Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.
Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.
Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 13 Hati yang Tak Ingin Berbohong
Dua hari setelah seminar itu, kosan terasa lebih hangat dari biasanya. Entah karena suasana hati Saras yang mulai pulih, atau karena Galuh yang kini semakin terbuka dalam memperlihatkan kepeduliannya. Namun satu hal yang pasti, ada yang berubah. Sesuatu yang tidak mereka ungkapkan secara verbal, tapi hadir di antara tatapan, sentuhan singkat, atau keheningan yang tak lagi canggung.
Pagi itu, Saras duduk di meja belajar, memeriksa slide materi kuliah. Galuh datang dari dapur dengan dua gelas susu cokelat hangat.
"Ini favorit lo kan?" katanya sambil meletakkan satu gelas di samping Saras.
Saras tersenyum kecil. “Lo mulai peka ya sekarang.”
Galuh terkekeh. “Nggak juga. Gue cuma… lebih pengin lihat lo nyaman.”
Saras menatapnya beberapa detik, lalu mengalihkan pandangan. Dadanya hangat. Bukan karena susu cokelat, tapi karena perhatian kecil dari Galuh yang perlahan jadi candu baginya.
---
Di kampus, suasana mulai kembali normal. Meski beberapa mata masih memperhatikan mereka, namun bukan dengan rasa ingin tahu, melainkan rasa hormat. Banyak mahasiswa yang mulai mendekati Saras untuk sekadar menyapa, atau bahkan bercerita tentang masalah mereka.
Galuh yang biasanya cuek, jadi semacam 'bodyguard pribadi' Saras. Setiap kali Saras bicara dengan mahasiswa lain, apalagi cowok, Galuh selalu memperhatikan dari jauh. Bukan karena posesif, tapi karena kini ia merasa memiliki peran tak terlihat dalam hidup Saras.
Dan meski belum pernah diucapkan secara langsung, Saras tahu itu.
Sampai pada suatu sore, hujan turun deras. Galuh dan Saras yang baru selesai kelas, memutuskan berteduh di kantin kampus. Mereka duduk berdua, memandang hujan sambil berbagi satu mangkok bakso.
“Gue suka hujan,” ujar Saras tiba-tiba.
“Kenapa?” tanya Galuh.
“Karena hujan bisa nutupin tangisan. Tapi sekarang gue suka hujan karena lo,” katanya pelan, menatap ke luar jendela.
Galuh menoleh. Dadanya mendadak berdebar. “Maksud lo?”
Saras tersenyum, tapi tak menjawab.
---
Malam itu di kosan, suasana berubah. Galuh tak bisa tidur. Kata-kata Saras di kantin membuat pikirannya kacau. Ia menatap langit-langit, lalu menghela napas panjang.
‘Apa ini cuma rasa kasihan?’ pikirnya. ‘Atau… gue beneran sayang sama dia?’
Pikiran itu terus menghantui. Apalagi saat ia teringat bagaimana Saras mulai terbuka. Bagaimana tawa gadis itu kini menjadi bagian dari harinya. Bagaimana ia merasa ada yang hilang jika tak melihat Saras sehari saja.
Di sisi lain kamar, Saras juga belum tidur. Ia memandangi layar ponselnya, membuka galeri, dan menatap foto selfie mereka saat seminar. Ia ingat betapa Galuh selalu ada tak hanya secara fisik, tapi secara emosi. Membuatnya merasa aman.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama… Saras merasa pantas dicintai.
---
Esok harinya, konflik kecil tak terduga muncul.
Saat Galuh pergi sebentar ke minimarket, seorang mahasiswa baru datang ke kosan. Namanya Zidan mahasiswa jurusan komunikasi yang juga ikut seminar tempo hari. Ia membawa bunga kecil dan selembar surat.
“Boleh gue ngomong sebentar?” tanya Zidan dengan gugup.
Saras mempersilakan masuk ke ruang tamu.
“Aku… cuma mau bilang kalau aku salut banget sama keberanian kamu. Dan… aku suka kamu, Kak Saras.”
Saras terdiam. Tangannya mengepal pelan.
“Aku tahu ini mungkin tiba-tiba, dan kamu mungkin belum bisa nerima orang baru. Tapi aku cuma pengen kamu tahu aja. Itu aja.”
Sebelum Saras sempat menjawab, suara pintu depan terbuka.
Galuh masuk, membawa sekantong snack dan minuman. Pandangannya langsung jatuh pada sosok Zidan yang berdiri dengan gugup, masih membawa bunga.
Beberapa detik hening.
“Oh. Maaf. Gue… nggak tahu lo lagi ada tamu,” ujar Galuh datar.
Zidan buru-buru pamit. “Aku permisi dulu ya, Kak Saras.”
Begitu pintu tertutup, Saras bangkit.
“Galuh, dengerin dulu—”
“Lo nggak perlu jelasin apa-apa,” potong Galuh cepat. “Itu urusan lo.”
Saras mendekat. “Dia cuma nyatain perasaan. Gue juga kaget.”
Galuh mengangguk, tapi wajahnya tetap kaku.
“Lo cemburu?” tanya Saras hati-hati.
“Enggak,” jawab Galuh cepat. Terlalu cepat.
“Lo bohong,” ucap Saras tegas. “Lo selalu kayak gitu, Galuh. Nggak pernah mau ngakuin apa yang lo rasain.”
Galuh terdiam. Ia tahu Saras benar.
“Lo pikir gue nggak ngerti? Dari cara lo mandang gue, dari cara lo jaga gue… lo pikir semua itu biasa aja?”
Akhirnya Galuh menatapnya. Matanya dalam, penuh konflik.
“Gue takut, Ras.”
“Takut apa?”
“Takut kalau perasaan ini cuma sementara. Takut kalau gue bikin lo sakit lagi. Lo udah cukup hancur. Gue nggak mau jadi alasan lo jatuh.”
Saras menahan napas. “Lo bukan alasan gue jatuh. Lo alasan gue bangkit.”
Dan malam itu, tak ada kata cinta yang diucapkan. Tapi untuk pertama kalinya, mereka benar-benar jujur tentang perasaan masing-masing.
---
Keesokan harinya, Galuh mulai menjauh. Bukan karena marah, tapi karena bingung. Ia butuh waktu. Dan Saras membiarkannya.
Namun kebingungan itu justru membuat jarak semakin menyakitkan. Mereka masih tinggal serumah, tapi kini kembali seperti dua orang asing yang canggung.
Hingga suatu malam, Saras duduk sendirian di balkon. Angin malam menyapu rambutnya. Galuh berdiri di belakang, diam beberapa detik sebelum akhirnya ikut duduk di sampingnya.
“Gue pikir lo tidur,” kata Saras tanpa menoleh.
“Gue nggak bisa tidur.”
Hening. Hanya suara jangkrik dan dedaunan bergesekan.
“Ada hal yang pengin gue bilang,” ucap Galuh akhirnya.
Saras menoleh.
“Gue sayang lo, Saras.”
Jantung Saras berdebar. Lama sekali ia menunggu kalimat itu.
“Tapi gue belum tahu cara nyayangin orang tanpa bikin dia luka. Jadi… tolong bantu gue.”
Saras tersenyum. Matanya berair.
“Kita belajar bareng. Gimana?”
Galuh mengangguk. Ia meraih tangan Saras, dan untuk pertama kalinya, genggaman itu terasa pasti. Bukan karena terpaksa, bukan karena situasi tapi karena hati mereka sudah saling menemukan.