"Daripada ukhti dijadikan istri kedua, lebih baik ukhti menjadi istriku saja. Aku akan memberimu kebebasan."
"Tapi aku cacat. Aku tidak bisa mendengar tanpa alat bantu."
"Tenang saja, aku juga akan membuamu mendengar seluruh isi dunia ini lagi, tanpa bantuan alat itu."
Syifa tak menyangka dia bertemu dengan Sadewa saat berusaha kabur dari pernikahannya dengan Ustaz Rayyan, yang menjadikannya istri kedua. Hatinya tergerak menerima lamaran Sadewa yang tiba-tiba itu. Tanpa tahu bagaimana hidup Sadewa dan siapa dia. Apakah dia akan bahagia setelah menikah dengan Sadewa atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
"Jadi, kamu mau?"
Syifa tak bisa menjawabnya. Dia semakin tegang dan jantungnya sudah berdetak tak menentu.
Sadewa tersenyum. Dia melepas tangannya dan merebahkan dirinya menatap Syifa. "Aku tidak akan memaksa. Kita jalani saja dulu karena sebelumnya kita belum saling mengenal. Anggap saja ini masa pacaran kita. Pacaran yang halal."
Syifa tersenyum kecil. Pipinya masih saja bersemu merah. Untuk beberapa saat mereka hanya terdiam dan saling menatap.
“Mas Dewa…” panggilnya lirih.
“Apa?”
“Aku boleh bertanya satu hal lagi?”
“Tentu. Kamu boleh terus bertanya. Kita bicara seperti ini sudah membuat dadaku berdebar. Benar-benar terasa dalam."
Syifa menggigit bibir bawahnya sebentar, perkataan Sadewa selalu membuatnya salah tingkah. “Apa kita… pernah bertemu sebelumnya?”
Mata Sadewa sedikit membulat, tak menyangka pertanyaan itu keluar sekarang. Namun kemudian, senyumnya kembali muncul. Dia sudah memutuskan untuk menyembunyikan masa lalunya dari Syifa, tapi jelas perasaannya saat ini tidaklah bohong.
“Kamu merasa seperti pernah melihatku?” tanyanya balik, alih-alih langsung menjawab.
Syifa mengangguk pelan. “Aku tidak yakin. Aku seperti pernah melihat Mas Dewa sebelum kita bertemu di taman, tapi entah dimana aku lupa."
Sadewa menatapnya dalam diam selama beberapa detik. “Dua bulan yang lalu, aku pernah ke panti asuhan tempat kamu mengajar. Waktu itu aku datang untuk survei kerja sama CSR perusahaan. Kamu sibuk membantu anak-anak membaca. Selain mengajak di pondok pesantren, kamu juga membantu mengajar di panti kan?"
“Mas Dewa lihat aku? Iya, aku ingat. Waktu itu memang ada beberapa orang ke panti tapi aku tidak melihatnya."
Sadewa mengangguk. “Iya, aku diam cukup lama memperhatikan kamu tersenyum sambil mengeja huruf-huruf untuk anak kecil yang duduk di pangkuanmu.”
Syifa terdiam, hatinya terasa hangat mendengar perkataan Sadewa.
“Dan sejak hari itu, aku jatuh cinta. Aku yang jatuh lebih dulu."
Syifa menunduk. Pipinya memanas lagi.
Sadewa tersenyum. Sebenarnya dia merasa bersalah telah membohongi Syifa. Jika dia mengatakan yang sebenarnya, dia tidak ingin Syifa hancur untuk yang kedua kalinya.
"Aku boleh tetap mengajar di panti kan?"
"Tentu boleh. Lakukan apapun yang mau kamu lakukan."
Syifa tersenyum. Kemudian mereka saling menatap hingga akhirnya Syifa terlelap.
Perlahan Sadewa mendekat dan memeluknya.
Maafkan aku. Mulai sekarang, aku akan selalu menjagamu.
Kemudian Sadewa juga memejamkan matanya. Jarak di antara mereka semakin terhapus.
Tubuh Syifa semakin bersandar pada dada Sadewa yang hangat.
Syifa terbangun di tengah malam dan menatap wajah suaminya dalam gelap. Dia bisa merasakan detak jantung Sadewa yang tenang dan suara napasnya yang lembut. Rasa gugup dan canggung sebelumnya berubah menjadi perasaan hangat yang sulit dia jelaskan. Tak lama, dia pun kembali terlelap dalam posisi yang sama.
...***...
Lantunan adzan Subuh perlahan menggema dari masjid terdekat, menyusup masuk melalui jendela kamar yang sedikit terbuka. Suara itu membangunkan Syifa dari tidurnya.
Dia mengerjapkan mata, butuh beberapa detik untuk dia menyadari keberadaannya. Setelah kesadarannya pulih, pipinya terasa memanas.
Dengan pelan dan hati-hati, dia beranjak dari pelukan Sadewa, lalu turun dari tempat tidur tanpa suara. Dia akan membangunkan Sadewa tapi urung. Kakinya kembali melangkah menuju kamar mandi.
Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara itu.
“Kamu mau sholat Subuh?” tanya Sadewa dari balik punggungnya, suara baritonnya dalam tapi lembut. “Ayo, kita sholat berjamaah. Meskipun sudah lama aku tidak melakukannya, aku akan menjadi imammu.”
Syifa berhenti. Tubuhnya membeku sejenak.
Kata-kata itu sama persis dengan apa yang pernah hadir dalam mimpinya, saat dia dalam keraguan memilih keputusan. Dalam mimpinya, Sadewa berkata, aku akan menjadi imammu.
Dan kini, pria itu benar-benar ada di hadapannya.
Sadewa bangkit dari tempat tidur. Rambutnya masih sedikit acak, matanya belum sepenuhnya terbuka, tapi wajahnya menampakkan ketulusan yang utuh.
Syifa menoleh perlahan, menatap suaminya yang kini berdiri sambil tersenyum kecil. Dia merasa seperti sedang berada di titik temu antara takdir dan doa-doanya.
Perlahan, Syifa mengangguk. Senyum manis muncul di wajahnya. “Iya…"
Sadewa tersenyum lebih lebar. “Aku ambil wudhu dulu ya. Tapi jika aku melakukan kesalahan, tolong bimbing aku,” katanya, lalu berjalan melewati Syifa, menuju kamar mandi.
Syifa masih berdiri mematung beberapa detik. Dadanya hangat. Tangannya perlahan menyentuh dada kirinya yang semakin berdebar. Lalu dia pun menunduk, senyum itu masih menggantung di bibirnya.
Terima kasih, untuk awal yang begitu manis ....
harus di ajak ngopi² cantik dulu si Lina nih😳😳😳
musuh nya blm selesai semua..
tambah runyam...🧐
mungkin kah korban itu sebuah jebakan🤔🤔🤔