Luna Maharani.
Nama yang sudah lama tidak ia dengar. Nama yang dulu sempat jadi alasan pertengkaran pertama mereka sebelum menikah. Mantan kekasih Bayu semasa kuliah — perempuan yang dulu katanya sudah “benar-benar dilupakan”.
Tangan Annisa gemetar. Ia tidak berniat membaca, tapi matanya terlalu cepat menangkap potongan pesan itu sebelum layar padam.
“Terima kasih udah sempat mampir kemarin. Rasanya seperti dulu lagi.”
Waktu berhenti. Suara jam dinding terasa begitu keras di telinganya.
“Mampir…?” gumamnya. Ia menatap pintu yang baru saja ditutup Bayu beberapa menit lalu. Napasnya menjadi pendek.
Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu, ia merasa hampa. Seolah seluruh tenaganya tersedot habis hanya karena satu nama.
Luna.
Ia tahu nama itu tidak akan pernah benar-benar hilang dari hidup Bayu, tapi ia tidak menyangka akan kembali secepat ini.
Dan yang paling menyakitkan—Bayu tidak pernah bercerita.
Akankah Anisa sanggup bertahan dengan suami yang belum usai dengan masa lalu nya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
Pagi itu, matahari bersinar lembut di langit Jakarta. Udara masih sejuk, daun-daun di taman kampus bergoyang pelan tertiup angin. Di bangku kayu dekat kolam kecil, Sarah sudah duduk sambil memegang segelas kopi hangat dan menatap layar ponselnya dengan wajah cemberut.
Begitu melihat sosok Anisa berjalan mendekat, langkahnya pelan, dengan wajah sendu, namun tetap berusaha tersenyum, Sarah langsung berdiri dan melambai.
“Astaga, Nisa! Tiga hari ke mana aja lo? Gue hampir nyusul ke panti lo, sumpah! Lo sakit apa?” serunya panik sambil memeluk Anisa erat-erat.
Anisa hanya tersenyum lemah, balas memeluk sahabatnya itu. “Gue cuma… ada urusan keluarga, Sar.”
Sarah melepaskan pelukannya, menatap Anisa dari atas ke bawah, mencoba mencari tanda-tanda aneh di wajah sahabatnya.
“Urusan keluarga? Keluarga lo yang mana?, Lo nggak kenapa-napa, kan? Sumpah, lo keliatan beda. Lebih… kalem, tapi juga agak sedih. Cerita dong.”
Anisa menunduk, meremas jemari tangannya. Ia tahu, cepat atau lambat, Sarah pasti akan tahu juga. Dan di dunia ini, hanya Sarah satu-satunya orang yang bisa ia percaya.
“Sarah…” katanya pelan. “Gue mau cerita sesuatu. Tapi janji ya, jangan bilang ke siapa pun.”
Sarah langsung mengangguk mantap. “Lo tau sendiri kan, mulut gue terkunci rapat buat lo. Ayo cerita.”
Anisa menarik napas panjang, menatap taman yang mulai ramai dengan mahasiswa lain.
“Selama tiga hari ini gue nggak ke kampus karena… gue menikah.”
Sarah langsung mematung.
“Apa?!” serunya terlalu keras sampai beberapa mahasiswa menoleh. “Lo serius, Nis? Menikah? Sama siapa?”
Anisa buru-buru menenangkan sahabatnya, menepuk lengannya pelan. “Pelan-pelan, Sar. Nanti ada yang denger gimana?,Iya, gue serius. Gue menikah dengan seseorang yang… bahkan belum terlalu gue kenal.”
Sarah menatapnya tak percaya. “Astaga, lo nggak dijodohin, kan?”
“Bisa dibilang begitu,” jawab Anisa lirih. “Namanya Mas Bima. Keluarganya kaya raya, punya perusahaan besar. Mama nya yang ingin gue jadi menantunya.”
Sarah masih belum bisa menutup mulutnya. “Dan lo setuju aja gitu?”
Anisa menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca, mencoba menjelaskan semuanya dengan suara serendah mungkin. “Karena ini bukan pernikahan sungguhan, Sar. Ini cuma… pernikahan kontrak.
Sarah membeku di tempat.
“Pernikahan kontrak? Lo becanda, kan?”
Anisa menggeleng pelan.
“Selama enam bulan ke depan gue harus berpura-pura jadi istrinya di depan keluarganya. Setelah itu, kami akan bercerai.”
Sarah langsung menjatuhkan tubuhnya ke bangku, menatap kosong ke depan.
“Gila, Nis… lo sadar nggak apa yang lo lakuin? Itu hidup lo, masa depan lo. Lo yakin orang tuanya gak tahu semua ini?”
Anisa tersenyum getir. “Orang tuanya tahu kami menikah, tapi mereka nggak tahu kalau ini cuma kontrak. Dan anehnya… mereka justru sangat baik sama gue. Berbeda sekali dengan sikap Mas Bima. Rasanya bukan kek anak kandung saja.”
Sarah menatapnya dalam, mencoba memahami. “Berbeda gimana maksud lo?”
“Dia dingin. Formal. Kalau ngomong pun seperlunya aja. Rasanya… kayak tinggal sama robot.
Anisa menunduk. “Tapi anehnya, orang tuanya justru memperlakukan gue dengan penuh kasih. Mamanya, mama Ratna, selalu perhatian. Gue sampai berpikir, mungkin gue memang lebih diterima di keluarganya daripada di hati suami gue sendiri.”
"Kapan lo ketemu dia?."
"Waktu itu gue hampir ketabrak mobil dan mama Ratna lah yang menolong gue dan membawa gue ke rumah sakit. Kemudian beberapa hari yang lalu saat gue kerja di cafe, gue nggak sengaja numpahin minuman ke tas branded milik kekasih Mas Bima dan ia minta ganti rugi 600 juta, awalnya gue kaget dari mana gue punya uang sebanyak itu. Tapi tiba-tiba mama Ratna datang dan menawarkan sebuah kesepakatan bahwa gue nggak perlu ganti 600 juta asalkan gue mau jadi menantunya. dan ternyata sebelumnya Mama Ratna juga sudah menemui Bu Asih di panti asuhan dengan menawarkan Villa milik keluarga mereka untuk dijadikan panti asuhan, karena lo tahu sendiri kan kalau panti asuhan gue akan disita oleh negara. Awalnya gue berfikir jika menikah bukanlah hal yang buruk daripada gue harus mendekam dipenjara karena tidak sanggup membayar ganti rugi, toh kalau menikah gue bisa bercerai. Namun tanpa gue duga ternyata Mas Bima sudah menyiapkan kontrak pernikahan dan isinya juga sangat menguntungkan gue. isi kontrak itu tidak ada kontak fisik tidak ada melayani siapapun."
Sarah terdiam cukup lama, membiarkan angin pagi itu berhembus di antara mereka.
Akhirnya Sarah pun berkata pelan, “Lo tuh terlalu baik, Nis. Gue tahu alasan lo pasti bukan karena uang. Tapi karena sesuatu yang lebih besar dari itu, kan?, demi adik-adik lo di panti.”
Anisa tersenyum kecil, matanya menatap jauh. “Iya, Sar. Gue melakukan ini… demi panti. Bu Ratna berjanji akan menyerahkan salah satu villanya untuk dijadikan panti asuhan. Gue nggak bisa menolak tawaran itu. Kemana lagi gue bisa mencari bagunan yang pas untuk adik-adik gue.”
Sarah menatap sahabatnya lama, lalu menghela napas berat.
“Lo selalu mikirin orang lain dulu sebelum diri lo sendiri. Tapi, Nis, tolong janji satu hal sama gue…”
Anisa mengangkat kepalanya. “Apa itu?”
Sarah menatapnya serius.
“Jangan biarkan siapa pun melukai lo lagi. Lo udah pernah disakiti sebelumnya. Gue nggak mau lo ngerasain itu lagi, apalagi dari laki-laki kayak Bima. Jangan pernah lo jatuh cinta sama dia."
Anisa hanya terdiam, menatap langit yang mulai berubah warna. “Gue janji, Sar. Gue akan kuat.”
Sepeninggal Sarah yang pergi ke toilet, Anisa duduk sendirian di taman. Suara burung dan langkah kaki orang-orang menjadi latar pikirannya yang berkelana jauh.
Tanpa bisa ditahan, bayangan Bayu kembali muncul di benaknya, mantan kekasih nya, pengkhianatan, dan rasa sakit yang belum sepenuhnya sembuh.
"Gue gak pernah cinta sama lo, gue hanya memanfaatkan kepintaran lo. Yang selama ini gue suka adalah sahabat lo,”
Suara itu masih terngiang jelas di kepalanya, seperti luka lama yang belum mengering.
Anisa benar-benar tidak menyangka jika pemuda yang dipacarinya selama 4 tahun ternyata hanya memanfaatkannya saja, dan yang lebih menyakitkan adalah ternyata Bayu mencintai sahabat Anisa dan mereka diam-diam menjalin hubungan di belakang Anisa. saat itu Anisa benar-benar merasa terpuruk bagaimana bisa seorang sahabat dan kekasihnya melakukan penghianatan secara bersamaan, kalau saja Bayu berselingkuh dengan gadis lain mungkin Anisa tidak terluka separah ini.
Namun kali ini, ia ingin hasil akhirnya berbeda. Ia tidak mau lagi menjadi korban. Ia ingin bertahan, tapi juga ingin membuktikan bahwa wanita seperti dirinya bisa bangkit tanpa perlu bergantung pada siapa pun.