Setelah kematian kedua orang tuanya, Farhana baru tahu jika mereka bukanlah orang tua kandungnya.
Mereka berdua meninggal akibat kecelakaan. Dan ternyata yang menabrak adalah putri kandungnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Senggrong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KETEGASAN
"Apa yang ingin Kalian katakan?" tanya Farhana datar. Dihadapannya ada Tuan Pratama, Bang Reza dan Bang Atta. Seperti yang ia duga saat mendorong kursi rodanya kesini.
"Kenapa Kamu pergi dari rumah?" tanya Tuan Pratama dengan lembut. Meski ia sudah tahu jawabanya lewat surat yang ditulis Farhana, namun Farhana ingin mendengar langsung dari mulut Farhana.
Penampilannya tak serapi biasanya. Matanya memerah seperti habis menangis. Namun Farhana mencoba untuk tenang.
"Bukankah surat yang Aku tulis itu sudah jelas," jawab Farhana dengan tegas.
Tuan Pratama menghela nafasnya yang terasa sesak. Kini tatapan Farhana kembali disaat pertemuan pertama mereka .Padahal beberapa hari ini hubungan keduanya sudah seperti Papa dan anak pada umumnya.
"Maafkan Papa. Papa tahu mungkin kesalahan Papa tidak bisa termaafkan. Tapi bisakah Kamu masih tinggal di rumah bersama kami?" pinta Tuan Pratama dengan tulus. Ucapan itu tulus dari lubuk hatinya yang terdalam.
"Apa Papa tahu apa yang aku rasakan saat mengetahui bahwa Papa telah membohongiku?" tanya Farhana dengan sendu.
"Rasanya sakit....sakit sekali."
"Aku tahu kecelakaan itu memang bukan sepenuhnya salah Putri. Mungkin juga memang Kami yang sedang apes atau katakanlah sial. Bahkan dalam sehari saja lebih dari seribu kecelakaan yang terjadi di seluruh penjuru dunia.'
Farhana kembali menjeda ucapannya. Tidak ada yang membuka suara. Farhana kembali mengucapkan kata-kata yang membuat ketiga lelaki dihadapannya tersayat hatinya.
"Tapi kenapa Papa bohong dan menjadikan orang yang tidak bersalah sebagai kambing hitam? Bahkan disaat orang itu sedang berjuang diantara hidup dan mati. Kenapa?" tanya Farhana dengan suara yang sudah meninggi. Untung saja ruangan itu kedap suara.
"....."
Tuan Pratama tidak mampu menjawabnya. Bukan karena tidak ada jawaban. Tapi semua itu tidak ada artinya sekarang.
"Sekarang...mari Kita hidup seperti sebelumnya. Anggap saja Aku tidak pernah ada. Putri adalah putri keluarga Pratama bukan Hana. Biarkan Aku tetap menjadi putri dari ibu Anggun dan ayah Candra," ucap Farhana dengan mantap. Tentu saja ucapan itu langsung ditolak tanpa pikir panjang oleh ketiga lelaki itu.
"Tidak bisa!"
"Apanya yang tidak bisa? Bukankah semalam Kalian melupakan kehadiranku ? Kalian semua sibuk dengan kondisi Putri . Apa ada diantara Kalian yang mengingatku?" sindir Farhana dengan telak.
"....Maaf."
"Tidak perlu minta maaf. Saat ini hanya satu yang Aku inginkan.....temukan dalang dari kecelakaan itu. Serta.....orang yang sudah membuat Mama meninggal dihari kelahiranku," ucap Farhana dengan tegas. Bang Atta dan Bang Reza kaget mendengarnya. Tidak seperti Tuan Pratama sudah membaca tulisannya.
"Apa maksudmu?" tanya Bang Reza dengan bingung.
"Ha......apakah ucapan serta tulisan tanganku belum jelas!"
"Tulisan apa? Apa Kamu menulis sesuatu?"
Farhana langsung menatap Tuan Pratama dengan tajam. Bang Atta dan Bang Reza mengikuti arah pandang Farhana.
"Apa Papa tahu tulisan yang dimaksud Hana?" Tuan Pratama langsung mengangguk. Bang Reza dan bang Atta lagi-lagi kecewa pada Papa mereka.
"Pendarahan Mama ada yang sengaja ingin mencelakainya. Ada yang sengaja membunuh mama. Apa sudah jelas?" kata Farhana dengan lantang.
"Apa katamu?"
"Apa belum jelas?"
"Bagaimana Kamu tahu?" tanya Tuan Pratama denga nada bergetar.
"Tentu saja Aku sudah menemukan buktinya."
"Siapa orangnya?"
"Temukan sendiri. Bukankah Papa pebisnis yang hebat. Kenapa masalah sekecil ini saja tidak bisa mengatasinya?"
"Baiklah....kalau memang ada yang sengaja membunuh Mey Lin , maka aku pastikan dengan tanganku sendiri orang itu akan mendapatkan hukuman yang setimpal."
"Harus! Jangan hanya bicara saja. Buktikan semuanya. Satu bulan....aku kasih waktu satu bulan. Aku ingin dalam waktu satu bulan pembunuh itu harus mendapatkan hukuman."
"Baiklah. Apa setelah itu Kamu akan tinggal lagi bersama Kami?"
"Tidak mungkin."
"Kenapa?"
"Karena .....aku tidak ingin. Tapi mungkin saat itu tiba, aku akan dengan rela memberikan maaf."
"Aku benar-benar tidak tahu kalau Papa akan membohongiku," kata Bang Atta dengan mata yang sudah memerah dan sembab.
"Aku tahu."
"Kenapa Kamu tidak memafkanku?"
"Memangnya kesalahan apa yang sudah Abang perbuat sampai harus meminta maaf padaku?"
"Karena Abang sudah mengabaikanmu," jawab Bang Atta . Farhana tersenyum mendengarnya. Ia memang kecewa namun tidak sampai membenci. Tapi untuk bersikap seperti sebelumya ia belum bisa.
"Sudahlah....Aku harus segera masuk kedalam kelas. kalau tidak, bisa-bisa Aku ketinggalan pelajaran. Kalian pasti masih belum lupa jika Aku baru pindah disini."
Farhana sudah tidak ingin membahas ini lebih jauh lagi. Semua yang ingin ia katakan sudah ia katakan semuanya.
"Kamu akan tinggal dimana?"
"Kepala sekolah sudah memberikan persetujuan untuk tinggal di asrama. Jadi Kalian tidak perlu Khawatir."
Bang Reza langsung berdiri dan berlutut dihadapan Farhana. Tangisnya sudah tidak bisa ia bendung lagi. Namun tak ada kata yang sanggup keluar.
Kedua mata Farhana berkaca-kaca saat menatapnya. Ia mengingat hari-hari mereka saat berjalan berdua. Semua terasa mimpi.
Tidak ingin larut dalam kesedihan, Farhana memundurkan kursi rodanya sebelum berbalik dan keluar dari ruangan itu.
Ketiga lelaki yang ia tinggal terdiam dengan tangisan. Butuh waktu bebarapa menit sebelum iku keluar dari ruangn itu. Namun dengan tujuan yang berbeda.
Farhana masuk kedalam kelas dengan wajah yang sembab. Semua menatapnya dengan raut penasaran.
"Maaf Bu....tadi ada urusan sebentar dengan keluarga," kata Farhana dengan sendu.
"Apa urusannya sudah selesai?"
"Sudah."
"Lain kali kalau ada urusan pribadi lebih baik dikatakan saat tidak ada pelajaran. Kalau begini Kamu sendiri yang rugi," pesan Bu Ana dengan bijak.
"Baik....terima kasih,"
"Kembali ke tempatmu."
Farhana kembali mendorong kursinya ke samping Dzaki. Sebenarnya bukan hanya teman-temannnya saja yang penasaran . Bu Ana pun juga penasaran kenapa Farhana kembali dengan wajah sembab. Siapapun tahu jika Farhana baru saja selesai menangis.
'Kamu tidak papa kan?" tanya Cindy khawatir.
"Its Ok."
Cindy tidak bertanya lebih lanjut. Selain masih waktunya pelajaran ia juga tidak ingin membuat Farhana kembali sedih saat menceritakannya.
Dzaki juga meliriknya dalam diam. Ia mengambil tisu basah yang selalu ada di dalam tasnya. Kemudian memberikannya pada Farhana.
Bukan hanya cewek saja yang suka menyimpan tisu dalam tasnya. Contohnya saja Dzaki.
Farhana menerimanya dengan senang hati. Ia juga memilii tisu didalam tasnya. Namun bukan tisu basah. Kemudian ia membersihkan wajahnya dengan menggunakan tisu tersebut.
"Terima kasih."
"Hmmmmm"
Farhana tidak tersinggung dengan jawaban Dzaki. Karena memang sudah seperti itu sejak awal. Setela itu Farhana mulai fokus dengan pelajaran.
Disisi lain Tuan Pratama langsung memulai penyelidikan. Urusan perusahaan ia serahkan pada Bang Atta.
Pertama ia pergi ke rumah sakit terlebih dahulu. Ia teringat dengan ucapan dokter Amelia saat awal melakukan pemeriksaan pada kaki Farhana.
Tuan Pratama harus menunggu sampai semua pasien yang ingin bertemu dengan dokter Amelia selesai melakukan pemeriksaan.Hingga tak terasa menunggu sampai dua jam.
"Maaf sudah membuat Tuan Pratama menunggu lama," kata dokter Amelia tak enak hati.
"Tidak masalah. Seharusnya malah Saya yang harus meminta maaf karena menganggu waktu kerja dokter."
"Ada yang bisa Saya bantu?"
"Soal pertukaran bayi itu bagaimana? Apa sudah ada ketemu siapa yang sudah menukar Farhana dengan Putri?"
"Sebenarnya agak sulit. Apalagi tidak ada CCtV waktu itu. Namun..."
"Namun apa?"
"Ada seseorang yang mengetahuinya."
"Siapa?"
"Salah satu perawat disini. Dia melihat dengan jelas siapa yang sudah menukar bayi itu. Namun ia tidak berani mengatakannya. Karena orang itu mengancamnya."
"Kenapa sekarang mau? Apa jangan-jangan orang itu mau menipu."
"Tidak mungkin."
"Kenapa tidak mungkin?"
"Karena orang itu sudah menuai karmanya."
"Maksudnya?"
"Anda akan tahu saat melihatnya."
"Dimana orang itu?"
"Di rumah sakit jiwa."
"Ha!!! Orang gila?"
Dokter Amelia tersenyum cerah melihat keterkejutan Tuan Pratama.
slah nyri lwan sih....
hana dn kluarganya pst bhgia bgt....
slain hana udh smbuh,nnek shir jg bkln d hkum mti....