“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Elang duduk sendirian di bangku panjang dekat jendela, sebuah cup cappuccino panas dari mesin kantin ada di hadapannya. Uapnya mengepul pelan, tapi sama sekali tidak disentuh. Matanya menatap lurus ke luar jendela, tapi pikirannya tidak ada di sana. Tatapannya kosong, penuh bayang-bayang yang tak mau pergi.
Hiruk-pikuk suara murid-murid lain yang lalu lalang tak terlalu ia pedulikan. Bagi Elang, pagi ini terasa berat. Ada perasaan yang mengganjal. Entah kenapa, jantungnya berdetak tidak tenang sejak bangun tidur.
Tak lama kemudian, Mira muncul dari arah koridor. Rok abu-abunya berkibar pelan, rambutnya yang tergerai indah tampak baru saja disisir dengan rapi. Ia sempat berhenti di depan kaca jendela dan membetulkan poninya. Senyum tipis terukir di wajahnya, seolah ia tahu sesuatu yang akan mengguncang pagi Elang.
Dengan langkah ringan, Mira menghampiri meja Elang.
“Selamat pagi,” ucapnya ramah, suaranya dibuat selembut mungkin.
Elang mendongak sekilas. Tatapannya datar lalu mengangguk kecil. “Pagi.”
“Boleh aku duduk?” tanya Mira sambil menunjuk bangku di seberangnya.
Elang tak menjawab, hanya mengangguk sekali lagi.
Mira pun duduk, menyilangkan kaki dengan anggun. Tangannya meraih botol minum berwarna merah muda dari dalam tasnya, tapi tak langsung diminum. Ia justru menatap Elang dengan ekspresi ragu-ragu. Seolah menimbang-nimbang sesuatu yang berat.
“Elang…” panggilnya pelan, nadanya mendatar namun tampak berusaha terdengar jujur. “Maaf kalau aku ganggu pagi-pagi begini. Tapi aku rasa kamu perlu tahu ini.”
Elang mengerutkan alis, menatap Mira dengan tatapan bingung.
Mira menunduk sejenak, lalu menarik ponselnya dari saku rok.
“Tadi pagi… aku nggak sengaja lihat seseorang. Waktu aku keluar dari apartemen temanku. Dan aku langsung kaget karena aku kenal siapa yang aku lihat.”
Ia membuka galeri ponselnya. Beberapa foto sudah siap di layar.
“Aku nggak tahu ini penting atau nggak buat kamu. Tapi aku rasa kamu punya hak buat tahu.”
Ia menyodorkan ponsel itu ke hadapan Elang.
Di layar, jelas tergambar. Sosok Nayla berdiri di depan pintu apartemen. Seorang pria membukakan pintu untuknya. Lalu mereka masuk bersama. Dari sudut pengambilan gambarnya, terlihat jelas wajah Nayla dan pria itu.
Elang terpaku.
Tangannya tidak langsung mengambil ponsel itu. Ia hanya menatap, napasnya tertahan.
“Aku juga nggak tahu itu apartemen siapa. Tapi jelas banget itu apartemen orang kaya. Mewah banget dari luar. Dan pria yang buka pintu buat dia kelihatan ya, lebih tua dari kita. Kayak mahasiswa atau mungkin udah kerja.”
"Jujur aku kecewa. Aku sempat berharap foto-foto yang beredar di sekolah hanyalah kesalahan pahaman. Nayla tak mungkin melakukan hal menjijikan itu. Tapi... Tadi pagi aku melihatnya sendiri. Ternyata semua itu benar." ucap Mira menambahkan.
Elang akhirnya mengambil ponsel itu. Ia menatap layar dengan lebih dekat. Membesarkan gambar, Itu Nayla Dan itu kakaknya. Elvino.
Meski Mira tidak tahu siapa pria dalam foto itu, Elang mengenalinya dengan sangat baik.
Tangannya mulai mengepal. Rahangnya mengeras. Ia memandangi foto itu lama sebelum akhirnya mengembalikan ponsel itu dengan tangan bergetar.
“Elang!” panggil Mira, wajah tersirat kekhawatiran meskipun hati nya bersorak penuh kemenangan.
Namun Elang sudah berdiri. Kursi kayu itu terdorong mundur oleh lututnya dengan bunyi berderak kecil.
“Kau yakin ini tadi pagi?” tanyanya singkat, suaranya dingin.
Mira mengangguk cepat. “Baru tadi pagi. Jam tujuh lewat dikit.”
Elang Tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia langsung berbalik dan melangkah cepat keluar dari kantin.
“Elang! Mau ke mana?” panggil Mira.
Tapi Elang tidak menjawab. Langkahnya mantap, penuh amarah yang mendidih. Ia tahu ke mana harus pergi.
Apartemen kakaknya. Elvino.
...
Langkah Elang terdengar tergesa menyusuri koridor apartemen mewah itu. Tangannya mengepal, wajahnya tegang, dan matanya penuh amarah. Ia tidak lagi bisa menahan emosi yang membakar dadanya. Setiba di depan pintu unit yang dituju, ia langsung memutar gagang pintu dan mendorongnya. terbuka. Tidak terkunci.
BRAK..!
"NAY..." Suara Elang tercekat di tenggorokan.
Di dalam, Elvino duduk bersandar di sofa dengan kancing kemeja terbuka, rambut acak-acakan, dan ekspresi wajah yang sulit untuk di jelaskan.
Dengan amarah yang menyala, Elang melangkah cepat menghampiri kakaknya. Napasnya sudah berubah jadi dengusan keras.
“Di mana Nayla?” bentaknya tanpa basa-basi.
Elvino mengangkat wajahnya perlahan, keningnya berkerut dan matanya menyipit saat menatap adiknya yang datang seperti badai.
“Nayla siapa?” tanyanya lambat, namun ada senyum sinis yang nyaris tak terlihat muncul di ujung bibirnya.
"Jangan main-main dengan ku Vino!" suara Elang nyaris meledak.
“Tadi dia ke sini, kan? Apa yang kalian lakukan di sini?!”
Elvino memutar bola matanya malas, lalu bangkit sambil mengambil gelas anggur yang tersisa dan meneguknya perlahan.
“Oh… Nayla. Temanmu waktu itu, ya?”
“Kau tahu dia sahabatku! Kau tahu! Tapi kenapa kau...”
"Kamu pikir apa yang dilakukan oleh pria dewasa dan wanita di apartemen dalam keadaan seperti ini?" sahut Elvino, menatap adiknya dengan sorot dingin, seolah menyiram bensin ke dalam kobaran api Elang.
Tubuh Elang menegang. Tanpa pikir panjang, ia mencengkram kerah baju kakaknya dan dengan amarah yang tak lagi bisa dikendalikan, ia melayangkan satu pukulan keras ke wajah Elvino.
Namun tangan besar Elvino menangkap tinju itu dengan cepat. Genggamannya kuat dan Dingin.
“Jaga sopan santunmu, Elang!” suara Elvino menggelegar. Sorot matanya menusuk.
“Kau lupa siapa aku?”
"Aku tidak peduli!" teriak Elang, matanya memerah.
“Aku tidak peduli jika kau kakakku! Kenapa kau harus menyentuh Nayla?!”
Elvino tertawa kecil, getir. Ia melepaskan genggaman pada tangan Elang dan membalikkan badan.
“Karena dia menjual, dan aku membeli. Sesimpel itu.”
"KAU GILA!" Elang berteriak.
“Tidak,” Elvino berbalik lagi, menatap lurus adiknya, wajah nya datar.
“Aku hanya realistis. Dia datang, dia butuh uang. Dan aku menyediakan jalan. Tidak ada yang dipaksa, bukan?”
Elang menahan napasnya. Matanya berair, tapi bukan karena ia cengeng. Melainkan karena hancur.
“Kau sebentar lagi akan menikah. Dan sekarang kau merusak sahabatku…”
Elvino mencibir.
“Aku tidak pernah ingin menikah. Itu keinginan Papa dan Mama. Aku bahkan tidak mencintai perempuan itu. Lagi pula…” ia mendekat ke Elang, wajahnya hanya beberapa senti dari wajah adiknya.
“Aku tidak merusaknya. Dia menyerahkan dirinya dengan kesadaran penuh. Demi uang.”
“Elvino…” suara Elang parau, dipenuhi kemarahan yang tertahan.
“Kau tidak tahu apa yang kau lakukan.”
Elvino menyipitkan mata, ekspresinya tetap datar. “Aku tahu persis apa yang kulakukan, Elang.”
Elang menatap kakaknya penuh luka. Napasnya berat, tangan mengepal di sisi tubuhnya.
Tapi Elvino malah menyandarkan tubuh di kursi, nada bicaranya berubah lebih santai namun tajam.
“Kau masih muda, Elang. Masih terlalu labil untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi.”
Kalimat itu membuat Elang terdiam sejenak. Matanya melebar, seolah tak percaya.
“Jangan bicara padaku seolah kau paling tahu segalanya,” desis Elang.
“Aku tidak perlu tahu segalanya,” Elvino membalas dengan tenang.
“Aku hanya cukup tahu… dunia ini tidak sesederhana yang kau pikir. Tidak semua yang terlihat salah itu memang salah. Dan tidak semua yang tampak benar itu benar.”
“Kau menyakiti Nayla,” ujar Elang, suara gemetar menahan amarah.
“Itu fakta. Bukan filosofi kosongmu itu.”
Elvino tersenyum miring. “Benarkah? Atau kau hanya terlalu larut dalam peran sebagai pahlawan?”
“Aku mempercayaimu sebagai kakakku…” suara Elang nyaris berbisik.
“Dan itu kesalahanmu,” jawab Elvino datar. “Kau masih hidup dalam dunia hitam-putih. Sayangnya, Elang… hidup ini lebih rumit dari yang kau bayangkan.”
Elang menatapnya seperti melihat seseorang yang benar-benar asing. Perlahan ia menggeleng. “Aku tidak tahu siapa kau sekarang.”
“Tidak perlu tahu,” ucap Elvino sambil berdiri, melangkah mendekat.
“Cukup pahami satu hal...kau bukan lawanku, Elang. Belum cukup kuat untuk itu.”
Elang mundur satu langkah, lalu satu langkah lagi. Dadanya bergetar, tapi bukan karena takut. melainkan karena amarah yang mendidih.
“Kalau kau menyentuh Nayla lagi,” katanya lirih,
“aku akan menghancurkanmu. Dengan tanganku sendiri.”
Senyum Elvino membeku. Ia memandang Elang beberapa detik sebelum akhirnya bergumam pelan,
“Kita lihat saja nanti.”
BRAK.
Pintu ditutup keras.
Dan keheningan kembali menyelimuti ruangan itu. Elvino menatap pintu yang kini tertutup rapat, lalu menghela napas panjang, terdengar lebih lelah dari biasanya.
kasian Nayla hancur N merasa bersalah bngt pastinya ..ibunya mninggal karna tau kerjaan nayla😭