Renata tuli, dan itu sudah cukup menjadi alasan mengapa dirinya di jauhi se-antero Amarta.
Tapi pemuda itu, Maleo, tidak berpikiran demikian. Ia justru menganggap Renata...Menarik? Tanpa alasan, seperti itulah Maleo.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuanYen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Our Past.
"Ini Ibu Rinjani, kan?''
Disinilah Hera berada, di bawah remang-remang cahaya rembulan, ia menatap sebuah pigura berisikan gambar seorang wanita yang terpajang apik di atas meja belajar Renata.
Benar sekali, setelah kejadian tadi sore di UKS. Hera memohon pada Renata untuk menginap di apartemen gadis itu terlebih dahulu, selama kasus ayahnya belum selesai, mungkin ia akan dijadikan samsak oleh Tyas—Ibu biologisnya.
Renata mengangguk, membenarkan terkaan gadis yang tengah duduk manis di pinggiran dipan.
Si gadis tunarungu berjinjit, meraih saklar lampu guna mengentaskan kegelapan yang dua jam lalu mengambil alih.
"Maaf apartemen ku gak seluas kamarmu."
Hera hanya mengangguk mewajarkan.
Toh, Renata sudah tidak mempunyai siapapun lagi, kecuali dirinya sendiri.
Dan dengan jahatnya, Hera dulu justru semakin memperparah kondisi dari mantan sahabatnya itu.
Tapi diam-diam Renata bersyukur, dia tidak lagi tinggal di tempat kumuh itu lagi.
Beberapa minggu lalu, seseorang yang mengaku sebagai petugas pengangkut barang yang diberi titah oleh Jayadika Company memindahkan nya kemari.
Sebuah apartemen yang sebenarnya tak jauh lebih besar dibandingkan apartemen lamanya, namun yang menyenangkan ialah tempat sekaligus lingkungannya bersih.Tidak banyak tikus berkeliaran, maupun tetangga mesum yang setiap hari memandangi Renata penuh hasrat.
Dan yang paling penting semua ini ia dapat secara cuma-cuma.
Yap, kalian tidak salah baca.
Kamar apartemen yang diisi dengan sebuah kamar tidur yang memang tak begitu luas, dilengkapi dengan pendingin ruangan dan kamar mandi dalam, ia dapat secara gratis. Tidak dipungut biaya.
Beruntunglah Renata.
Hera melirik ke arah kompor di samping kulkas.
"Lo suka masak?" Celetuknya, setelah melihat mini kitchen set yang tentu saja diberikan orang itu tanpa dipungut biaya.
Renata mengangguk.
"Mau gimana lagi?"
Tak memberi tanggapan, netra Hera terpaku pada pigura Rinjani yang tersenyum. Rasa hangat menerpa hatinya yang telah lama jauh dari rasa nyaman.
"Kangen Ibu Rinjani, kira-kira dia lagi apa ya di sana?" Cicit Hera, ia memandang Renata sejenak sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
Malam merajai setelah mentari melengserkan posisinya. Kegelapan merajalela, memaksa sebagian insan untuk terlelap.
Langit bertaburan bintang, menjadi salah satu atensi binar legam Hera. Ia rupanya terpukau, meski bintang-bintang yang ia lihat di balkoni rumahnya jauh lebih jelas, pula wewangian dari taman bunga di bawah balkoni yang tak bisa dipungkiri —Begitu harum.
Namun kini rasanya jauh berbeda, menikmati keindahan bulan separuh, para bintang yang berkelip bersama, berbarengan dengan sahabat yang istimewa bagimu, itu begitu menyenangkan.
Renata beralih, ia memandang langit gulita di luar jendela, menatap satu bintang yang paling terang sinarnya.
Entah itu bintang atau Venus.
"Dia sudah menjadi bintang yang paling bersinar di sana."
Hera tertegun, ia tersenyum simpul akan kalimat Renata barusan.
Ya, Rinjani, wanita itu akan bersinar jauh lebih terang dibanding saat ia berada di bumi. Lebih dekat dibanding nadi, karena darahnya berdesir, tercampur pada kumpulan homogen dalam tubuh Renata.
•••
Jantung berdebar kencang, bau-bau tidak sedap tercium. Para tahanan menatap polisi-polisi itu penuh akan dendam serta harap-harap cemas.
Maka di sini, di antara dinginnya jeruji besi, seorang wanita memandang remeh pria bertuliskan tahanan itu.
"Argh!!"
"Dasar jalang! Pergi kau, pergi!"
Pria berseragam oranye itu meraung, menatap seorang wanita tanpa riasan yang kini memandang rendah dirinya.
Walau kalimat yang terlontar ialah hinaan, wanita itu sama sekali tidak menggubrisnya, ia justru melangkahkan kakinya lebih dekat menuju sudut tempat pria itu meringkuk.
"Well, Soerya..."
Telunjuk lentiknya ia gunakan agar pria tersebut mendongak, menatap lurus kearahnya.
"Dasar penipu!! Harusnya sejak awal aku nikahi saja Rinjani!"
"Hmphh-"
Wanita itu membekap mulut sang pria kasar, sehingga pria itu tak dapat berbicara lagi.
Wanita itu tertawa, tawa khas seorang antagonis dalam cerita-cerita rumah tangga. Tawa puas yang telah lama ia tahan.
"Jangan sebut nama sahabat cantikku itu. Kecuali kau ingin mendekam ke penjara begitu lama."
Ia menekankan setiap kata dalam kalimatnya, lantas melepas jemarinya, praktis membuat pria itu berbicara dengan cerewetnya bagai lolongan serigala pada purnama, atau suara mengembik anak domba.
"Dasar wanita tak tahu diuntung! Sama saja kau dengan wanita-wanita jalang yang pernah aku coba!!" Pekiknya, sontak mengalihkan atensi para polisi yang sedang berjaga.
Wanita itu berbalik, matanya melotot, nampak menyeramkan.
Ia menunjuk-nunjuk pria itu—Soerya, dengan telunjuknya seakan ingin mengingatkan mengenai posisi pengusaha yang kini sukses meraih gelar koruptor tersebut.
"Tyas, kalau kau lupa siapa aku." Ia menegaskan namanya.
"Dan aku tak sama seperti jalang murahanmu itu!" Tukasnya.
Tyas berdiri, menatap sejenak pria yang berstatus sebagai mantan suaminya.
"Terima saja karmamu."
Wanita itu lantas berlalu meninggalkan ruangan yang hanya diterangi tamaram cahaya dari lampu pijar.
Soerya kini dirangkul oleh dua orang polisi yang tengah bertugas, pigmen kemerahan akibat amarah perlahan mereda. Jelas tak ada gairah pada matanya. Kian hari tubuhnya kian mengurus, seakan lemak menghindari untuk bersemayam pada raga sang putra sulung Keluarga Janadwipa.
•••
Hawa dingin menyergap, walau tak sekejam udara di penjara. Dua insan tengah terduduk di bawah naungan beringin tua pada pelataran rumah megah kepunyaan seseorang.
"Maleo?"
Suara mendayu seorang remaja mengalihkan atensi Maleo. Pemuda itu memandang Indira nyalang.
"Apa yang kau mau?" Maleo berujar spontan, rautnya datar hampir tiada ekspresi.
Indira mengambil alih kursi tak berpenghuni di samping Maleo. Ia memandang kosong buku bercorak sakura yang mungkin saja menjadi penyebab utama kemarahan si pemuda.
''Perempuan itu lagi?'' Indira membuka topik.
Maleo masih diam tak bergeming. Ia memandang lurus benda-benda dihadapannya, apa saja selain tatapan memelas Indira.
Tidak mendapat jawaban, Indira menghela napas berat, ia merasa harga dirinya jatuh akibat diabaikan.
"Baiklah kalau kamu masih tidak ingin bercerita." Ia bangkit dari bangku panjang itu.
"Tapi ingat, aku selalu ada di sini buat dengerin cerita kamu." Indira mengacak-acak surai legam lelaki disampingnya kemudian berlalu, meninggalkan Maleo yang terbuai akan lamunannya.
•••
Mengenyahkan Maleo dan pikirannya yang melalang buana jauh. Sebuah perkantoran sarat akan karyawan menarik atensi, menunjukkan kekonsistenan sang pemimpin hingga tak tertidur di malam hari.
"Bagaimana tentang Cahya Pelita, Pak Chandra?"
Gulita nan sunyi rupanya tak menghalangi pekerjaan seorang manager perusahaan kita saat ini. Walau beberapa insan penghuni alam lebih memilih untuk terlelap mengentaskan rasa kantuk, dua lelaki paruh baya itu justru masih betah beraktivitas di kantor.
Meskipun kantung mata tak bisa membohongi publik, namun tetap saja keduanya sama-sama setia untuk terjaga kala malam semakin larut.
"Tetap laksanakan." Titah sang atasan.
Pria paruh baya itu mengangguk, lantas menyingkir dari jangkauan pupil zamrud yang berpangkat lebih tinggi.
"Hah..."
Pria itu beralih memandang lurus bingkai foto seorang wanita. Wanita cantik yang dahulu kala ia elu-elukan, tapi sekarang entah kemana ia pergi. Hidup ataupun mati, ia tidak tahu. Informasinya begitu minim.
Surai jelaga itu nampak berantakan seiring rasa frustasi yang menderu. Ia menghela napasnya berat, mengalihkan perhatian sejenak dengan mengetik beberapa kalimat pada gawainya.
Ia tersenyum simpul kala mendapati sebuah balasan dari sebrang.
"Yah... Bagaimanapun hidup akan terus berjalan meski harus kehilangan sesosok dewi di dunia, Rinjani."
Lantas menutup pigura itu dengan kain kecil berwarna merah, berniat melupakan sosoknya barang sebentar saja.
•••
Dan di bawah langit yang sama, kisah mereka terus berjalan. Masing-masing memikul luka, rindu, dan rahasia yang tak pernah benar-benar mati.
Tapi kira-kira siapakah mereka?
.
.
.
.
Jujur, buat cerita ini agak terkesan cepet2 gitu yah?
Soalnya saya lagi otw buat bikin sebuah cerita baru, lebih bagus dari ini juga + olimpiade yang datang beberapa hari lagi, jadi doakan saja.
Walaupun ceritanya super duper fiksi, tapi secara plot menurut saya cerita baru saya ini ga pasaran hehe...
So.....
LIKE KOMEN!
Aku ingin bingar...
Aku mau di pasar...
Pecahkan saja gelasnya biar ramai!
Biar mengaduh sampai gaduh...
Kulari ke hutan kemudian teriakku....
Bosan...aku dengan penat...
dan enyah saja kau pekat!
Seperti berjelaga jika ku sendiri...