Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.
Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.
Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Aldric melangkah cepat keluar dari ruang kerjanya, Wajahnya masih datar, tapi sorot matanya menunjukkan satu hal, marah yang tak bisa disembunyikan.
Ia menuju dapur, tempat dua staf rumah tangga yang biasa membantu Arlena sedang sibuk merapikan peralatan makan.
“Kalian berdua,” suaranya tenang, tapi membuat mereka refleks berdiri tegak.
“Hari ini Arlena menangis. Kalian tahu alasannya?”
Keduanya saling pandang sebentar, lalu menggeleng ragu.
“Tidak, Tuan... Kami hanya melihat Nona Arlena seperti biasa. Tidak bicara banyak. Hanya bilang mau istirahat sebentar.”
Aldric mengerutkan alis. Ia tidak puas dengan jawaban itu.
“Kalian di rumah ini ngapain saja, hah?”
Nadanya mulai meninggi.
“Kalau sampai dia disakiti atau dipermalukan, dan kalian tidak tahu, berarti kalian tidak bekerja dengan benar.”
Kedua staf itu menunduk dalam. Salah satunya memberanikan diri bicara,
“Maaf, Tuan… kami benar-benar tidak tahu. Kami kira beliau hanya lelah belajar. Kami bahkan menyiapkan camilan agar semangatnya kembali.”
Aldric menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya.
“Kalau begitu, mulai sekarang pastikan kalian memperhatikan keadaannya. Jika terjadi sesuatu, kalian wajib melapor langsung padaku. Sekecil apa pun itu.”
“Baik, Tuan.” Jawab mereka serempak.
Aldric kembali ke ruang tengah.
Kepalanya penuh dengan tanya. Apa yang sebenarnya mengganggu Arlena?
Ia memutuskan… malam ini, ia akan bertanya langsung. Tapi dengan cara yang lebih lembut.
Malam hari.
Rumah sudah sepi. Hanya suara detik jam dan angin malam yang sesekali menyusup lewat celah jendela.
Aldric berdiri di depan pintu kamar Arlena.
Ia mengetuk perlahan, "Arlena?" panggilnya pelan.
Tak ada jawaban.
Perlahan, ia membuka pintunya.
Ruangan gelap, hanya cahaya lampu dari koridor menyinari sebagian wajah Arlena yang sudah tertidur pulas di atas ranjang, masih mengenakan seragam belajar.
Aldric melangkah masuk dengan sangat hati-hati.
Ia mendekat, memperhatikan wajah lelah Arlena.
“Kamu sudah terlalu keras pada dirimu sendiri…” bisiknya pelan.
Saat hendak menarik selimut, matanya menangkap sebuah buku kecil di samping bantal sebuah buku harian.
Ia awalnya ragu, tapi saat melihat lembarannya sedikit terbuka dan melihat namanya tertulis besar-besar, tangannya pun tak tertahan untuk membuka beberapa halaman.
“Aldric hari ini kembali memuji masakanku…”
“Kenapa Tuan Aldric begitu baik padaku?”
“Aku tahu ini salah, tapi sepertinya aku mulai menyukai Tuan Aldric…”
Aldric membalik halaman demi halaman, dan tak satu pun yang tidak menyebut namanya.
Entah dalam bentuk tanya, pujian… atau perasaan yang coba Arlena tekan dalam-dalam.
Ia menutup buku itu perlahan.
“Jadi… ini penyebabnya,” gumam Aldric.
Aldric berdiri diam sejenak.
Lalu ia menarik selimut, menutup tubuh Arlena dengan lembut.
“Kamu bodoh…” bisiknya nyaris tak terdengar.
“Tapi aku lebih bodoh, karena tidak menyadarinya lebih cepat.”
Ia melangkah keluar dari kamar, tapi malam ini, tidur Aldric tidak lagi tenang.
Pikirannya penuh tentang Arlena dan perasaan yang selama ini coba ia abaikan.
***
Mentari baru saja menembus jendela ketika Aldric sudah siap di meja makan, mengenakan kemeja putih dan jam tangan perak di pergelangan tangan kirinya.
Langkah Arlena terdengar dari arah dapur.
Ia tampak ceria seperti biasa, seolah tidak ada yang terjadi semalam.
Aldric menatapnya sekilas wajah datar.
Tak ada tanda bahwa ia mengetahui isi buku harian itu.
Ia sudah memutuskan satu hal penting: tidak boleh membuat Arlena terlena oleh perasaannya.
“Arlena.”
“Ya, Tuan?” Arlena mendekat dengan senyum kecil.
“Setelah sarapan, kamu ke pasar. Beli bahan-bahan ini.”
Aldric menyerahkan secarik kertas berisi daftar panjang.
“Baik, Tuan. Saya akan berangkat setelah menyajikan kopi Anda.”
Aldric hanya mengangguk singkat.
Tak ada tatapan lembut. Tak ada pujian. Semua kembali formal seperti awal.
Ada rasa aneh, dingin yang tiba-tiba kembali terasa. Tapi ia mencoba mengabaikannya.
Di dalam hati Aldric…
“Maaf, Arlena. Ini demi kebaikanmu. Aku harus tetap menjadi dinding, bukan jaring pengaman. Jika kamu terlalu nyaman, kamu tidak akan terbang.”
Pagi itu Arlena berjalan sendirian ke pasar.
Ia membawa daftar belanjaan dari Aldric, menggenggamnya erat sembari menikmati suasana pagi kota yang belum terlalu ramai.
Sesekali ia tersenyum kecil melihat ibu-ibu berdagang sayur atau anak kecil berlarian.
Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba saat dua sosok familiar berdiri menghadangnya di ujung gang pasar.
"Ryan? Dimas?" ucap Arlena pelan, wajahnya langsung memucat.
"Kamu pikir bisa sembunyi, hah?" bentak Ryan, menatap adiknya dengan penuh kemarahan dan amarah.
"Kamu harus bertanggung jawab!" tambah Dimas.
"Kamu pikir Semo nggak sakit hati karena batal nikah? Keluarga kita malu, Lena!"
“Aku nggak mau menikah dengan dia! Dia kasar, dan dia cuma mau uang!” Arlena mundur, menolak
Dimas mencengkeram lengan Arlena.
“Sudah cukup! Kamu akan ikut kami sekarang juga!”
“Lepaskan! Jangan sentuh aku!” Arlena meronta.
Orang-orang di pasar mulai memperhatikan, tapi takut untuk ikut campur.
Ryan langsung menutup mulut dan mata Arlena dengan sapu tangan basah.
“Jangan buat ribut, atau kau akan pingsan di sini juga,” bisiknya penuh ancaman.
Tas belanjaan Arlena jatuh ke tanah, bergulung hingga ke depan toko buah.
Buah-buahannya berhamburan, menarik perhatian beberapa orang.
Namun kedua kakaknya cepat menyeret Arlena masuk ke mobil hitam yang sudah menunggu di ujung gang sempit.
Tak seorang pun sempat menolong.
Di dalam mobil…
Arlena berusaha meronta, namun Ryan dan Dimas sudah mengikat tangan dan kakinya dengan tali tambang. Mulutnya masih tertutup kain. Matanya memerah, wajahnya ketakutan.
“Sebentar lagi kamu akan menikah dengan Semo. Kita sudah atur semuanya,” ucap Ryan dingin.
“Kamu pikir bisa seenaknya kabur? Kami yang memelihara kamu! Sekarang giliran kamu balas jasa!” bentak Dimas.
Arlena menangis dalam diam, tubuhnya gemetar hebat.
Sementara itu, di rumah Aldric…
Aldric duduk di ruang kerjanya, menatap layar komputer. Namun matanya terus melirik jam tangan.
“Sudah dua jam lebih… Kenapa Arlena belum pulang?”
Ia mencoba menghubungi ponsel Arlena. Nada sambung terdengar, tapi tak ada jawaban. Hingga akhirnya...
TRINGG…
Ponselnya berdering. Nomor tidak dikenal.
> “Halo?”
Suara dari seberang terdengar panik.
> “Permisi, ini ponsel milik wanita yang barusan diculik di depan pasar! Saya penjual buah. Dia diseret masuk mobil. Tasnya jatuh, ponselnya saya temukan di dalamnya!”
Wajah Aldric langsung berubah tegang.
> “Apa? Mobil apa? Plat nomornya?!”
“Saya sempat lihat… mobil hitam, platnya B 1832… saya nggak sempat lihat sisanya!”
Aldric berdiri dan menekan tombol interkom.
“Siapkan mobil. Aktifkan pelacakan CCTV kota. Dan kirim tim ke pasar sekarang!”
Matanya tajam. Napasnya berat.
> “Arlena… tunggu aku. Aku akan temukan kamu.”
Aldric sampai di pasar.
Dengan langkah cepat dan tatapan tajam, ia turun dari mobil SUV hitamnya.
Beberapa orang langsung menoleh, menyadari kehadiran pria yang begitu berwibawa dan tampak marah.
Ia berjalan langsung ke penjual buah yang tadi menghubunginya.
"Anda yang menelepon saya?"
Penjual itu mengangguk cepat, gugup melihat aura dingin Aldric.
"Iya, Pak, dia jatuh di depan sini. Ponselnya juga jatuh di antara buah jeruk itu. Saya sempat lihat dua pria seret dia ke mobil hitam, B 1832... itu saja yang saya ingat."
Aldric mengepalkan tangannya.
"Terima kasih. Tim saya akan datang untuk memeriksa CCTV di sekitar sini."
Tak lama, dua mobil lain datang. Anak buah Aldric turun dengan peralatan dan mulai memeriksa semua CCTV, toko sekitar, dan menanyakan saksi.
"Laporkan lokasi terakhir mobil itu terlihat. Segera." ucap Aldric dengan nada memerintah.
Salah satu stafnya menerima update dari pusat pelacakan.
"Tuan, mobil itu menuju ke arah pabrik tua di pinggiran kota. Sinyal terakhir terekam di dekat Gudang Semo Group."
"Semo?" Mata Aldric langsung menyipit.
"B***t."
"Siapkan senjata. Kita ke sana sekarang."