Sania, seorang dokter spesialis forensik, merasakan hancur saat calon suaminya, Adam, seorang aktor terkenal, meninggal misterius sebelum pernikahan mereka. Polisi menyatakan Adam tewas karena jatuh dari apartemen dalam keadaan mabuk, namun Sania tidak percaya. Setelah melakukan otopsi, ia menemukan bukti suntikan narkotika dan bekas operasi di perut Adam. Menyadari ini adalah pembunuhan, Sania menelusuri jejak pelaku hingga menemukan mafia kejam bernama Salvatore. Untuk menghadapi Salvatore, Sania harus mengoperasi wajahnya dan setelah itu ia berpura-pura lemah dan pingsan di depan mobilnya, membuat Salvatore membawanya ke apartemen. Namun lama-kelamaan Salvatore justru jatuh hati pada Sania, tanpa mengetahui kecerdikan dan tekadnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Sania membuka matanya dan melihat ia berada di kamarnya.
"Sial, dia kembar memberikan aku obat tidur." gumam Sania.
Sania mendengar suara langkah kaki dan ia kembali memejamkan matanya.
Ceklek!
Salvatore membuka pintu dan menghampiri Sania.
"Shelena, ayo bangun. Temani aku untuk menyambut teman lama ku." ucap Salvatore.
Sania membuka matanya sambil tersenyum tipis ke arah Salvatore.
"Apakah aku pingsan lagi, Sal?" tanya Sania.
Salvatore menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
"Iya Shelena. Kamu pingsan saat kita sarapan tadi." jawab Salvatore.
Kemudian Salvatore meminta Sania untuk segera mandi dan mengganti pakaiannya.
Sania mengangguk kecil dan segera ia bangkit dari tempat tidur.
Ia tersenyum tipis ke arah Salvatore yang menunggunya.
"Aku tidak bisa seperti ini terus. Dia akan tahu siapa aku sebenarnya." gumam Sania.
Sania lekas mandi agar Salvatore tidak semakin curiga.
Selesai mandi, Salvatore berdiri sambil menyiapkannya gaun berwarna merah kesukaan Madeleine.
Salvatore berjalan mendekat dengan langkah tenang, namun matanya menatap Sania seolah sedang menatap masa lalu yang hidup kembali di hadapannya.
Ia mengambil gaun merah itu dari gantungan, lalu dengan lembut membentangkannya di depan tubuh Sania.
“Gaun ini dulu favorit Madeleine. Dia selalu terlihat menakjubkan saat memakainya.”
Sania menelan salivanya dengan jantungnya yang berdegup cepat.
Ia tahu, setiap sentuhan, setiap tatapan, bukanlah untuk dirinya melainkan untuk Madeleine yang telah tiada.
Namun, ia harus tetap memainkan peran agar seluruh misinya untuk mengungkap kebenaran tentang kematian Adam bisa berakhir di sini.
“Boleh aku bantu kamu memakainya?” tanya Salvatore dengan suara rendah.
Sania mengangguk pelan. “Boleh, Sal.”
Jantung Sania berdegup kencang saat Salvatore membangun memakaikan gaunnya.
“Cantik sekali kamu , Madeleine." bisik Salvatore, hampir tanpa sadar.
Sania menatap bayangannya sendiri, lalu tersenyum samar.
“Terima kasih, Sal. Tapi aku bukan Madeleine.”
Salvatore terdiam. Senyumnya perlahan memudar.
Ia menatap Sania melalui pantulan cermin, matanya mulai menggelap.
“Aku tahu, Sal. Tapi setiap kali aku melihatmu, Shelena. Aku merasa Madeleine masih hidup.”
Sania berpaling, pura-pura tersipu padahal dadanya dicekam ketakutan.
“Kalau begitu, biarkan aku menemanimu sebagai Shelena hari ini. Bukan sebagai bayangan siapa pun.”
Salvatore tersenyum kecil, lalu menawarkan tangannya.
“Ayo, temui tamuku. Dia orang penting bagiku.”
Sania memegang tangan Salvatore, berusaha tetap tenang.
“Teman lamanya? Siapa orang itu? Apa dia bagian dari rahasia kematian Adam?” gumam Sania.
Mereka pun berjalan menuju ruang tamu besar, di mana suara langkah sepatu pria lain sudah terdengar memasuki rumah.
"Shelena, perkenalkan dia dokter Bima." ucap Salvatore.
Bima membalikkan badannya dan tersenyum tipis di hadapan mereka berdua.
Sania langsung terkejut ketika melihat Bima ada di rumah Salvatore.
"Perkenalkan nama saya Dokter Bima." ucap Bima sambil menyodorkan tangannya ke arah Sania.
"S-shelena,"
Salvatore tertawa kecil saat melihat Bima memandang wajahnya.
"Jangan bilang kamu juga terkejut, Bim. Dia bukan Madeleine, tapi Shelena." ucap Salvatore yang kemudian mengajak mereka untuk makan bersama.
Mereka bertiga kini duduk di ruang makan besar, dengan meja panjang dari marmer putih dan lilin yang masih menyala meski matahari siang menyinari ruangan.
Carla baru saja meletakkan piring utama seperti daging steak dan sup krim hangat, lalu meninggalkan ruangan.
Hanya terdengar dentingan halus sendok dan garpu.
Salvatore bersandar di kursinya, menatap Bima dengan pandangan tenang namun tajam.
“Jadi, Bim. Aku dengar kamu baru saja membuka fasilitas baru di laboratorium. Benar begitu?” tanya Salvatore sambil memutar gelas wine.
Bima menegakkan punggungnya, mencoba menjaga nada suaranya agar tetap profesional.
“Benar, Tuan Salvatore. Laboratorium itu akan difokuskan untuk penelitian pengawetan jaringan dan organ manusia.”
Sania yang duduk di samping Salvatore langsung menoleh cepat ke arah Bima.
Kata ‘pengawetan jaringan manusia’ membuat dadanya menegang.
Salvatore tersenyum samar, lalu menatap Sania sekilas.
“Menarik, bukan, Shelena? Dunia medis memang luar biasa. Bahkan jenazah pun bisa tetap ‘hidup’—dengan cara mereka sendiri.”
Nada suaranya dalam, seperti menyimpan sesuatu yang lain di balik kalimat itu.
Sania menelan ludahnya pelan. “Maksudmu… apa, Sal?”
Salvatore menegakkan tubuhnya, lalu menatap Bima dengan serius.
“Bima, aku ingin kamu memastikan bahwa jasad Adam tetap dalam kondisi sempurna. Aku ingin dia diawetkan. Tidak boleh rusak sedikit pun.”
Bima langsung menatap Salvatore dengan tatapan kaget, begitu pula Sania yang hampir tidak bisa menyembunyikan ekspresinya.
“Untuk apa kamu mengawetkan jasad Adam?” tanya Bima dengan suara bergetar, mencoba terdengar tenang.
Salvatore tersenyum dingin ke arah mereka berdua.
“Dia penting untuk penelitian. Mungkin juga untuk kebenaran.”
Sania tak tahan lagi. Kursinya bergeser pelan, dan ia berdiri dengan tubuh gemetar.
“T-tapi kenapa, Sal? Bukankah dia sudah meninggal? Kenapa kamu ingin—”
Dengan cepat, tangan Salvatore mencengkeram lengan Sania dengan kuat.
“Duduk, Shelena,” ucapnya pelan tapi tegas.
Nada suaranya tak meninggi, tapi dinginnya cukup untuk membuat Sania berhenti melawan.
Sania menatapnya dengan mata lebar, lalu perlahan duduk kembali.
Salvatore mengusap lengannya dengan ibu jarinya, seolah berusaha menenangkan, namun genggamannya tetap keras.
“Tidak perlu takut, Shelena. Aku hanya ingin memastikan bahwa semua berjalan sesuai rencana. Adam masih menyimpan banyak rahasia yang belum selesai.”
Bima menatap Sania sekilas, seolah ingin memastikan ia baik-baik saja.
Namun dalam hati, ia sadar jika Sania telah mengetahui lebih banyak dari yang seharusnya.
Salvatore meneguk anggurnya sekali lagi, lalu menatap Bima dalam-dalam.
“Besok pagi aku akan ke laboratoriummu. Siapkan ruangannya. Aku ingin melihat jasad itu sendiri.”
Bima menganggukkan kepalanya dan ia kembali menikmati makanannya.
Sesekali ia melirik ke arah Sania yang duduk dengan wajah pucat, matanya kosong menatap piring di depannya.
Sendok di tangannya bergetar halus bukan karena lapar, tapi karena ketakutan yang mulai merayap di dadanya.
Salvatore terlihat tenang, menikmati setiap potongan steak tanpa sedikit pun menyadari kekacauan yang bergolak di pikiran Sania dan Bima.
Atau mungkin ia sadar, dan justru menikmati permainan itu.
“Shelena,” ucapnya tiba-tiba, membuat Sania tersentak kecil.
“Setelah makan nanti, aku ingin kamu menemaniku ke laboratorium Bima. Aku ingin kamu melihat sesuatu.”
“Melihat apa, Sal?” tanya Sania lirih, hampir tak terdengar.
Salvatore menatapnya sambil tersenyum tipis.
“Kebenaran.”
Bima memalingkan wajahnya, mencoba menutupi ketegangan.
Ia tahu apa yang dimaksud “kebenaran” oleh Salvatore dan ia tahu Sania tidak akan siap untuk itu.
“Maaf, Tuan Salvatore. Laboratorium saya sedang dalam tahap sterilisasi. Mungkin Tuan bisa datang lusa, setelah semua alat siap.”
Salvatore mengangkat alis, menatapnya tajam.
“Benarkah, Bima? Atau kamu hanya mencoba menyembunyikan sesuatu dariku?”
Bima menelan salivanya saat mendengar perkataan dari Salvatore.
“Tidak, Tuan. Saya hanya ingin memastikan semua dalam kondisi terbaik untuk kunjungan Anda.”
Salvatore terdiam beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk pelan.
“Baiklah. Dua hari lagi. Tapi jangan buat aku menunggu lebih lama.”
Ia lalu kembali menatap Sania, kali ini dengan ekspresi lembut.
“Tentu, Shelena akan ikut denganku. Aku ingin dia tahu, mengapa semua ini harus terjadi.”
Sania memaksa senyum, tapi jantungnya berdetak tak karuan.
Ia sadar satu hal Salvatore tahu sesuatu tentang Adam.
Dan kini, hanya Bima yang bisa membantunya sebelum Salvatore membuka semuanya dengan caranya sendiri.
Setelah makan siang berakhir, Salvatore pamit untuk menerima panggilan telepon di ruang kerjanya.
Begitu pintu tertutup, Bima segera mendekat ke arah Sania.
“Shelena, Kamu harus hati-hati. Dia mulai curiga. Jangan lakukan apa pun yang bisa memancingnya.” ucap Bima.
Bima mengatakan kalau di kantor Salvatore ada data Sania Erwin.
"Dia mau ke laboratoriummu. Apa dia tahu kalau jenazah Adam masih di sana?"
“Tidak. Tapi jika dia sampai melihat ruang pendingin itu, semuanya akan berakhir. Bukan cuma kamu, Sania. Aku juga.”
Sania menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan Bima di bawah meja.
“Kalau begitu, kita harus bergerak duluan. Aku akan buat Salvatore percaya bahwa aku masih Shelena. Tapi kamu pastikan jasad Adam tetap aman.”
Bima menatapnya dalam-dalam, ada rasa kagum sekaligus cemas.
“Kalau sampai dia tahu siapa kamu sebenarnya, Sania, dia tak akan membiarkanmu hidup.”
Sania tersenyum tipis, tapi tatapan matanya tajam.
“Itu resiko yang harus aku ambil. Aku sudah kehilangan Adam. Aku tidak akan kehilangan kebenaran juga.”
Dari arah tangga, langkah kaki berat Salvatore kembali terdengar.
Bima segera mundur, kembali ke tempat duduknya.
Salvatore muncul dengan senyum dingin di wajahnya.
“Sudah selesai mengobrol?” tanya Salvatore sambil menatap mereka secara bergantian.
Sania menatap wajah Salvatore dengan senyuman lembut.
"Jangan salah paham, Sal. Aku hanya bertanya tentang alergiku." jawab Sania sambil menunjukkan telapak tangannya yang memerah.
Salvatore menatap Sania lama, lalu mengangguk pelan.
“Baik. Kalau begitu, besok kita berdua akan pergi ke vila luar kota. Aku ingin kau istirahat di sana, Shelena. Tempat itu punya kenangan khusus bagiku dan Madeleine.”
Sania menelan ludah pelan. Dalam hatinya, alarm bahaya sudah berbunyi keras.
Vila itu mungkin tempat rahasia lain tersimpan—mungkin juga tempat Madeleine berakhir.
“Baik, Sal. Aku akan ikut.”
Salvatore tersenyum dan mengecup punggung tangannya.
“Bagus. Aku tahu kamu akan menuruti kata-kataku, Shelena.”
Bima hanya bisa menatap, berusaha menahan kekhawatirannya