Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
membaca dunia
Sesampainya di rumah, Heru sudah duduk di teras. Kantong plastik kosong tergenggam di tangannya, sisa dagangan pagi ini.
“Gimana, Ru? Dagangannya laku?” tanya Santi sambil meletakkan tas belanja ke atas meja kayu reyot di ruang depan.
Heru mengangguk penuh semangat. “Alhamdulillah, Kak. Tadi di makam rame, ada orang meninggal. Banyak pelayat beli gorenganku.”
“Kamu dapat berapa?” Santi tersenyum, penasaran dengan hasil pertama adiknya.
Belum sempat Heru menjawab, Nabil yang sedari tadi duduk di dipan sambil mencoret-coret kertas langsung menyahut pelan tapi mantap, “100 gorengan kali seribu, berarti seratus ribu. Modalnya empat puluh lima ribu. Kalau habis semua, Mang Heru untung enam puluh lima ribu.”
Heru terkekeh sambil menggaruk kepalanya. “Wah, Kak, aku malah belum sempat hitung. Baru sampai.”
“Coba lihat buku catatanmu. Tadi bawa berapa biji?” pinta Santi, masih tersenyum bangga.
Heru segera membuka tas kecilnya dan mengeluarkan buku lusuh yang dipakai mencatat. “Seratus biji, Kak. Sama seperti yang Nabil bilang.”
Santi menatap Nabil penuh rasa syukur. Anak itu memang istimewa. Kemampuannya berhitung seperti kalkulator, padahal belum bisa membaca.
“Ya udah, kamu hitung uangnya. Aku mau ke dapur dulu, ya,” ucap Santi, lalu berlalu ke belakang rumah.
Di ruang depan, Nabil masih asyik menggambar bentuk-bentuk aneh yang hanya dia pahami. Tiba-tiba ia berkata tanpa menoleh, “Kalau udah besar, aku mau bikin sekolah.”
Heru menoleh. “Kenapa, Bil?”
“Biar cepat kaya. Dagang gorengan setahun cuma dapat enam belas juta. Kalau punya sekolah, bisa bayarin empat juta sebulan. Nanti, setan aja yang ngajar,” jawabnya polos.
Heru terkekeh kecil. Tapi saat hendak membalas, dia mendapati Nabil sudah tertidur di dipan, memeluk kertasnya seperti memeluk mimpi.
Sementara itu, Heru menghitung uangnya. “Iya bener juga, seratus ribu,” gumamnya.
Perasaannya campur aduk. Dulu, untuk dapat lima puluh ribu, dia harus mencangkul setengah hari di sawah. Hari ini, sebelum jam sembilan pagi, ia sudah untung 55 ribu. Padahal tadi sempat nyaris menyerah. Tak ada yang melirik dagangannya, dan ia malu berteriak. Tapi perlahan, suaranya lantang juga.
Dan saat ia hampir putus asa… datang seorang pelayat, membeli semua gorengannya.
“Gimana, Kak? Jadi Nabil sekolah di mana?” tanya Heru pelan, duduk bersila di depan Santi yang sedang melipat baju.
Santi menghela napas panjang sebelum menjawab, “Nggak ada sekolah yang mau menerima Nabil, Ru.”
Heru menatap kakaknya tak percaya. “Kenapa? Nabil kan pintar, Kak. Aku aja kalah jauh sama dia.”
Santi mengangguk pelan, matanya menerawang. “Mereka belum mengetes apa-apa, belum bicara langsung dengan Nabil. Tapi mereka sudah menolak.”
“Padahal kalau mereka mau bersabar sebentar aja, pasti bakal kaget sendiri lihat kemampuan Nabil,” gumam Heru kesal.
“Aku juga awalnya mikir begitu. Ada sih satu sekolah yang mau nerima Nabil… tapi biayanya mahal sekali.”
“Empat juta, ya?” tebak Heru.
Santi menoleh kaget. “Lho, kok kamu tahu?”
Heru tertawa kecil. “Dari tadi Nabil ngoceh terus. ‘Empat juta banyak setan, empat juta banyak setan’ katanya. Aku pikir dia lagi ngelantur.”
Santi menahan tawa, lalu menggeleng pelan. “Anak itu memang aneh, tapi luar biasa.”
“Terus sekarang gimana, Kak?” tanya Heru lagi.
“Ya, sementara ini, biar Kakak aja yang ajarin. Nabil cuma perlu kenal huruf dan belajar membaca. Aku yakin, meski tanpa sekolah, dia tetap bisa bertahan. Bahkan lebih hebat dari banyak orang yang duduk di bangku sekolah.”
Heru mengangguk mantap. “Benar, Kak. Mereka aja yang belum tahu… kalau Nabil itu cerdasnya bisa ngalahin mereka semua.”
Pagi itu, Santi membentangkan tikar lusuh di lantai ruang tamu. Di sebelahnya, Nabil duduk bersila, memeluk papan tulis kecil. Mata bocah itu berbinar seperti sedang menanti keajaiban.
“Nih, Bil, kita mulai ya. Ini huruf A.” Santi menggambar sebuah huruf besar di papan.
Nabil memiringkan kepala, matanya menatap tajam huruf itu. “Itu seperti gambar di papan toko Ko Ahong, Mah. Aku nggak tahu itu gambar apa dulu...”
“Ini huruf A, Nak,” jawab Santi lembut.
“Oh, itu huruf A, ya… Berarti ‘Ahong’ juga dari huruf A ya, Mah?”
“Ya, bisa jadi begitu, Nak. Dari huruf A nanti bisa jadi ‘Ahong’, ‘Ayam’, ‘Abang’.”
Santi melanjutkan, menggambar huruf berikutnya.
“Ini namanya huruf B, Nak.”
Nabil mendekat. “Itu kayak bentuk di iklan salep, tapi setengah. Oh! Jadi itu huruf B, ya? Aku juga pernah lihat huruf itu di mobil, banyak sekali yang pakai huruf B terus angka.”
Santi terkesiap. “Betul sekali, Nak. Itu kode wilayah Jakarta.”
Ia melanjutkan menggambar huruf demi huruf. Setiap kali ia selesai, Nabil langsung mengaitkannya dengan memori visual dari benda-benda di sekitar: bungkus makanan, papan harga minyak goreng, stiker di pintu truk, bahkan huruf kecil di nota belanja.
Huruf D? “Itu seperti setengah lingkaran, mirip roda dorongan yang pernah rusak.”
Huruf M? “Bentuknya seperti dua gunung. Kayak logo mi instan yang sering kita beli, Mah.”
Santi hampir tak percaya. Ia belum mengajarkan cara membaca secara fonetik, tapi Nabil sudah membentuk asosiasi alami, bahkan mengingat dengan detail luar biasa. Anak itu bukan sekadar menghafal—ia menghubungkan segala yang dilihatnya.
Yang banyak bicara akhirnya adalah Nabil. Ia memegang spidol dan mulai menulis sendiri, walau terbalik-balik. “Mah, kalau aku tahu semua huruf, aku bisa baca semua ya?”
Santi menatap dengan mata berkaca. “Iya, Sayang. Suatu hari kamu akan bisa membaca dunia.”
Dan pagi itu, di tikar tua di ruang tamu sederhana, keajaiban kecil bernama Nabil mulai membuka pintu menuju dunia yang lebih luas. Dunia yang selama ini hanya ia lihat... kini mulai bisa ia baca.
Malam itu, dapur mungil Santi dipenuhi aroma bawang putih yang digoreng. Wajan mendesis, suara spatula beradu dengan sisi penggorengan. Peluh membasahi pelipisnya, tapi hatinya ringan. Hari ini Nabil belajar banyak.
Namun, di sela suara gorengan, Santi mendengar sesuatu yang membuat tangannya seketika berhenti mengaduk. Suara lirih dari ruang tamu, seperti seseorang mengeja… membaca.
“H-a-r-i... ini hari kelahiran Ibu Kartini,” ucap Nabil terbata-bata sambil menatap lekat-lekat koran yang digenggamnya.
Santi menoleh sekilas dari dapur, tangannya masih sibuk membolak-balik tempe di atas penggorengan. Ia melirik ke kalender yang tergantung di dinding: 22 April. Ia tahu, koran yang dibaca Nabil sudah tanggal kemarin. Tapi ia membiarkan anaknya terus membaca dengan penuh semangat, meski suara dan artikulasinya tidak selalu jelas.
“Mah, aku nggak mau sekolah selamanya,” ucap Nabil tiba-tiba.
Santi mematikan kompor. “Kenapa emang, Nak?”
Nabil mengangkat koran lusuh yang tadi ia baca. “Lihat ini,” katanya. Tangannya menunjuk sebuah artikel dengan judul tebal:
"Seorang Anak Berkebutuhan Khusus Menjadi Korban Bullying di Sekolah."
Santi membaca cepat, lalu menatap anaknya. “Nggak semua sekolah begitu, Sayang.”
Nabil mengerutkan dahi. “Kalau nggak semua, kenapa aku ditolak? Yang nerima, bayar mahal. Jadi, sekolah yang aman dan nggak ada kekerasan itu cuma yang mahal, ya?”
Santi terdiam. Sebelum ia sempat menjawab, Nabil menambahkan dengan nada serius, “Aku bakal bikin sekolah yang mahal banget. Tapi bukan buat orang kaya. Buat semua. Biar nggak ada lagi anak yang disakiti.”
Santi tersenyum pahit. “Nggak semua sekolah mahal bebas dari kekerasan, Nak.”
Nabil menatap ibunya tajam. “Ibu bingung sendiri. Tadi bilang nggak semua sekolah ada kekerasan, sekarang bilang yang mahal juga belum tentu aman. Orang dewasa memang membingungkan.”
Santi menghela napas. “Sayang, sekarang belajar dulu ya. Soal masa depan, kita pikirkan pelan-pelan.”
karya bagus
Up yg byk thor seruu