NovelToon NovelToon
Tinta Darah

Tinta Darah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Mengubah Takdir / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Mengubah sejarah / Keluarga / Persahabatan
Popularitas:466
Nilai: 5
Nama Author: Permenkapas_

terlalu kejam Pandangan orang lain, sampai tak memberiku celah untuk menjelaskan apa yang terjadi!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Permenkapas_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Curiga yang tak beralasan

“Siapa lelaki tadi?” tanya Bara sesaat setelah kedua teman Oline pulang.

Oline terkejut, karena tanpa suara Bara sudah berada tepat di belakangnya.

“Namanya Devanka, teman kelasku,” jawab Oline sambil berlalu pergi membawa buku-buku yang sudah ia bereskan.

Bara menyusul Oline ke kamarnya.

“Kamu tidak curiga kepadanya?”

Oline terdiam, dia tampak berpikir. Kemudian dia menggeleng setelah beberapa saat mereka terdiam dengan pikiran masing-masing.

“Apa yang harus dicurigai dari dirinya?” tanya Oline balik.

“Kau melihat dia memakai hodi warna apa?”

“Hitam.”

“Apa jangan-jangan kamu mencurigainya karena dia memakai hodi hitam?” lanjut Oline.

“Iyups ....” jawab Bara cepat.

“Ayolah ... di dunia ini hodi hitam bukan hanya satu, banyak yang memakainya.”

“Hey, dengar makhluk kecil. Aku mencurigainya bukan hanya karena dia memaki hodi hitam. Tetapi karena gerak-gerik dan sorot matanya!”

Bara hendak keluar dari kamar Oline, tetapi Oline mencegahnya.

“Ada apa?”

“Hem ... dari mana kamu bisa tau kalau selama ini aku sering di awasi?”

Bara gelagapan, dia tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan telak dari Oline.

Bara memutar otak, mencari alasan dari pertanyaan Oline yang menyudutkannya.

Oline menatap Bara secara intens, dia menunggu kalimat apa yang akan terlontar dari mulut sang paman.

“Jangan melihatku seperti itu.”

“Baiklah, tetapi jawab dulu pertanyaanku,” desaknya.

Bara menghembuskan nafas perlahan.

“Selama ini aku juga mengintaimu,” ungkapnya jujur.

Oline terlonjak.

“Kenapa?”

“Tentu saja untuk melindungimu dari orang-orang yang ingin menyakitimu! Apa lagi?” jawabnya tak sabar.

“Lalu tentang kematian Ibu Hesti?” tanyanya ragu-ragu.

“Aku yang melakukannya.”

Oline syok mendengar kalimat yang baru saja lolos dari mulut pamannya, dia marah dan tak menyangka pamannya akan melakukan hal sekeji itu kepada orang lain.

“Berarti Zola ....”

“Hey, tahan kalimatmu!” tegasnya.

“Aku memang berniat untuk menghabisi Zola, tetapi sebelum aku melakukan aksiku,” Bara menjeda kalimatnya.

Oline bagai dihantam godam, dadanya sesak mendengar semua kenyataan itu, tak terasa air matanya mulai luruh membasahi pipi mulusnya.

“Sebelum aku mengeksekusi Zola, ada seseorang yang lebih dulu memutilasinya.” bebernya kepada Oline.

Kedua lutut Oline lemas, dia tak mampu menopang badannya, dia jatuh terduduk di depan Bara. Melihat itu Bara juga ikut duduk di depan Oline.

“Kita sama-sama memiliki hasrat yang besar untuk membunuh Oline. Bedanya, kau menahan hasrat itu sendiri dan melampiaskan kepada dirimu. Sedangkan aku tidak bisa sepertimu.”

“Saat ibu tua itu menyakitimu, hasrat itu timbul dan semakin lama semakin besar, sehingga aku melampiaskannya kepada dia yang telah berani menyakitimu,” jelasnya.

“Kenapa harus membunuhnya?”

“Karena itu takdir kita.”

Oline menggeleng cepat.

“Kau menentang takdir yang telah Tuhan berikan kepada kita Oline. Kau dan ayahmu ... tetapi lambat laun semua akan kembali kepada takdir yang telah Tuhan tetapkan. seperti ayahmu, dia sangat menentang kebiasaan keluarga tetapi pada akhirnya dunia menghukumnya hingga dia kembali pada jati dirinya.”

“Tidak! Aku telah bersumpah untuk tidak menjadi seperti ayah, itu berarti aku juga tidak ingin menjadi sepertimu juga!”

“Apa kau tahan menahan hasrat yang sering muncul secara tiba-tiba? Apa kau sanggup menahannya? Teriakan? Darah? Dan keinginan? Kenapa kau menyakiti mentalmu sendiri? Ikuti saja takdir yang sudah Tuhan tetapkan untuk kita, untuk keluarga kita dan jangan menentang!”

Oline menutup kedua telinganya rapat-rapat, dia terisak.

“Pergi! Aku mohon pergilah, biarkan aku sendiri,” ucapnya mengiba.

Bara beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Oline seorang diri. Di kamarnya, Oline menangis sejadi-jadinya dia tak menyangka bahwa pamannya juga memiliki kebiasaan itu. Apakah hasrat itu tidak bisa hilang? Meski dia dilahirkan dalam keluarga psikopat? Bisakah dia hidup normal tanpa ada keinginan yang besar untuk membunuh seseorang?

Oline memegang dadanya, rasanya sesak di dalam sana. Dia tidak pernah menyesal di lahirkan dalam keluarga itu, yang dia sesalkan kenapa dia memiliki hasrat yang sama dengan keluarganya.

Pagi itu di sekolah Vanya terlihat murung seperti kemarin di rumah Oline, awalnya Vanya tidak mau bercerita tetapi karena Oline mendesak akhirnya ia menceritakan semuanya kepada Oline.

“Aku diteror,” ucapnya memulai cerita.

“Teror?” tanya Oline, dia mengulang kalimat Vanya memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar.

Vanya mengangguk sambil mengeluarkan sebuah kotak di dalam tas nya, Oline melihat barang-barang di dalam kotak berwarna merah darah tersebut. Terdapat sebuah boneka kecil yang menyeramkan seperti boneka santet tetapi ini boneka ini di penuhi dengan darah yang sudah mengering, sebuah silet dan juga foto Vanya yang terdapat tulisan 'mati' di bawahnya.

“Itu kemaren, dan tadi aku juga mendapatkan kiriman lagi.”

“Apa?” tanya Oline antusias.

“Kelinci yang sudah termutilasi,” jawabnya takut.

Vanya menangis histeris, Oline langsung sigap memeluknya menyalurkan ketenangan. Vanya menangis kesegukan dipelukan Oline. Oline mencoba menenangkannya, memberinya waktu untuk meluapkan ketakutannya sampai dia merasa tenang.

“Aku—aku tidak punya salah Oline, aku merasa tidak menggangu siapapun, tetapi kenapa teror itu terjadi kepadaku?”

“Mungkin ada orang yang iseng,” jawabnya menenangkan Vanya sambil mengusap pundaknya.

Vanya menggeleng.

“Gak mungkin ini hanya orang iseng, jelas-jelas ini teror!”

“Iya Vanya aku mengerti.”

“Lebih baik kamu tenang dulu ya, nanti kita cari tahu siapa yang telah menerormu,” ucap Oline meyakinkan.

Hari itu kegiatan belajar-mengajar berjalan dengan biasanya. Bedanya sepanjang hari Vanya terlihat murung apa lagi di saat mempresentasikan tugas kelompok yang kemaren, Vanya merasa tertekan, dia ketakutan dan Oline mengerti perasaannya itu.

Di rumah, Oline menceritakan semuanya kepada Bara, tentang kejadian di sekolahnya sampai teror yang dialami oleh Vanya.

“Mungkin ....”

“Devanka?” tanya Oline menyelidik.

“Bener.” jawab Bara cepat.

Oline memicingkan matanya melihat Bara, menandakan ia tidak suka dengan dugaan Bara ya g selalu saja tentang Devanka.

“Aku hanya menerka-nerka.”

Oline bergegas kembali ke kamarnya dan tak menghiraukan panggilan Bara.

Dia masih termenung, Oline tak habis pikir dengan apa yang Bara duga, dia tidak menyangka bahwa pamannya bisa menduga Devanka, menurut Oline, Devanka memang lelaki pendiam dan misterius tetapi bukan berarti dia yang melakukan teror itu kepada Vanya.

“Untuk apa Devanka melakukan itu?” tanyanya berdialog sendiri.

“Jika memang Devanka melakukan itu, kenapa dia tidak melakukan aksinya dari dulu? Kenapa baru sekarang?”

Oline mondar-mandir mencari jawabannya sendiri, kepalanya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang entah kapan akan menemukan jawabannya.

Bahkan untuk masalah lelaki berhodi itu belum selesai, kini muncul masalah baru tentang teror yang menghantui teman kelasnya. Dia tidak habis pikir, apa motif peneror tersebut? Kenapa meneror Vanya yang jelas-jelas menurut Oline Vanya tidak melakukan kesalahan apapun. Atau mungkin orang itu hanya iseng saja? Tetapi itu terlalu parah sampai mengirim bangkai kelinci yang sudah termutilasi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!