Mengisahkan kehidupan seorang siswa laki-laki yang telah mengalami patah hati setelah sekian lamanya mengejar cinta pertamanya. Namun, setelah dia berhenti ada begitu banyak kejadian yang membuatnya terlibat dengan gadis-gadis lain. Apakah dia akan kembali ke cinta pertamanya, atau akankah gadis lain berhasil merebut hatinya?
Ini adalah kisah yang dimulai setelah merasakan patah hati 💔
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghindar?
Di kelas, Ferdi mengikuti pelajaran dengan cukup fokus. Meski sebenarnya, hatinya masih berkecamuk, seolah ada bom waktu yang siap meledak kapan saja karena rasa kesal yang ia tahan sedari pagi. Tapi Ferdi menekannya kuat-kuat, mencoba tetap tenang.
Kebetulan saat itu pelajaran Matematika sedang berlangsung, salah satu mata pelajaran yang cukup ia sukai. Yang mengajar adalah Pak Sayuti, guru bertubuh gemuk dengan senyum ramah yang tak pernah absen. Beliau dikenal bijak dan suka memberi nasihat, terutama saat melihat muridnya sedang menghadapi masalah. Sosok yang dihormati dan disukai banyak siswa.
Tiba-tiba, Pak Sayuti menunjuk ke arah papan tulis.
"Ferdi, bisa kamu coba jawab soal ini?"
Ferdi langsung menoleh. "Bisa, Pak," sahutnya sambil berdiri dan berjalan ke depan kelas.
Ia menerima spidol dari tangan Pak Sayuti dan mulai menuliskan rumus-rumus dengan mantap. Jemarinya cepat dan terarah. Dalam beberapa menit, jawaban dari soal yang cukup rumit pun tertulis lengkap.
Pak Sayuti memperhatikan setiap gerakan Ferdi dari samping.
"Jawabannya benar! Kerja bagus!" ujar Pak Sayuti dengan senyum dan jempol teracung.
"Makasih, Pak," balas Ferdi dengan senyum kecil.
Namun, senyum itu... tidak seperti biasanya. Ada sesuatu di baliknya, seperti luka yang sedang disembunyikan. Pak Sayuti yang sudah berpengalaman tentu menyadarinYa.
"Nak, nanti pas pelajaran selesai, bantu Bapak bawa buku ke kantor, ya?"
"Iya, Pak," jawab Ferdi singkat, lalu kembali ke bangkunya.
Ia duduk, menatap lurus ke depan, tapi pikirannya entah ke mana.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...----------------...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Langkah kaki Ferdi bergema pelan di koridor sekolah yang lengang, sesekali terdengar suara buku berserakan sedikit karena terlalu berat ditenteng di satu tangan. Di sampingnya, Pak Sayuti berjalan dengan tenang, tangan kiri memegang satu map tipis, sedangkan tangan kanan dimasukkan ke saku celana. Tak ada yang terburu-buru, tapi langkah mereka stabil dan pasti, seperti sebuah kebiasaan yang rutin dilakukan.
"Ferdi..." suara Pak Sayuti memecah kesunyian lorong. Suaranya tenang, tapi terasa dalam.
"Ya, Pak?"
"Lagi ada masalah ya?"
Langkah Ferdi langsung melambat sedikit. Jelas dia terkejut, matanya sempat melirik ke arah guru gemuk yang selama ini dikenal bijak itu. Tapi Ferdi cepat-cepat menunduk lagi, menatap ubin sekolah seakan itu bisa bantu dia ngumpulin jawaban yang pas.
"Eh?! Nggak kok, Pak... maksudnya... yah, paling masalah biasa, masalah anak-anak sekolah," ucap Ferdi, mencoba tetap terdengar santai walau jelas nada suaranya mengandung sesuatu yang ditahan.
Pak Sayuti hanya tertawa kecil. "Masalah sama cewek ya?"
Seketika Ferdi berhenti sebentar, lalu tertawa paksa. "Seperti biasa, Bapak bener-bener peka, ya."
"Heh, bapak udah ngajar puluhan angkatan, Nak. Mana mungkin bapak nggak bisa nebak dari gelagat anak-anak. Apalagi kamu, dari kecil paling jujur kelihatan kalau lagi nahan sesuatu."
Ferdi dan Pak Sayuti sudah kenal lama karena mereka bertetangga, sekaligus pernah menjadi guru les matematikanya Ferdi.
Ferdi hanya tersenyum kecil, tapi senyum itu seperti kaca tipis, ringkih dan rapuh, seolah satu desahan napas saja bisa pecah. Ia nggak bilang apa-apa, tapi dari tatapannya, Pak Sayuti tahu anak ini lagi nyimpen beban yang nggak ringan.
"Hmm..." Pak Sayuti melirik Ferdi dari sudut mata, lalu lanjut bicara tanpa melihat langsung ke arahnya. "Kadang ya, masalah kayak gitu tuh bukan harus diselesain hari itu juga. Kadang kita cuma butuh waktu... dan orang yang mau dengerin, bukan buat ngasih solusi, tapi biar kita bisa lega."
Ferdi mengangguk pelan. "Iya, Pak..."
Mereka pun terus berjalan ke ruang guru, tanpa ada kata lagi. Tapi di antara langkah kaki yang pelan dan lorong sekolah yang tenang, suasana di antara keduanya terasa hangat. Seolah, tanpa bicara panjang lebar pun, ada perasaan saling mengerti yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Dan untuk Ferdi yang saat itu hatinya sedang berantakan, setidaknya... ada satu orang dewasa yang benar-benar peduli.
.
.
.
Setelah selesai mengantar buku ke ruang guru, Ferdi langsung melangkah menuju kantin. Tapi langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok gadis yang cukup familiar berdiri sendirian di depan kelasnya.
"Hina?" gumam Ferdi pelan, sedikit mengernyit.
Tanpa pikir panjang, dia berjalan mendekat dari belakang, "Hayo, lagi ngapain?"
"Ah!" Hina memekik kecil, terkejut setengah mati saat tiba-tiba disapa dari belakang. Ia langsung menoleh sambil memasang wajah cemberut.
"Humph! Jangan ngagetin gitu dong!" protesnya kesal, tapi ekspresi kesalnya malah keliatan lucu banget.
Ferdi refleks tersenyum kecil. "Imut…"
"Eh!?" Hina sontak salah tingkah, pipinya memerah. "A-apa yang kau katakan tadi!?" suaranya naik satu oktaf.
Tanpa menjawab, Ferdi cuma nyengir santai.
"Ini!" Hina buru-buru menyodorkan kantong plastik ke Ferdi, lalu langsung berbalik pergi, meninggalkan Ferdi yang berdiri heran di tempat.
"Eh? Eh, kok pergi gitu aja?" gumam Ferdi bingung, lalu menunduk memeriksa isi kantong yang baru dia terima. "Oh, komik. Dia balikin komik yang kemarin dia pinjam…"
Ferdi tersenyum tipis sambil menggoyangkan kantong itu sedikit, lalu kembali masuk ke kelas. Ia membuka laci mejanya dan meletakkan kantong plastik berisi komik itu di dalam.
"Ntar ku bawain sisanya deh…," batinnya.
Setelah itu, ia langsung melangkah keluar lagi, lanjut ke tujuan awal, kantin.
.
.
.
Ferdi berjalan santai ke arah kantin, langkahnya pelan tapi pasti. Masih ada sisa lelah mental dari pagi tadi, tapi dia berusaha tetap tenang.
Namun begitu dia berbelok di lorong dekat taman sekolah, pandangannya langsung bertemu dengan seseorang, gadis berambut hitam dengan kuncir kuda yang sedang berjalan dari arah berlawanan.
Lisa.
Mereka sama-sama terdiam sepersekian detik. Pandangan mereka bertaut, tapi hanya sesaat.
Tanpa berkata apa-apa, Lisa langsung memalingkan wajahnya dan... berbalik arah.
"Eh?" Ferdi refleks mengerutkan alis, sedikit bingung.
Gadis itu seperti menghindar. Padahal baru tadi pagi mereka jalan bareng ke sekolah. Bahkan... Lisa sempat tampak nyaman. Tapi sekarang?
Ferdi menghentikan langkahnya, menatap punggung Lisa yang makin menjauh.
"Kenapa dia tiba-tiba gitu?" gumamnya pelan, merasa sedikit tak enak.
Dadanya terasa aneh. Bukan sedih... tapi juga bukan marah. Lebih kayak bingung. Dan mungkin... sedikit kecewa.
Tapi Ferdi hanya bisa menghela napas panjang, lalu melanjutkan langkahnya ke kantin, tanpa tahu alasan di balik sikap Lisa yang mendadak berubah itu.
...----------------...
Di meja kantin, Ferdi duduk sendirian. Di hadapannya sudah ada segelas es teh dan beberapa gorengan yang masih hangat, baru saja dia beli.
"Jam istirahat kedua cukup singkat… mending buru-buru ngabisin," gumamnya pelan, lalu mulai meraih sepotong gorengan. Tapi tangannya terhenti saat melihat seseorang berdiri di depannya.
Yuka.
Ekspresi wajahnya… ragu. Atau mungkin merasa bersalah?
"Apalagi?" celetuk Ferdi datar, lalu menggigit gorengan yang sempat dia ambil tadi.
"A-aku…" Yuka tampak canggung. Seperti ingin bicara, tapi mulutnya terkunci.
Ferdi melihatnya sekilas, lalu menghela napas panjang.
"Huft~ duduklah. Aku bakal dengerin," ujarnya, masih terdengar dingin.
Yuka tampak terkejut, sedikit, tapi juga seperti lega. Sebuah senyum kecil sempat muncul di bibirnya sebelum cepat-cepat menghilang. Ia duduk di seberang Ferdi, diam… menunduk.
"Jadi, mau bilang apa?" tanya Ferdi tanpa menatapnya, masih sibuk dengan makanannya. Suaranya datar, tak menunjukkan antusiasme apa pun.
"A-aku…" Yuka mencoba membuka suara, namun tangannya gemetar, suaranya bergetar.
"Aku…"
Ferdi, meski tampak kesal, masih duduk tenang sambil menunggu. Sesekali mendesah pelan.
"A-aku… minta maaf…" akhirnya keluar juga dari bibir Yuka. "Aku minta maaf karena udah ngeremehin perasaan kamu… aku juga minta maaf karena udah marah-marah ga jelas… tapi… aku ngerasa aneh waktu kamu jauhin aku…"
Ferdi mulai menatapnya.
"Aku… entah kenapa… dada aku sakit waktu liat kamu deket sama cewek lain…" lanjut Yuka. Suaranya semakin pelan, bergetar. Dan akhirnya, air mata pun jatuh membasahi pipinya.
Ferdi diam. Menatap gadis itu lama. Lalu menghela napas dalam.
Kamu udah telat banget, Yuka… batinnya.
kayaknya bertambah saingannya