Sebastian Adiwangsa. Nama yang selalu bergaung dengan skandal, pesta malam, dan perempuan yang silih berganti menghiasi ranjangnya. Baginya, cinta hanyalah ilusi murahan. Luka masa lalu membuatnya menyimpan dendam, dendam yang membakar hasratnya untuk melukai setiap perempuan yang berani mendekat.
Namun, takdir memiliki caranya sendiri. Kehadiran Senara Ayunda, gadis sederhana dengan kepolosan yang tak ternodai dunia, perlahan mengguncang tembok dingin dalam dirinya. Senara tidak seperti perempuan lain yang pernah ia kenal. Senyumnya membawa cahaya, tatapannya menghadirkan kehangatan dua hal yang sudah lama terkubur dari hidup Sebastian.
Namun, cara Sebastian menunjukkan cintanya pada Senara bermula dari kesalahan.
Dua Dunia dalam Satu Malam
Sena tetap menjalani rutinitasnya yaitu bekerja sebagai kasir di kafe milik Ibu Clea sambil menunggu jadwal sidangnya. Hingga kini, belum juga ada kabar soal kapan persidangan itu dimulai.
Tentu saja, tak satu pun dari Ravian maupun Bastian yang tahu kalau ia bekerja. Dua pria itu pasti tak akan mengizinkannya. Karena itu, Sena selalu punya seribu alasan untuk pulang larut malam, dan untuk urusan membuka pintu penthouse, ia mengandalkan Ravian.
Untungnya, Bastian sedang berada di puncak kesibukannya di kantor. Ia hampir selalu pulang larut, jadi ketika Sena pulang, Bastian belum ada di kamar, jadi tidak perlu mencari alasan apapun ke Bastian.
Hari ini akhirnya Sena mendapatkan hari liburnya. Siang-siang dia sudah bersantai di ruang tamu menikmati film horror sambil menyantap kue yang semalam dibelinya sendiri.
Bastian baru menyelesaikan ritual mandinya, rambutnya masih basah, dan langsung ikut duduk di ruang tamu. Tatapan curiga pria itu langsung tertuju pada kue yang dimakan oleh Sena, itu termasuk kue dari brand ternama.
“Siapa yang memberimu kue itu?” tanya Bastian tanpa basa-basi.
Sena menoleh santai. “Ini? Aku beli sendiri semalam.”
Bastian terkekeh pelan, sinis. “Beli sendiri? Kau dapat uang darimana?”
Sena terdiam sepersekian detik—dan langsung menyesal. Ia seharusnya tak menjawab seperti itu. Satu kalimat bodoh dan Bastian pasti mulai mencurigainya.
“Dibelikan Clea,” koreksi Sena cepat.
“Kenapa tidak minta padaku? Lupa omonganku tempo hari?”
“Ah Bastian… semalam aku benar-benar ngidam kue ini. Kebetulan kami lewat depan tokonya. Kalau aku harus bilang ke kamu dulu, keburu tokonya tutup. Sudah hampir tengah malam soalnya,” bela Sena. Otaknya sudah terlatih memproduksi kebohongan darurat setiap kali berhadapan dengan Bastian.
Bastian menghela napas kasar. Wanita ini… keras kepala sekali.
Ia kembali bersandar, membuka ponsel, tak ikut menatap layar TV. Sampai—
“AHHHHH!” teriak Sena tiba-tiba, nyaring, sambil menutup matanya dengan bantal sofa.
Bastian nyaris melempar ponselnya, terlonjak dari duduknya. “Kau kenapa Sena?!”
“Bastian, film ini serem banget! Hantunya jelek sekali, aku takut!” Sena berseru dari balik bantal yang masih menutupi wajahnya.
Bastian kembali mendesah. Ia meraih remot di meja, dan tanpa pikir panjang mengganti channel itu.
“Kalau begitu, jangan ditonton,” katanya datar.
Sena menurunkan bantal, melongo beberapa detik. Lalu ekspresinya berubah cepat.
“Bastiannn!” serunya, nada tingginya memecah ruangan.
“Jangan berani meninggikan suara di depanku” balas Bastian, suaranya langsung dingin.
“Aku mau nonton film yang tadi! Sini remot nya!” Sena meraih remot dan mengembalikannya ke channel semula. Film horor itu kembali tayang.
10 menit
20 menit
Setiap kali adegan jumpscare muncul, Sena refleks menjerit kecil, tubuhnya terlonjak yang membuat Bastian ikut kaget.
Sampai klimaks film itu, Sena tak lagi berani melihat. Ia menutup matanya dengan telapak tangan, mengintip sedikit di sela jarinya.
10 menit
15 menit
20 menit
Sena masih begitu saja.
“Kau ini mau nonton atau tidak? Kalau tidak, ganti yang lain!” gerutu Bastian, mulai kesal, tangannya bergerak ingin merebut remot kembali.
Sena sigap menggenggam remote erat-erat. “Ihh, Bastian! Ini lagi seru-serunya! Jangan ganggu!” Pipi Sena menggembung, persis seperti anak kecil yang sedang ngambek.
Bastian meliriknya, lalu tanpa sadar senyum tipis itu muncul, tak sempat ia sembunyikan.
“Tapi kau bahkan menutup mata. Apa yang kau tonton dari situ?” nada Bastian kembali ketus.
“Diam, Bastian. Kamu ini kenapa sih?!” suara Sena mulai bergetar, entah karena takut, entah karena kesal. Matanya mulai berkaca-kaca.
Ravian, yang mendengar suara mereka dari lantai dua, akhirnya turun.
“Ada apa ini? Suara kalian sampai ke atas,” tanyanya, heran.
Sena langsung menoleh. “Kakak! Bastian ganggu aku! Aku mau nonton film ini, tapi dia malah maksa ganti!” Sena langsung mengadu, seperti anak kecil menemukan kesempatan membela diri.
Ravian tertawa kecil. Sejak kapan Sena yang pendiam berubah jadi cerewet begini? Apakah ini efek bawaan bayi yang ia kandung?
“Bastian, biarkan adikku menonton,” kata Ravian tenang.
“Ini Penthouse ku! Kenapa kalian yang atur?” balas Bastian, tajam.
Sena cemberut makin dalam. “Tapi aku duluan yang duduk di sini. Lagian, biasanya kamu nggak pernah nonton di ruangan ini. Kenapa sekarang ganggu?”
“Aku nggak akan ganggu kalau kau nonton dengan benar!”
“Aku takut, Bastian!” bela Sena.
“Kalau takut, jangan nonton! Berikan remotnya!”
“Kak Ravian!” Sena kembali mengadu.
Ravian menghela napas. Ia benar-benar heran, bagaimana dua orang ini bisa berdebat sekeras itu hanya karena sebuah film.
Belum sempat Ravian bicara, suara Sena terdengar lagi. “Ih! Kok filmnya udah habis?! Aku bahkan nggak lihat akhirnya tadi gimana!” keluhnya, kesal karena adegan paling menegangkan justru terlewat gara-gara ribut dengan Bastian dan membela diri ke Ravian.
Sena berdiri, menyerahkan remote dengan kasar ke Bastian. “Tuh, remotnya! Aku mau tidur aja! Terserah kamu mau nonton apa sekarang!” ujarnya, lalu naik ke lantai atas dengan langkah keras, menghentakkan kaki kesal.
Lucu sekali.
Bastian dan Ravian saling pandang, lalu sama-sama terkekeh, tak habis pikir dengan tingkah wanita itu.
...****************...
Setelah menengahi kejadian konyol di ruang tamu antara Bastian dan Sena, Ravian meninggalkan Penthouse.
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tapi tatapan pria itu masih terpaku pada penari seksi yang berlenggok di panggung klub.
Ravian.
Ia masih berada di sana, mengamati wanita yang kini sedang ia dekati. Wanita yang malam ini memamerkan tubuh dan kelenturannya di bawah sorot lampu klub.
Tatapan Ravian tajam, berbeda sekali saat ia menatap Sena.
Kalian tau alasan kenapa pria itu akhir-akhir ini jarang pulang ke Penthouse?
Ya. Wanita yang sedang dia tatap ini alasannya.
Setelah merampungka kegiatan menarinya, Alexandra turun dari panggung.
“Alexandra,” suara sang ketua klub, Mario, memanggilnya.
“Ya, Mario?”
“Ada yang menunggumu di VIP 1.”
“Oke, aku segera ke sana,” jawab Alex, lalu melangkah menuju ruangan yang dimaksud.
Begitu membuka pintu, matanya langsung bertemu dengan pria itu. Alex menghela napas panjang.
“Mau sampai kapan kau jadi penari seperti itu?” tanya Ravian tanpa basa-basi. Tinggal lama bersama Bastian rupanya menulari gaya bicaranya, tajam dan langsung.
“Sampai aku punya banyak uang” jawab Alex datar.
Wanita ini memang realistis.
“Aku bisa memberimu uang, Alex.”
“Aku nggak mau dapat uang instan. Aku mau hasil dari tanganku sendiri,” balas Alex tegas.
“Dengan jadi penari yang nyaris seperti pemuas nafsu pria-pria itu?”
Deg. Kalimat itu menusuk, tapi Alexandra tetap Alexandra.
“Kenapa tidak? Itu pekerjaan.” nada Alex sinis.
“Aku sudah tawarkan pekerjaan lain, tapi kau tolak. Kenapa?” Ravian mulai frustrasi.
“Sudah kubilang, aku mau kerja dari kemampuanku sendiri, bukan belas kasihan orang lain! Lagipula, bayaran di klub malam cukup besar dan cukup buat hidupin aku dan adik-adikku!”
Ravian terdiam.
“Kau nggak suka profesiku, kan? Kalau begitu, tinggalkan aku. Aku nggak b—”
Ravian menyela, lirih, menyerah. “Lanjutkan saja pekerjaanmu. Lakukan apa pun yang kau mau.”
Ravian memilih untuk mengalah. Lagi.
...----------------...
^^^Cheers, ^^^
^^^Gadis Rona^^^