NovelToon NovelToon
Istri Bar-bar Ustad Tampan

Istri Bar-bar Ustad Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Kehidupan di Kantor / Identitas Tersembunyi
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Aku ingin kebebasan.

Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.

“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”

Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.

“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 13

Dua hari setelah mereka resmi menjadi sepasang suami istri Pagi masih lengang di sebuah rumah. Tirai jendela sedikit terbuka, membiarkan cahaya masuk perlahan ke dalam kamar yang semalam jadi saksi kekacauan kecil akibat air putih misterius pemberian sang kakek.

Ustadz Damar duduk di pinggir ranjang. Matanya tak lepas dari sosok perempuan yang kini tengah duduk memeluk lutut di ujung kasur. Kia Eveline Kazehaya. Istrinya. Perempuan yang keras kepala, tangguh, dan punya segudang mimpi.

“Masih kesal?” tanyanya pelan, suaranya nyaris setengah berbisik.

Kia menoleh sekilas, lalu menunduk. “Aku masuk perangkap, Dam. Disiapin semuanya biar malam itu kejadian. Kakek benar-benar nekat.”

Ustadz Damar hanya menangguk kecil, tak membantah. Diam sejenak, lalu Kia angkat suara lagi.

“Kalau aku hamil gimana? Aku belum sempat duduk di kursi CEO, belum tuntas latihan tanding, belum juga ikut kompetisi balap. Tubuhku bisa berubah. Dari model jadi toreng."

Ia menunduk, tak berani menatap mata suaminya.

Ustadz Damar membetulkan posisi duduk. Nadanya tenang, lembut, tapi tegas. “Banyak yang melihat kehamilan sebagai jeda. Padahal di situlah permulaan. Dunia bisa nunggu, tapi kehidupan nggak. Kalau tubuhmu berubah, itu bukan akhir. Itu langkah baru.”

Kia menggigit bibir, diam tak menjawab. Tapi Ustadz Damar tetap melanjutkan.

“Kamu nggak kehilangan kendali, cuma lagi ngasih ruang untuk sesuatu yang lebih besar tumbuh di dalam. Jabatan, sabuk hitam, sirkuit semua itu tetap bisa kamu raih. Tapi kesempatan jadi ibu nggak datang dua kali dengan orang yang tepat.”

Kia mendongak. “Dan kalau aku benar-benar berubah bentuk?”

Ustadz Damar menarik napas sebentar, lalu menatapnya lurus. “Berarti aku harus siap punya istri yang bentuknya kayak toreng, tapi tetap bisa nyundul hatiku tiap hari.”

Kia nyaris tersenyum, tapi buru-buru menahan.

Damar menyandarkan punggung ke dinding. “Kamu bebas milih. Mau ngebut di sirkuit atau ngebut ke puskesmas buat kontrol. Yang penting jangan ngebut hatiku terus, bisa rem blong.”

Kali ini Kia melempar bantal ke arah suaminya. “Kamu tuh bisa aja, ustadz...”

“Bisa dong,” ucapnya santai, “namanya juga ustadz serba bisa. Bikin baper, bikin ketawa, sekaligus bikin deg-degan tiap kali kamu masuk kamar pakai seragam Dojo."

Kia berdiri di depan kaca, menatap bayangan dirinya sendiri. Rambutnya masih berantakan, wajahnya belum dibalut make-up seperti biasanya. Ia mendesah, lalu berbalik menatap sosok pria yang tengah melipat sajadah.

“Dam...” panggilnya lirih.

Ustadz Damar mengangkat wajah, menunggu lanjutannya tanpa suara.

“Aku mau nanya, tapi tolong jangan pakai jawaban klise ustadz.”

Damar tersenyum tipis. “Oke. Asal bukan tanya tentang hutang negara.”

Kia duduk di ujung ranjang, kepalanya menunduk. Suaranya nyaris tenggelam.

“Kenapa kamu nikahin aku?” lirihnya. “Aku bar-bar, tomboy, liar, kasar, kadang nggak sopan. Aku bahkan nggak pernah shalat, puasa pun bolong-bolong. Hijab juga nggak pernah kupakai...”

Damar diam. Tak terburu-buru menjawab. Matanya menatap Kia dalam-dalam, bukan dengan penilaian, tapi pengakuan.

“Aku nggak nikahin kamu karena kamu sempurna,” ucapnya perlahan, “tapi karena aku lihat ada luka yang kamu simpan, yang nggak pernah kamu tunjukin ke siapa pun. Kamu teriak, ngelawan, dan marah karena kamu pernah kecewa.”

Kia menggigit bibir. “Itu bukan alasan untuk dijadiin istri.”

Ustadz Damar melangkah pelan, duduk di sebelahnya. “Justru itu yang bikin kamu hidup. Kamu tumbuh dengan luka, bukan kemewahan. Kamu keras bukan karena tak punya hati, tapi karena terlalu sering ditinggalin tanpa penjelasan.”

Kia menarik napas panjang, matanya mulai berkaca. Tapi Damar tetap melanjutkan.

“Kamu pikir aku nyari istri yang udah sempurna? Aku nyari teman pulang. Orang yang berani nyebur ke dunia rusak, tapi masih mau belajar jadi baik.”

Hening beberapa detik. Lalu Kia berkata pelan, “Tapi aku masih jauh dari baik, Dam...”

Ustadz Damar tersenyum. “Aku juga. Tapi beda kita, aku tahu arah pulangnya, kamu baru mau mulai nyari. Dan aku cuma mau nemenin kamu jalan.”

Kia tertunduk. Hatinya bergetar. Tak pernah ada yang memandangnya seperti itu sebelumnya.

Lalu Ustadz Damar menambahkan, kali ini dengan nada ringan, “Lagian... jujur ya, hidupku terlalu tenang sebelum kamu datang. Aku butuh dikagetin tiap hari biar jantungku tetap aktif.”

Kia menoleh cepat, matanya berkaca tapi tertawa juga. “Kamu gila.”

“Bukan,” ucap Damar santai, “aku cuma ustadz waras yang jatuh cinta sama cewek bar-bar yang diam-diam paling lembut kalau udah ketiduran.”

Matahari belum terlalu tinggi. Udara pagi masih sejuk. Di beranda rumah, Kia duduk bersandar di kursi rotan sambil menggenggam gelas teh hangat. Rambutnya masih terurai, mengenakan hoodie longgar dan celana training. Matanya menatap jauh ke halaman depan, kosong, tapi hatinya penuh tanya.

Ustadz Damar baru saja selesai merapikan sepatu di rak. Ia berjalan pelan ke arah Kia, namun sebelum sempat duduk, suara istrinya terdengar pelan tapi tajam.

“Dam... dosa nggak sih cewek nggak pakai jilbab?”

Langkah Damar terhenti. Matanya menatap Kia lama. Ia lalu menarik kursi dan duduk di samping istrinya. Tak langsung menjawab.

Kia menoleh. “Aku nanya beneran. Jawab jujur. Tapi jangan pakai nada dakwah ya, aku lagi nggak kuat digurui.”

Ustadz Damar tersenyum tipis. Lalu berkata pelan.

“Kalau jawabannya dari hukum, ya... menutup aurat itu kewajiban. Tapi kalau jawabannya dari hati, aku lebih senang kamu tanya karena kamu mulai mikir soal itu. Itu jauh lebih penting daripada sekadar takut dosa.”

Kia diam. Matanya menunduk, jemarinya mengusap pinggiran gelas.

“Aku malu, Dam. Setiap hari tidur sama ustadz, tapi rambut masih diumbar, baju masih semaunya. Kadang aku ngerasa nggak pantes berdampingan sama kamu.”

Damar menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara pelan namun tegas.

“Jilbab itu bukan soal kain di kepala. Tapi perjalanan di hati. Aku nggak butuh kamu berubah dalam sehari. Aku cuma pengen kamu ngerti kenapa itu diperintahkan. Kalau kamu tahu alasannya, kamu bakal pakai bukan karena aku, tapi karena kamu paham Allah lagi ngajak kamu pulang.”

Kia masih diam, tapi matanya mulai berkaca.

Ustadz Damar menambahkan sambil tertawa kecil, “Dan satu hal lagi.”

“Apa?”

“Kalau kamu pakai jilbab terus jadi makin galak, kita harus latihan dulu. Nggak lucu aku diceramahin sama istri pakai nada ustadzah keras.”

Kia menyengir, menyikut lengan suaminya pelan. “Dasar ustadz nyebelin.”

Damar tertawa. “Tapi dicintai diam-diam, kan?”

Kia terdiam sejenak. Lalu bertanya dengan suara lebih lirih, “Kalau aku pelan-pelan mulai berubah kamu sabar nunggu?”

Ustadz Damar menatapnya dalam.

“Aku nikahin kamu bukan buat buru-buru ke surga, Ki. Tapi buat nemenin kamu jalan, walau kadang harus nungguin kamu duduk di pinggir sambil ngambek.”

Beberapa jam kemudian…

Setelan yang ia kenakan tampak mencolok sekaligus elegan. Blazer cropped berwarna hitam doff dengan detail garis putih tipis di lengan dan bagian pinggang, mengingatkan pada desain racing suit miliknya. Bahannya ringan tapi berpotongan tegas, memamerkan siluet ramping sekaligus memberi ruang gerak luas, seperti pakaian latihan.

Di balik blazer, Kia memakai inner mock-neck warna abu gelap dengan tekstur ringan. Di sisi kanan kerah kecil itu, ada bordir kecil bergambar elang hitam—lambang dojo tempat ia melatih taekwondo.

Celana panjang slim fit berbahan stretch hitam legam melekat sempurna di kakinya, cukup formal untuk ruang rapat, tapi fleksibel untuk seseorang yang terbiasa bergerak cepat. Di bagian samping celana, terdapat list reflektif halus seperti garis khas baju pembalap, hanya tampak ketika tersorot cahaya.

Sepatu? Bukan heels menjulang. Kia memilih ankle boots hitam doff dengan heels rendah berbahan karbon ringan desain khusus yang dia pesan sendiri, gabungan antara kenyamanan sirkuit dan gaya runway.

Tampilan itu dipermanis dengan jam tangan digital bergaya militer di pergelangan kirinya dan kacamata hitam model pilot yang tergantung di kerah bajunya.

Rambutnya dikuncir tinggi, menambah kesan tangguh tapi tetap feminin.

Dari balik pintu kamar mandi, Ustadz Damar muncul mengenakan kemeja putih polos dan celana kain hitam longgar. Di tangannya sudah ada peci hitam yang biasa ia pakai setiap keluar rumah.

“Masya Allah...” gumamnya pelan.

Kia menaikkan satu alis. “Kok bengong? Jangan bilang kamu naksir sama pembalapnya?”

Damar tertawa kecil. “Nggak, aku cuma belum pernah lihat ada orang masuk kantor dengan aura pembalap F1 dan sabuk hitam sekaligus. Rasanya pengen wudhu dulu sebelum jalan bareng.”

Kia nyengir puas. “Yah, biar pegawai-pegawai kakek langsung ngerti, cucu perempuannya bukan CEO kaleng-kaleng.”

Damar mengangguk. “Oke. Tapi tolong jangan injek pedal gas ya, ini masih jalan kantor, bukan lintasan.”

Baru beberapa langkah keluar, Kia langsung berseru tanpa menoleh, “Stop!”

Damar mengangkat alis. “Lho? Kenapa?”

Kia berbalik, menyilangkan tangan di dada. Matanya tajam tapi senyumnya nakal.

“Kalau gitu, ini hari kedua kita menikah. Hari ini aku mulai kerja di perusahaan Kakek Narendra Kazehaya. Dan kamu... sebagai suami yang katanya siap nemenin aku dalam suka duka harus temenin aku ke kantor,” katanya sambil mendekat.

Ustadz Damar mengangguk santai. “Siap. Mau duduk manis di lobi, atau ikut presentasi sekalian?”

Kia mendengus kecil. “Tapi ada syaratnya.”

Damar memiringkan kepala. “Apalagi, nih?”

Kia menunjuk peci di tangan suaminya. “Itu... ditinggal aja. Hari ini nggak boleh pakai peci. Harus semi formal, ala-ala eksekutif muda. Minimal kayak suami CEO, bukan ustadz habis ngisi pengajian RT.”

Damar tertawa pendek, “Emangnya kenapa kalau pakai peci?”

Kia melengkungkan senyumnya, smirk licik khas perempuan penuh strategi.

“Soalnya aku belum siap semua orang tahu kalau suamiku tuh ustadz. Bisa-bisa para karyawan nggak fokus kerja, sibuk minta tausiyah.”

Ustadz Damar terkekeh. “Atau kamu yang malu suaminya terlalu alim?”

Kia mencubit pelan lengan Damar. “Bukan malu. Cuma jaga wibawa. Nanti dikira aku dijodohin ustadz gara-gara tobat mendadak.”

Damar mengangkat tangan tanda menyerah. “Oke, baik. Ustadz istirahat dulu hari ini. Ganti mode jadi suami ganteng full time.”

Kia tertawa renyah, puas karena keinginannya dituruti. “Nah, gitu dong. Sekali-sekali keluar dari sarung, masuk ke jas.”

Damar menatapnya dengan senyum penuh arti. “Tapi inget ya, walau nggak pakai peci, zikirnya tetep jalan.”

Kia melotot gemas. “Masih sempat nyelipin zikir! Parah banget.”

Damar hanya terkekeh sambil merapikan kancing kemejanya. “Zikir itu power bank-nya hati, Bu CEO. Nanti kalau kamu marah-marah di kantor, aku tinggal istighfar sambil minum kopi.”

1
Meirah
serunya
Mutia bee🐝
Ceritanya bagus semangat kakak
Purnama Pasedu
betul kia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak masih setia baca kakak 🙏🏻🥰
total 1 replies
Purnama Pasedu
akan banyak cela kia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: itulah hidup kak baik semakin dicela lebih-lebih kalau sudah jelek dari awal
total 1 replies
Purnama Pasedu
ustadz bisa ae
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: pintar gombal yah 🤭🤣
total 1 replies
Purnama Pasedu
iya kia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Purnama Pasedu
tapi kadang tempat kerja ngelarang pakai hijab ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: iya kakak tergantung dari peraturan perusahaan
total 1 replies
Purnama Pasedu
bisa ae pak ustadz
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: pak ustadz gaul 😂
total 1 replies
Purnama Pasedu
masih galau ya kia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Purnama Pasedu
aamiin
Purnama Pasedu
pasangan yg kocak
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak masih setia baca 🙏🏻🥰
total 1 replies
Purnama Pasedu
kia terlalu keras ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: sabar kak ujian sang ustadz tapi nanti dapat hidayah kok 🤣🤭
total 1 replies
Purnama Pasedu
si kakek
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: ulah kakeknya akhirnya gol 🤭🤣
total 1 replies
Purnama Pasedu
kia jadi diri sendiri aj,perlahan aj
Eva Karmita
semangat otor 🔥💪🥰
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak kakak
total 1 replies
Eva Karmita
semangat ustadz... yakinlah Allah selalu ada untuk umatnya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: betul kak
total 1 replies
Purnama Pasedu
nyimak
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: semoga suka
total 1 replies
Purnama Pasedu
koq sedih ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: jangan sedih kak 🤭🙏🏻
total 1 replies
Eva Karmita
Thor bisa ngk bahasa kia kalau ngomong sama yg lebih tua sopan sedikit jgn pakai bahasa Lo gue , maaf sebelumnya bukan mengkritik otor cuma gak ngk enak aja di baca bahasanya bisa diganti aku atau apalah ... sebelum mohon maaf ya ,, ceritanya bagus tetapi semangat Otor 🙏😊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: belum saatnya kak kan gadis bar-bar tomboy liar dan pembangkang 🤭🙏🏻
total 1 replies
Eva Karmita
keren pak ustadz 😍😍😍
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: ustadz idaman yah kakak 🤭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!