NovelToon NovelToon
Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen

Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Mafia / Reinkarnasi / Fantasi Wanita
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: Anayaputriiii

"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 Identitas Raffa

"Raffa, apa kamu sudah membersihkan ruang aula? Nanti akan ada pertemuan dengan semua dewan direksi."

Raffa yang sedang mengepel lantai tiga diberi perintah oleh Pak Herman.

"Oh, baik, Pak. Sebentar lagiakan saya bersihkan." Raffa tersenyum tipis usai menjawab.

"Emm, bagaimana hubunganmu dengan Hanin? Apa kalian sudah merasa ada kecocokan?"

Pak Herman bertanya bukan sekadar untuk berbasa- basi, melainkan karena rasa penasarannya akibat ucapan Arya tempo hari.

"Alhamdulillah. Kami merasa sudah sama- sama cocok. Sepertinya kami memang ditakdirkan berjodoh melalui Anda," jawab Raffa yang membuat wajah Pak Herman berseri.

"Aku bahagia kalau memang kalian cocok. Tidak sia- sia aku memilih kamu. Soalnya aku kasihan sama Hanin, Fa. Dia selalu direndahkan dan dibanding- bandingkan sama adiknya."

Pak Herman menekan bibirnya. Pandangannya menatap jauh ke depan.

"Kenapa Bapak bisa tahu?' Satu alis Raffa terangkat.

"Anak saya, si Arya, pacaran sama Lisna. Lisna itu adiknya Hanin. Adik iparmu juga sih sekarang. Waktu aku ke rumahnya untuk mendampingi Arya melamar Lisna, Hanin selalu direndahkan

sama ibu dan adiknya. Kasihan dia..." Pak Herman berdecak.

"Padahal, yang aku dengar dari pengakuan Pak Abdul, Hanin bekerja setelah lulus SMA. Dia rela tidak kuliah untuk membantu membiayai kuliah Lisna. Tapi, sekarang nasibnya malah tidak beruntung," imbuh Pak Herman.

Ia sangat menyayangkan hal itu. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan selain memberi rasa prihatin.

Raffa terkekeh pelan. "Tidak perlu prihatin sama istri saya, Pak .Sebab, saya pasti akan membuatnya bahagia. Bahkan, kebahagiaan yang akan saya berikan nanti akan membuat kalian syok, tukasnya.

"Eh? He he he. Aku gak bermaksud begitu, Raffa. Aku hanya kasihan. Kamu pasti pahamkan?"

"Iya, saya paham. Kalau gitu saya langsung ke aula saja, Pak. Permisi," pamit Raffa.

"Ohh... iya iya, baiklah!"

Raffa menarik satu sudut bibirnya. Seringai tipis yang ia tunjukkan tampak mengerikan,jika saja ada orang yang menyadarinya.

Pak Herman menghela napas. Saat hendak masuk ke ruangan, ponselnya berdering. Ia lantas merogoh saku celana dan melihat layar yang menampakkan nama Arya di sana.

"Halo, Arya? Kenapa kamu nelpon di jam kerja begini?" protes Pak Herman.

Terkadang ia kesal dengan sikap Arya yang tak tahu waktu. Namun, setiap kali menegur istrinya alkan selalu menjadi garda terdepan untuk putranya itu. Meski terkadang apa yang dilakukan Arya adalah hal yang salah.

"Pa, tranfer aku uang sepuluh juta," pinta Arya tiba- tiba.

"Sepuluh juta? Mau kamu buat apa uang sebanyak itu?!" Pak Herman bergegas menutup pintu ruangan. Sebab, tak ingin ada orang yang mendengar obrolannya.

"Buat nebus obat kulitnya Lisna, Pa. Kulit wajahnya rusak gara- gara aku mesenin paket skincare palsu,' terang Arya yang membuat kepala Pak Herman berdenyut.

"Kalian ini bagaimana, sih!

Terus kenapa juga kamu harus minta sama papa? Memangnya kamu gak punya uang?

"Gak ada, Pa." Arya tertawa seperti tak punya dosa.

"Astaga, Arya ... kamu ini gimana, sih? Usaha kaos distro yang kamu maksud itu gimana?Apa gak jalan? Papa sampai heran karena kamu selalu saja gak punya uang," kata Pak Herman.

"Jualan kaus itu gak sama kayak jualan sembako yang tiap hari laku, Pa. Kudu sabar kalau jualan

pakaian itu. Udahlah, mending Papa transfer uangnya sekarang,ya. Soalnya sama Mama disuruh minta ke Papa," ujar Arya yangmembuat Pak Herman tak berkutik.

"Ya, baiklah..."

...****************...

"Tuh, udah dikasih sama Papa. Aku transfer ke rekening kamu buat biaya berobat." Arya mengotak ngatik ponselnya.

Lalu tak lama kemudian, bunyi notifikasi m-banking di ponsel Lisna berbunyi. Wanita itu sengaja menemui Arya di tempat kerjanya tanpa memberitahu lebih dulu.

Lisna juga meminta izin pada Bu Widya libur kerja dengan alasan sakit.

"Lagian, aku udah bilang sama kamu kan kalau skincare itu pasti barang palsu. Kamunya ngotot,"rengek Lisna dengan sisa- sisa isak tangis yang masih terdengar.

"Ya maaf. Lagian kan mana aku tahu kalau skincare itu KW? Lagian aneh, masa barang KW bisa diperjual belikan secara bebas." Arya mendengkus kesal.

Lisna menghela napas panjang. Diusapnya sisa air mata di matanya.

"Makasih, Mas Arya. Aku gak mau lagi deh beli skincare kalau gak langsung di ownernya."

Arya memutar bola matanya malas. "Mending kamu pakai skincare yang biasanya aja, Yang. Kamu kan udah cocok pakek itu.Mana harganya juga murah lagi. Seratus ribu udah dapet sepaket,kan?"

Lisna mengerucutkan bibirnya. "Kamu jangan pelit- pelit kenapa,sih? Sama calon istrinya aja pelit banget!" gerutunya.

"Aku gak bakalan pelit kalau tokoku ramai, Sayang." Arya menyentuh kedua bahu Lisna dan menghadapkan wanita itu ke arahnya, lalu kembali berkata,

"Kamu lihat sendiri, kan? Sejak kamu datang sampai detik ini, gak ada pembeli." Lisna bergeming.

Ia menatap sekeliling toko, lalu menjawab, "Kenapa kamu gak kerja kantoran saja, Mas? Papamu punya jabatan bagus di perusahaan, pasti kamu bisa dengan mudah kerja di sana.Kamu minta jadi manager, atau kepala salah satu divisi pasti bisa banget, Mas."

Arya terdiam, memikirkan ucapan Lisna yang ada benarnya. la bisa merangkap pekerjaan, bukan?Selain menjadi pengusaha, ia juga bisa menjadi orang kantoran?

"Kamu cerdas juga, Yang!" celetuk Arya dengan mata berbinar.

"Semua orang akan semakin menyanjungku nanti. Udah pengusaha, masih jadi orang kantoran lagi. Wah, pasti aku makin keren!" selorohnya.

Lisna tertawa dan memeluk Arya. "Iya, dong! Aku jadi makin bangga karena punya calon suami kayak kamu!" tukasnya.

Arya membalas pelukan Lisna. Beberapa detik berlalu, ia merasakan gejolak kelelakiannya mulai mencuat.

"Yang ... ayok!"ajaknya.

"Ke mana?" di atasmu," bisik Arya seraya menggigit telinga lisna, hingga membuat tubuh wanita itu meremang.

"Olahraga. Aku pengen push up Mas?" Lisna merasa ragu.

"Tapi... masa kita main di sini,

"Gak papa. Kita cari sensasi baru. Lagian toko lagi sepi. Aku tutup bentar juga gak ngaruh!"

"Tapi, Mas...."

"Udah, ayo! Aku kan udah transfer uang ke kamu tadi!" Arya mendorong tubuh Lisna hingga wanita itu terduduk di meja kerja. Baju yang dikenakan Lisna, lalu mulai melepas satu persatu pakaian yang melekat di tubuh calon istrinya itu. Lantas, mulai melakukan aksinya sebagai lelaki. Lisna ikut menikmati permainan panasnya dengan Arya. Ia tak bisa menolak karena semua telanjur terjadi. Toh, dalam pikirannya Arya sudah pasti akan menikahinya. Jadi, tak masalah jika ia memberikan semua yang ada, termasuk kehormatanya pada Arya.

Suara desahan yang saling beradu, serta kata- kata cinta yang terlontar dari mulut keduanya, menjadi saksi bahwa mereka telah mencapai puncak surga dunia.

Raffa berdiri di sudut lorong yang menghubungkan ruang rapat dan aula besar. Tangannya menggenggam sapu dan kemoceng yang biasa dibawanya untuk menutupi identitasnya. la mengenakan seragam pembersih dengan rapi, bahkan menundukkan kepala ketika salah satu direksi lewat di depannya tanpa menoleh.

Tatapannya tajam, penuh pengamatan, mempelajari tiap langkah yang diambil para petinggi perusahaan yang tak sadar sedang diawasi oleh sang pemilik sesungguhnya. Sejak dua tahunlalu, Raffa memutuskan menyamar menjadi petugas kebersihan, menghindari sorotan setelah kematian mendadak ayahnya yang meninggalkan warisan besar, yaitu perusahaan ini.

"Pak, apa Anda yakin belum mau muncul sekarang?" Suara Pak Wirya memecah lamunan Raffa.Pria tua itu menghentikan langkahnya sejenak, menunggu jawaban Raffa sebelum memasuki aula tempat para direksi berkumpul.

"Tidak," jawab Raffa tegas, menahan desakan di dalam dirinya.

"Belum waktunya. Sekarang masih tugas Bapak yang memimpin perusahaan ini."

Pak Wirya mengangguk kecil. Meski ia telah bertahun- tahun mengelola perusahaan, kehadiran Raffa dalam wujud 'bayangan' memberi rasa tenang.

"Baiklah, Pak Raffa. Tapi Anda tahu, saya tidak bisa selamanya menutupi identitas Anda."

Raffa tersenyum samar, sorot matanya kembali tertuju pada pintu aula. "Tugas Bapak hanya satu. Pastikan perusahaan ini tidak jatuh ke tangan yang salah."

Pak Wirya mengangguk lagi sebelum masuk ke aula. Dari balik pintu yang mulai tertutup, suara-suara tegas para direksi terdengar, membahas laporan keuangan, strategi pasar, dan isu internal yang belakangan menghantui perusahaan.

Raffa mendesah. Waktunya akan tiba, tapi tidak sekarang. Apalagi kini ia sudah menikah.

...****************...

Jam kerja telah usai, tapi Raffa tak langsung pulang. Raffa memilih singgah dulu ke ruang kecilnya dilantai bawah gedung. Ruangan itu hanya berisi tempat tidur sempit,meja kecil, dan lampu meja.Namun, di balik lemari sederhan ayang menempel di dinding, tersembunyi ruang rahasia dengan peralatan canggih. Layar monitor

yang terhubung ke kamera diseluruh penjuru perusahaan, dokumen penting, dan rencana yang ia susun selama ini.

Raffa membuka salah satu laci kecil, mengambil map berisi catatan keuangan yang mencurigakan. Matanya menyipit, membaca kembali angka -angka yang tidak sesuai. Ia tahu, seseorang di dalam perusahaan sedang bermain api.

"Pak Wirya," gumamnya. Ia segera meraih ponsel kecil dan mengetik pesan singkat kepada orang kepercayaannya itu. tentang divisi pemasaran. Saya curiga ada manipulasi di sana.

Pesan terkirim, dan Raffa kembali termenung. Ayahnya dulu sering mengatakan bahwa kepercayaan adalah pondasi utama dalam membangun bisnis. Namun, seiring waktu, ia menyadari bahwa kepercayaan bisa menjadi kelemahan jika diberikan kepada orang yang salah.

Langkah kaki terdengar dari luar ruangan. Raffa segera menutu ruang rahasianya dan berpura-pura membereskan perlengkapan kebersihan. Pintu diketuk, dan seorang pria muda dari divisi keuangan masuk.

"Raffa, bisa bantu bersihkan ruangan meeting di lantai tiga?Para direksi meninggalkan tumpukan dokumen di sana. Maaf,ya karena sudah memerintahkanmu. Tadi, semua OB sudah pulang. Dan kata Pak Wirya kamu ada di sini dan beliau menyuruh kamu yang membersihkan."

Raffa mengangguk. "Baik, Pak. Tidak masalah."

Pria itu pergi tanpa curiga, sementara Raffa segera menuju lift. Di balik ketenangannya, pikirannya terus bekerja. Setiap gerakan yang ia lakukan selalu punya tujuan, setiap langkah adalah bagian dari rencana besar. rumah yang sederhana. Cahaya lampu neon menyambutnya, bersama aroma masakan hangat yang berasal dari dapur. Hanin muncul dengan senyum kecil di

Raffa mendorong pintu kayu wajahnya sambil membawa segelas teh hangat. Raffa terenyuh dengan perhatian yang diberikan Hanin padanya. la pun duduk di kursi ruang tamu. Dengan lembut, menyerahkan teh itu ketangan Raffa.

"Capek ya, Mas?" tanya Hanin

Raffa tersenyum kecil, mengangguk tanpa banyak bicara. Ia memang bukan pria yang pandai mengungkapkan perasaan.Baginya, tanggung jawab adalah segalanya. Pernikahan mereka dimulai dalam keadaan yang tak terduga. la menikahi Hanin karena merasa harus bertanggung jawab atas reputasi keluarganya setelah mereka digrebek di gubuk pinggir jalan. Meski bukan cinta yang menyatukan mereka, Raffa berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga Hanin sebaik mungkin.

Namun, percakapan mereka terpotong ketika Lisna muncul dari kamar. Dengan wajah masam, ia mencibir.

"Oh, tukang sapu sudah pulang? Capek sapu- sapu kantor orang, ya?"

Raffa hanya diam. la tak pernah ambil hati dengan kata -kata Lisna. Baginya, tanggapan orang terhadap pekerjaannya saat initidak lebih penting dari pada misinya melindungi perusahaan keluarganya dari kehancuran.

"Lisna," tegur Hanin dengan mata melotot. "Mas Raffa bekerja dengan pekerjaan halal. Tak perlu menghinanya!"

Lisna mendengkus, lalu kembali ke kamarnya. Hanin menggeleng pelan, memandang Raffa dengan tatapan meminta maaf.

Malam itu, Raffa memilih keluar kamar setelah Hanin tertidur. la membuka ponsel yang ia gunakan untuk menyimpan dokumen rahasia. Tangannya dengan cekatan memeriksa laporan- laporan terbaru yang dikirim Pak Wirya.

Sebuah nama muncul berulang kali dalam dokumen itu. Alwi Pratama, Direktur Pemasaran. Angka- angka dalam laporan menunjukkan bahwa ada dana besar yang dialihkan ke rekening pribadi pria itu.

"Akhirnya ketemu juga," guman Raffa.

Namun, ia tahu, ini bukan hanya soal bukti. Mengungkap kesalahan Alwi berarti membongkar sistem yang sudah lama korup. Raffa harus memastikan bahwa langkahnya tidak hanya menggulingkan Alwi,tapi juga menyelamatkan perusahaan dari kehancuran.

Beberapa hari kemudian, Raffa mendapat panggilan dari manajer HR. la diminta datang ke ruang direksi untuk membantu beres-beres usai rapat penting. Saat Raffa memasuki aula, ia mendengar suara -suara tinggi para direksi.

"Pak Alwi, bagaimana Anda menjelaskan laporan ini?" suara Pak Wirya terdengar jelas.

Raffa menahan napas, berdiridi balik pintu tanpa berniat masuk. Namun, tak disangka, salah satu direksi lain, Bu Ratih melihatnya.

"Eh, masuk saja. Tolong bersihkan meja ini," katanya sambil melambaikan tangan.

Raffa tak punya pilihan selain melangkah masuk. Namun, tatapan Alwi Pratama yang tajam langsung mengarah padanya.

"Kenapa OB ikut- ikutan di sini?!" bentak Alwi, berusaha mengalihkan perhatian dari dirinya sendiri.

"Tenang, Pak Alwi," kata Pak Wirya. "Dia hanya petugas kebersihan."

Raffa menundukkan kepala,mencoba menahan diri agar tidak terpancing. Namun, di dalam hatinya, ia tahu saatnya untuk mengakhiri penyamarannya semakin dekat.

1
Nurae
Ini cerita nya sedih... ☹️
viddd
Greget bangett sama kelakuan lisna dan ibunya,, cepet rilis episode selanjutnya dong
viddd
Good ceritanya
viddd
Kasian lisna, baru episode 1 aja sedih ceritanya 🥲
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!