”
Tapi tak satu pun dibalas.
---
Hari ini kampus terasa hampa. Suasana ramai, tapi tak ada yang bisa mengisi ruang kosong dalam hati Lauren.
Dia berdiri di pojok taman kampus, memandangi kursi tempat biasanya mereka duduk, bercanda, bertukar cerita. Tempat di mana Galih pernah menggenggam tangannya sambil berkata:
“Kalau kamu ada disini, Aku mungkin bisa lebih tenang, Aku ngga perlu ngadepin ini semua sendirian…”
Lauren menarik napas panjang dan duduk. Matanya sembab, tapi dia mencoba tersenyum pada siapa pun yang lewat—berpura-pura semuanya baik-baik saja.
"Galih… kamu ke mana sih?" gumamnya lirih, hampir seperti doa yang dikirimkan ke langit mendung.
---
Beberapa kali Lauren memberanikan diri bertanya pada teman-teman dekat Galih, tapi mereka hanya menggeleng atau mengangkat bahu.
"Gue juga nyari dia, Ren. Tapi Galih tiba-tiba ngilang gitu aja. Dia bahkan keluar dari semua grup chat."
"Serius? Kamu juga nggak tahu dia tinggal di mana?"
"Nggak. Galih tuh tertutup banget soal itu. Kita cuma tahu dia kos di luar kampus, tapi alamatnya... nggak pernah ada yang tahu pasti."
Lauren hanya mengangguk pelan, menahan air mata agar tak kembali tumpah. Galih seperti lenyap ditelan bumi.Bahkan jejak digitalnya pun menghilang—akun medsos-nya offline, status terakhir di WhatsApp sudah berhari-hari lalu.
---
Malam itu, Lauren kembali duduk di kamarnya. Ponselnya diletakkan di pangkuan. Ia terus memandangi layar kosong itu, seolah menunggu keajaiban: satu getaran, satu notifikasi, satu nama muncul di layar ponselnya.
Tapi lagi-lagi, hening.
Air matanya kembali jatuh. Lauren memeluk lututnya sendiri, seperti mencoba menjaga hatinya agar tidak hancur lebih dalam.
"Kamu tahu gak sih, Galih... Aku cuma pengen cerita sama kamu. Aku cuma pengen tahu alasan Kamu pergi... dan kenapa kamu ninggalin semuanya begitu aja."
---
Dan di malam sunyi itu, Lauren tetap menunggu. Meski tak tahu apakah yang ditunggu akan kembali. Tapi bagi hatinya yang masih mencinta,harapan tak pernah benar-benar mati.