Arunika terjebak di dalam dunia novel yang seharusnya berakhir tragis.
Ia harus menikahi seorang Dewa yang tinggal di antara vampir, memperbaiki alur cerita, dan mencari jalan pulang ke dunia nyata.
Tapi... ketika perasaan mulai tumbuh, mana yang harus ia pilih—dunia nyata atau kisah yang berubah menjadi nyata?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Sebuah Petunjuk
"Tolooooong!"
Teriakan itu memecah kesunyian malam. Pangeran Pertama Mark yang tengah duduk membaca buku tentang pertahanan sihir di ruang dalam, sontak berdiri dan menjatuhkan bukunya.
"Arunika!"
Tanpa pikir panjang, ia berlari menyusuri lorong menuju kamar mereka. Napasnya memburu, jantungnya berpacu lebih cepat dari langkah kakinya.
Begitu sampai di depan kamar mandi, ia mendobrak pintu tanpa ragu.
"Arunika!" serunya keras.
Uap air memenuhi ruangan, dan dari balik kolam mandi, tampak Arunika yang tubuhnya gemetar, berselimut handuk, matanya masih terbelalak karena syok. Ia menunjuk ke arah tirai uap yang perlahan tersibak oleh angin.
"Ada...ada orang... dia... dia masuk ke sini!" katanya terbata.
Mark segera menghunus belatinya yang selalu terselip di pinggangnya. Ia melangkah pelan ke arah yang ditunjuk Arunika, waspada. Namun saat tiba di sana tak ada siapa-siapa. Hanya suara tetesan air dan angin yang terasa asing dinginnya.
Mark menoleh cepat ke arah Arunika. "Apa kau melihat wajahnya?"
Arunika menggigit bibir, lalu mengangguk pelan. "Matanya mirip kamu. Tapi dia bukan kamu. Rasanya seperti Mark yang lain."
Mark diam, ekspresinya mengeras. "Kalau begitu, sepertinya kita tak sedang berdua di dunia ini. Mungkin ada yang mulai menembus batas dunia yang dulu dan yang sekarang."
Ia menatap istrinya dengan penuh kekhawatiran, lalu menariknya dalam pelukan hangat. "Maaf aku terlambat mulai sekarang aku tak akan jauh darimu lagi, Aru."
****************
POV Pangeran Pertama
Teriakan itu membelah malam.
Jantungku serasa berhenti. Aku langsung bangkit dari kursi, buku tentang pertahanan sihir terlempar begitu saja ke lantai. Tak perlu berpikir dua kali—aku tahu itu suara Arunika.
"Arunika!" teriakku, setengah berlari menyusuri lorong.
Langkahku bergema keras di sepanjang dinding batu. Nafasku memburu, tapi yang kutahu hanya satu hal: aku harus segera sampai padanya.
Pintu kamar mandi sedikit terbuka, dan tanpa ragu, aku menendangnya hingga terbuka penuh.
"Arunika!"
Uap panas menyelimuti ruangan, tapi udara di dalam aneh. Terlalu dingin. Terlalu sunyi. Seperti ada sesuatu yang tak kasat mata tengah mengawasi.
Aku menemukannya duduk gemetar di tepi kolam, hanya berselimut handuk. Matanya membelalak, tubuhnya menggigil hebat. Aku segera menghampiri.
"Ada... ada orang.." katanya pelan, nyaris seperti bisikan. "Dia masuk ke sini."
Mataku langsung menatap ke arah yang ia tunjuk. Belati di pinggangku kutarik, dan aku melangkah pelan ke balik tirai uap yang masih menggantung di udara. Tapi tidak ada siapa pun.
Hanya suara tetesan air, dan rasa dingin yang menusuk tulang.
Kutatap Arunika lagi. "Kau lihat wajahnya?"
Dia mengangguk pelan. Bibirnya gemetar saat berkata, "Matanya seperti punyamu. Tapi dia bukan kamu. Rasanya seperti melihat kamu tapi bukan kamu. Ada kegelapan di dalamnya."
Darahku seketika dingin. Kata-katanya menghantam keras ke dalam pikiranku. Seperti gema dari masa yang tak ingin kuingat. Seperti bayangan yang seharusnya tak kembali.
"Aku datang untuk menjemput apa yang jadi milikku," ucapnya, mengulang kata-kata sosok itu. Suaranya nyaris patah.
Kupeluk dia erat. Kudekap dia seakan ingin memindahkan jiwaku ke dalam tubuhnya. "Maaf aku terlambat Aku janji, Aru. Aku tak akan meninggalkanmu sendirian lagi. Tidak sekarang. Tidak pernah."
Tapi di dalam diriku, ada sesuatu yang bergerak. Sebuah kecurigaan yang tak bisa kuabaikan.
Kalau sosok itu mirip denganku siapa dia sebenarnya?
Dan lebih penting lagi
Apa yang sebenarnya dia inginkan dari Arunika?
Malam itu aku duduk sendirian di sudut balkon istana, membiarkan udara dingin memukul wajahku. Setelah kejadian di kamar mandi tadi malam wajah asing itu, matanya yang mirip denganku, kata-katanya aku tahu ini lebih dari sekadar ilusi.
Ada sesuatu yang mulai bangkit.
Pagi harinya, aku memanggil Joshua, adik keduaku, Pangeran Kedua. Dia satu-satunya yang selalu memperhatikan catatan-catatan ayah kami, Raja Sakha, dan rahasia-rahasia kerajaan yang disembunyikan di bawah tanah istana.
"Aku rasa... ini bukan hanya gangguan biasa," kataku sambil menatap mata Joshua. "Dia menyerupai aku. Tapi bukan aku. Rasanya seperti... bagian yang terlepas dari diriku."
Joshua diam sebentar. Lalu ia menarik napas. "Kau tahu, sebelum Ayah menghilang beliau menitipkan padaku sebuah peta—bukan sembarang peta, tapi potongan dari gulungan warisan lama. Ia bilang itu hanya boleh dibuka saat batas antara dunia ini dan bayangan mulai retak."
Mataku membelalak. "Dan kau menyimpannya selama ini?"
Joshua mengangguk. "Karena aku tahu akan ada saatnya kita membutuhkannya."
Kami pergi ke ruang bawah, ke dalam perpustakaan rahasia yang hanya bisa dibuka dengan darah keturunan Sakha. Joshua menempelkan telapak tangannya pada segel pintu batu, dan ukiran di permukaan mulai bercahaya merah.
Begitu pintu terbuka, kami masuk ke ruang berisi peninggalan tua. Di sana, tersimpan sebuah peti kayu hitam dengan simbol kerajaan yang diputar terbalik.
Joshua membukanya. Di dalamnya, gulungan lusuh yang terbungkus kain merah tua.
"Jika bayangan itu akan datang, maka darah akan diuji. Anak sulungku, jika kau membaca ini...maka waktunya telah tiba. Aku tidak hilang. Aku berjalan di antara dua dunia, menjaga batas agar tidak pecah. Tapi sesuatu telah berubah... dan bayangan itu mulai menyadari dirinya sendiri."
Tanganku bergetar.
Joshua menatapku lekat. "Apa kau mengerti maksudnya?"
Aku menatap kosong ke arah jendela, angin bertiup masuk membawa aroma tanah dan embun. Lalu aku menjawab pelan, "Dia tak hanya menghilang. Ayah masuk ke Dunia Bayangan. Dunia yang dulu hanya jadi legenda di antara para penjaga sihir kerajaan."
Joshua mengangguk pelan. "Dan dia meninggalkan petunjuk untukmu."
Aku mengepalkan surat itu, lalu bangkit. "Kita harus pergi ke tempat itu. Tempat di mana batas dunia tipis, tempat terakhir Ayah terlihat oleh penjaga. Jika bayangan mulai sadar, maka dunia ini dalam bahaya."
Joshua tersenyum tipis, penuh tekad. "Kapan kita berangkat?"
Aku menatap ke langit timur. Matahari baru saja muncul, merah keemasan.
"Sekarang."
Langkah kami terhenti oleh suara berat yang datang dari belakang.
"Taa... pi Pangeran Pertama," ujar penasihat tua, Madyan, yang entah sejak kapan telah berdiri di ambang pintu lorong rahasia,"Kita tidak boleh gegabah, dalam mengambil keputusan. Tempat itu sangat berbahaya dan yang mulia putri Arunika sekarang sedang mengandung, Maksud saya, dalam tradisi Sandyakala jika seorang istri yang mengandung darah keturunan keluarga kerajaan. Maka sang suami harus mendampinginya."
Aku terdiam.
Ucapan Madyan seperti mengguncang pikiranku yang mulai larut dalam ketegangan petualangan. Arunika. Aku belum sempat mengatakannya padanya—tentang gulungan ini, tentang bayangan yang menyerupai diriku, tentang kemungkinan darah Umbra yang kembali bangkit. Dan sekarang dia sedang mengandung anak kami pewaris tahta.
Joshua menunduk. "Benar kakak pertama, Tapi kalau kita tidak bergerak maka bayangan gelap itu akan datang."
Aku mendesah panjang, menggenggam gulungan itu erat. Antara tanggung jawab sebagai suami dan tanggung jawab sebagai putra Raja Sakha.
"Tapi aku tidak bisa membiarkan Arunika menghadapi bahaya ini tanpa tahu apapun," gumamku.
Joshua tersenyum samar.
"Kalau begitu, mari kita lindungi dua dunia ini, mulai dari cara kita masing-masing."
Ia berbalik, melangkah keluar lorong dengan langkah ringan namun mantap. Apakah aku harus curiga padanya?
Dan aku melangkah menuju kamar Arunika, untuk menghadapi kenyataan yang tak kalah penting, bahwa sebelum aku bisa menyelamatkan dunia, aku harus jujur pada orang yang paling kucintai—tentang siapa aku sebenarnya dan apa yang mungkin sedang memburunya dari balik bayangan.
****************
Pagi itu langit mendung, seolah tahu bahwa sesuatu yang besar akan terungkap hari ini. Bersama Joshua, aku kembali menuruni lorong batu tua menuju ruang rahasia peninggalan Raja Sakha. Di tanganku masih tergenggam gulungan warisan yang kami temukan semalam—tapi ternyata, itu bukan satu-satunya.
Joshua menunjukkan sebuah peti lain, tersembunyi di balik dinding yang baru terbuka setelah kami menyebut nama Arunika di depan ukiran segel batu.
"Ini tidak muncul kemarin," gumam Joshua.
Aku mengangguk, merasa firasatku semakin kuat. Kami membuka peti itu bersama. Di dalamnya, satu catatan terikat kulit naga tua, dengan segel lilin kerajaan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Simbolnya bukan lambang Sakha biasa melainkan tiga lingkaran yang saling berpotongan.
Joshua membuka gulungan itu, dan kami membaca pelan-pelan bersama, suara kami menyatu dengan gema ruang batu:
"Di antara bayangan dan cahaya, hanya tiga darah yang mampu mengubah takdir dunia. Darah Sakha, darah Seraphine, dan darah Umbra."
Aku dan Joshua saling pandang.
"Seraphine?" tanyaku.
Joshua mengangguk perlahan. "Itu nama garis keturunan Arunika."
Aku merasakan jantungku berdebar lebih keras. Lalu kami lanjut membaca:
"Sakha menjaga batas, Seraphine menyegel kehendak langit, dan Umbra darah yang dibuang. Jika ketiga darah kembali bertemu di bawah langit yang retak, dunia akan dipaksa memilih terang atau kegelapan."
Tenggorokanku tercekat.
"Umbra," bisikku. "Bayangan yang mengingat dia mungkin berasal dari garis Umbra."
Joshua menatapku serius. "Kalau begitu, ini lebih dari sekadar ancaman pribadi. Ini peperangan lama yang terulang. Dan darahmu, darah Arunika keduanya terikat di takdir yang jauh lebih besar."
Aku menggenggam lengan Joshua.
"Kita harus temukan garis keturunan Umbra sebelum dia menemukan kita lebih dulu."
Joshua mengangguk. "Dan sebelum langit benar-benar retak."
Aku menatap gulungan itu lagi, rasanya seperti menatap nasib yang belum kutahu akhirnya. Tapi satu hal pasti: pertarungan ini bukan hanya tentang keluarga kami. Ini tentang dunia dan tiga darah yang mulai bangkit dari bayangannya.
...****************...
Dicerita aslinya Putri Arunika di bantai dan di kejar setelah kehilangan calon bayinya, sehingga ia bersembunyi di tempat yang tak pernah bisa di temukan siapapun termasuk suaminya sendiri. Setelah bersembunyi Sang Putri Arunika kembali di pertemukan oleh suaminya lagi. Setelah bertahun-tahun dan beberapa kali mengalami keguguran. Arunika mulai merasakan dan meragukan suaminya sendiri. Sehingga membuat hubungan mereka merenggang di saat itulah musuh mulai menyerang di saat yang tepat ketika mereka lemah. Dan kali ini itu tak akan terjadi Arunika sudah mengubahnya jauh menjadi lebih baik dari sebelumnya yang terlibat konflik kini ia merasa di lindungi. Di lindungi oleh musuh.
Ceritanya juga keren, semangat terus ya. 😉