Alya adalah gadis mandiri yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Hidupnya sederhana namun bahagia, hingga suatu hari ia harus menghadapi kenyataan pahit, ayahnya terlilit utang besar kepada seorang pengusaha kaya, Dimas Ardiansyah. Untuk melunasi utang itu, Dimas menawarkan satu-satunya jalan keluar—Alya harus menikah dengannya. Masalahnya, Dimas sudah memiliki istri.
Dengan hati yang terpaksa dan demi menyelamatkan keluarganya, Alya menyetujui pernikahan itu dan menjadi madu. Ia masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang dingin, penuh rahasia, dan ketegangan. Istri pertama Dimas, Karin, wanita anggun namun penuh siasat, tidak tinggal diam. Ia menganggap Alya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.
Namun di balik sikap dingin dan keras Dimas, Alya mulai melihat sisi lain dari pria itu—luka masa lalu, kesepian yang dalam, dan cinta yang belum sempat tumbuh. Di tengah konflik rumah tangga yang rumit, kebencian yang mengakar, dan rahasia besar dari masa lalu,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11
Hari itu, Alya sedang duduk di halaman "Rumah Cahaya", membantu seorang gadis kecil mengeja kata “perempuan”.
Suara langkah pelan terdengar mendekat. Ketika Alya menoleh, ia melihat seorang perempuan paruh baya berdiri ragu-ragu di gerbang. Di sampingnya, seorang anak perempuan sekitar tujuh tahun, mengenakan gaun merah muda lusuh tapi wajahnya bersih, matanya tajam.
Alya berdiri.
"Selamat siang. Bisa saya bantu?" tanyanya lembut.
Perempuan itu menunduk sopan. “Maaf, ini Rumah Cahaya, ya? Tempat Bu Alya?”
“Iya, betul. Saya Alya.”
Wanita itu menatap sang anak lalu kembali menatap Alya. “Anak ini… katanya mau bertemu dengan Anda. Katanya namanya Aira. Katanya… dia anak Pak Dimas.”
Dunia Alya berhenti berputar.
Aira menatap Alya tajam, matanya penuh kewaspadaan, tapi bukan takut. Justru... seperti mengenali.
“Aku Aira,” katanya tegas. “Mama udah nggak ada. Tapi aku tahu dari surat di lemari. Papa aku… namanya Dimas.”
Alya perlahan mendekat. Tubuhnya limbung. “Siapa… ibumu, Aira?”
“Namanya Kartika. Katanya dulu dia pernah kerja buat papa. Tapi mereka nggak pernah nikah. Cuma... aku anaknya. Aku tahu papa aku udah nggak ada. Tapi… aku mau kenal orang yang pernah dekat sama papa.”
Dan Alya seketika bungkam..
Sore harinya.
Alya duduk di ruang tamu, surat di tangannya. Tulisan tangan Kartika, sederhana tapi penuh kejujuran.
“Untuk siapa pun yang menemukan ini,
Jika aku tak sempat menjelaskan kepada Aira, tolong sampaikan bahwa ayahnya bukan orang jahat. Kami memang tidak menikah. Tapi Dimas pernah datang ke hidupku sebagai cahaya sebentar. Dan Aira adalah cahaya dari pertemuan itu.
Aku tidak pernah menuntut. Tapi anak ini berhak tahu dari mana ia berasal.”
Alya membaca berulang-ulang. Matanya berlinang. Rey duduk di sampingnya, tangan menggenggam jemarinya yang dingin.
"Kenapa dia nggak pernah bilang...?" bisik Alya.
Rey diam sejenak. “Mungkin dia malu. Mungkin dia pikir, sudah terlalu banyak kesalahan yang dia buat.”
Alya mengangguk perlahan. Lalu menatap ke luar, tempat Aira sedang membaca buku sendirian di ayunan kayu.
"Aku nggak tahu harus bersikap gimana. Tapi aku juga nggak bisa cuek."
"Ikuti hatimu, Alya," kata Rey lembut. "Seperti kamu selalu lakukan."
Hari-hari berikutnya.
Aira tinggal sementara di rumah kecil itu. Ia cerdas. Peka. Tapi jarang bicara banyak. Alya merasa seperti melihat bayangan kecil Dimas dalam ekspresinya yang tenang dan dalam caranya menyendiri.
Setiap malam, Aira menulis di buku kecil. Hingga suatu malam, Alya tak sengaja melihat tulisan Aira yang tertinggal di meja:
"Aku tahu tante Alya bukan mama aku. Tapi aku senang di sini. Aku cuma nggak tahu… aku boleh sayang tante nggak, kalau papa pernah nyakitin tante."
Alya menahan napas.
Kata-kata itu menusuk lebih dari luka apa pun.
Malam berikutnya.
Alya mengetuk pintu kamar Aira. Gadis kecil itu sedang duduk, memeluk bantal.
“Aira…” Alya duduk di sampingnya. “Boleh tante cerita sedikit tentang papa kamu?”
Aira mengangguk pelan.
“Papa kamu dulu orang yang rumit. Kadang dia nggak tahu cara menunjukkan cinta. Tapi dia pernah mencoba. Kadang gagal. Tapi dia tetap mencoba.”
“Apakah tante benci papa?”
Alya tersenyum kecil, tapi matanya berkaca. “Dulu, iya. Tapi sekarang? Nggak. Karena kalau aku tetap benci, aku nggak bisa sayang sama kamu.”
Aira menunduk. Lalu perlahan, tubuh mungilnya menyandar ke bahu Alya. “Boleh aku panggil tante… Bunda?”
Alya mengusap rambutnya. “Boleh. Tapi cuma kalau kamu yakin.”
Aira mengangguk. “Aku yakin. Karena aku ngerasa aman.”
Beberapa minggu berlalu.
Alya mulai mendaftarkan Aira ke sekolah. Rey ikut membantu mencarikan psikolog anak untuk memastikan Aira bisa tumbuh dengan sehat secara emosional.
Hubungan mereka bertiga mulai terasa seperti keluarga. Bukan karena Rey dan Alya pacaran. Tapi karena kehadiran Aira membawa sesuatu yang lebih besar: keutuhan yang tumbuh dari kejujuran dan kasih.
Suatu malam.
Rey dan Alya duduk di balkon, mengawasi Aira yang tidur di dalam.
Rey menatap bintang. Lalu berkata lirih,
“Aku mungkin belum siap menikah, Alya. Tapi aku siap jadi bagian dari hidup kalian.”
Alya tersenyum.
“Aku juga belum siap janji seumur hidup. Tapi aku siap berjalan hari demi hari, dan lihat apakah jalan kita tetap sama.”
Masa lalu tak bisa dihapus. Tapi bisa dimaknai ulang. Alya kini tak hanya mencintai Rey, atau memaafkan Dimas. Ia mencintai kehidupan… yang datang dengan bentuk tak terduga: seorang anak perempuan yang mengajarkannya bahwa luka bisa menumbuhkan rumah, bukan hanya kesedihan.
*
Satu pagi yang biasa berubah jadi mimpi buruk.
Rey sedang menjemput Aira dari sekolah ketika Alya menerima pesan dari temannya di media,
“Alya, kamu harus lihat ini. Nama kamu disebut di YouTube dan TikTok. Judulnya: ‘Rahasia Anak Haram Dimas Pratama dan Mantan Istrinya yang Jadi Aktivis Perempuan.’”
Tangan Alya gemetar. Ia membuka video itu.
Cuplikan foto Dimas, Alya, tangkapan layar akun Rumah Cahaya, bahkan gambar wajah Aira saat sedang bermain di taman. Suara narator mengomentari seolah tahu segalanya.
“...Kini wanita ini mengasuh anak dari hasil hubungan gelap suaminya sendiri. Apakah ini balas dendam? Atau pencitraan untuk proyek sosialnya? Netizen, apa pendapat kalian?”
Komentar penuh dengan kebencian. Fitnah. Bahkan ancaman.
Hari itu juga, telepon Alya tak berhenti berdering.
Media. Organisasi yang dulu mendukungnya. Bahkan sponsor kecil untuk Rumah Cahaya ikut mempertanyakan posisi mereka.
Lebih buruk lagi, sebuah surat resmi datang ke rumahnya:
> Permintaan hak asuh darurat atas Aira Prameswari Pratama, diajukan oleh Fauzan Pratama, adik kandung almarhum Dimas Pratama.
Alya membaca surat itu dengan kepala berat.
“Ini… ini gila,” desahnya. “Aku bahkan belum punya hak legal atas Aira. Aku cuma wali sementara.”
Rey, yang baru tiba bersama Aira, langsung mengepalkan tangan.
“Dia saudara Dimas yang selama ini tinggal di luar negeri, bukan? Yang dulu sempat masuk rehab karena narkoba?”
“Ya. Tapi dia pakai nama keluarga untuk menuntut.”
Hari-hari berikutnya berubah jadi kabut.
Alya harus bolak-balik ke Lembaga Perlindungan Anak. Wawancara. Verifikasi. Sementara itu, Aira mulai menarik diri. Ia menyadari bahwa dirinya adalah pusat dari badai yang tak ia mengerti.
“Aku… bikin masalah, ya, Bunda?” bisik Aira satu malam.
Alya menahan air mata. “Kamu nggak pernah jadi masalah. Kamu adalah alasan kenapa Bunda bangun pagi dan terus bertahan.”
Sidang perdata pertama.
Pengadilan ramai. Media berkumpul di luar. Alya menggenggam tangan Rey erat-erat.
Fauzan berdiri di hadapan hakim. Wajahnya rapi, seolah lelaki terhormat. Tapi matanya penuh siasat.
“Saya hanya ingin keponakan saya punya masa depan jelas. Dia bukan anak sah. Tak ada akta yang mengakui ayahnya. Wanita ini hanya mantan istri kakak saya, bukan ibu kandung. Dia tak punya hak mengasuh.”
Jaksa keluarga mengangguk. “Kita perlu bukti ikatan emosional, bukan sekadar belas kasihan.”
Alya maju ke mimbar.
Dengan suara tenang, ia berkata:
“Saya bukan ibu kandung Aira. Tapi saya adalah orang pertama yang menjawab ketika dia mengetuk. Saya adalah orang yang menyisir rambutnya setiap pagi, menggendongnya saat demam, dan membaca doa sebelum dia tidur. Saya bukan darahnya. Tapi saya rumahnya.”
Ruangan hening.
Malam sebelum sidang lanjutan.
Alya duduk sendiri di teras. Rey mendekat, duduk di sampingnya.
“Kamu tahu, aku nggak pernah lihat kamu sekuat ini,” katanya.
Alya menghela napas. “Aku takut, Rey. Takut kehilangan Aira. Takut... semua ini berakhir.”
Rey menggenggam tangannya. “Kalau kamu kalah, aku akan bantu kamu naik lagi. Tapi aku janji, kamu nggak akan berjalan sendiri.”
Alya menatapnya. Dan untuk pertama kali, tanpa ragu, ia bersandar dalam dekapan Rey. Bukan karena lemah. Tapi karena tahu… bersama, mereka lebih kuat.
Hari penentuan.
Hakim membacakan putusan: hak asuh sementara tetap pada Alya, sambil menunggu hasil pengujian psikologis lanjutan dan pembuktian stabilitas dari pihak Fauzan.
Alya tidak menang sepenuhnya. Tapi ia juga tidak kalah.
Ia diberi waktu enam bulan untuk membuktikan bahwa ia adalah pilihan terbaik untuk Aira.
Dalam dunia yang menilai dari nama keluarga dan status darah, Alya berdiri membuktikan bahwa cinta dan keberanian bisa menjadi alasan yang sah untuk disebut ibu. Dan Rey — bukan sebagai pahlawan, bukan sebagai penyelamat — tetapi sebagai lelaki yang memilih bertahan dalam badai… hanya agar Alya tahu: ia tidak sendiri.