Hancurnya Dunia Aluna Aluna Seraphine, atau yang akrab dipanggil Luna, hanyalah seorang siswi SMA yang ingin hidup tenang. Namun, fisiknya yang dianggap "di bawah standar", rambut kusut, kacamata tebal, dan tubuh berisi, menjadikannya target empuk perundungan. Puncaknya adalah saat Luna memberanikan diri menyatakan cinta pada Reihan Dirgantara, sang kapten basket idola sekolah. Di depan ratusan siswa, Reihan membuang kado Luna ke tempat sampah dan tertawa sinis. "Sadar diri, Luna. Pacaran sama kamu itu aib buat reputasiku," ucapnya telak. Hari itu, Luna dipermalukan dengan siraman tepung dan air, sementara videonya viral dengan judul "Si Cupu yang Gak Tahu Diri." Luna hancur, dan ia bersumpah tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.
Akankah Luna bisa membalaskan semua dendam itu? Nantikan keseruan Luna...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 : KESUNYIAN DI BALIK DINDING
Rumah kontrakan sempit di ujung Gang Melati itu biasanya menjadi satu-satunya tempat di mana Luna merasa aman. Namun kini, dinding-dinding triplek yang rapuh itu terasa seperti penjara yang siap runtuh kapan saja. Sejak surat skorsing itu keluar, Luna hanya bisa mendekam di dalam kamar, mendengarkan suara isak tangis bibinya di ruang tamu yang bercampur dengan suara gaduh orang-orang yang lewat di depan rumah.
Gosip menyebar lebih cepat daripada api. Satu lingkungan kontrakan kini tahu bahwa Luna "bermasalah" di sekolah elitnya.
"Dasar anak nggak tahu diuntung! Sudah disekolahkan mahal-mahal, malah mau meras anak orang kaya!" teriakan itu terdengar dari tetangga sebelah saat Luna mencoba keluar untuk sekadar mengambil air.
Luna kembali masuk, menutup pintu kayu yang sudah lapuk itu rapat-rapat. Ia duduk di lantai semen yang dingin, menatap tas sekolahnya yang tergeletak di pojok ruangan. Isinya bukan lagi buku-buku pelajaran yang rapi, melainkan sisa-sisa air kotor yang masih meninggalkan bau amis pada kain tas tersebut.
Tok... Tok... Tok...
Ketukan pintu itu pelan, namun cukup untuk membuat Luna berjengit ketakutan. Ia mengira itu adalah suruhan keluarga Dirgantara lagi.
"Ini aku, Luna."
Suara Xavier. Luna segera membuka pintu. Xavier berdiri di sana dengan pakaian serba hitam, tanpa seragam sekolah. Ia membawa kantong plastik berisi obat-obatan, makanan bergizi, dan sebuah laptop tipis yang terlihat sangat mahal, sangat tidak sesuai dengan citra "cupu" yang selama ini ia bangun.
"Xavier... kamu nggak sekolah?" tanya Luna dengan suara serak.
"Aku mengambil izin sakit. Tidak ada gunanya di sana jika kamu tidak ada," jawab Xavier datar sembari melangkah masuk. Ia melihat kondisi rumah Luna yang berantakan karena penggeledahan kemarin. Matanya berkilat marah melihat rak piring yang terguling, namun ia segera meredamnya.
Xavier meletakkan laptop itu di atas meja kecil. "Kamu minta bertemu Madam semalam. Beliau sudah tahu. Tapi beliau bilang, 'Belum waktunya'. Kamu harus membuktikan bahwa kamu bisa bertahan dalam kesunyian ini selama dua minggu ke depan sebelum ujian akhir semester dimulai."
Luna tertawa getir. "Dua minggu? Xavier, mereka meneror bibiku. Mereka merusak rumah ini. Bagaimana aku bisa bertahan?"
Xavier membuka laptop tersebut. Layarnya menampilkan kamera pengawas yang baru saja dipasang secara tersembunyi oleh tim Xavier di sekeliling gang rumah Luna. "Aku sudah menempatkan orang-orang di sekitar sini. Tidak akan ada yang bisa masuk ke rumah ini tanpa seizinku lagi. Tapi, Luna... penderitaan mental ini adalah bagian dari latihanmu."
"Latihan untuk apa?"
"Latihan untuk mematikan perasaanmu," ucap Xavier sambil menatap mata Luna dalam-dalam. "Madam tidak butuh gadis yang mudah menangis. Beliau butuh seorang Seraphine yang hatinya terbuat dari baja. Jika kamu masih merasa sakit hati karena hinaan tetangga atau fitnah sekolah, kamu belum siap memegang kekuasaan yang sesungguhnya."
Xavier kemudian mengeluarkan sebuah buku tebal tanpa judul dari tasnya. "Mulai hari ini, saat kamu diskors, jangan belajar pelajaran sekolah. Belajarlah dari buku ini. Ini adalah dasar-dasar manipulasi pasar, psikologi massa, dan cara menghancurkan musuh tanpa menyentuh mereka."
Luna mengambil buku itu. Jemarinya gemetar. "Kamu benar-benar bukan murid SMA biasa, kan?"
"Aku dididik untuk menjagamu, Luna. Dan tugas penjaga akan berakhir saat yang dijaga sudah bisa membawa pedangnya sendiri."
Sore harinya, teror itu datang lagi. Bukan dalam bentuk fisik, tapi dalam bentuk yang lebih kejam.
Sekelompok siswa dari SMA Pelita Bangsa teman-teman Maya dan Kevin datang menggunakan mobil-mobil mewah mereka ke gang sempit itu. Mereka membawa pengeras suara, memutar rekaman audio fitnah Luna tepat di depan gang, sehingga seluruh warga kontrakan keluar untuk menonton.
"Ayo keluar, Luna! Jangan sembunyi di dalam lubang sampahmu!" teriak Maya dari atas mobil kap terbuka. "Lihat nih, kita bawain sumbangan buat lo! Katanya lo butuh uang kan buat bayar hutang?"
Maya melemparkan lembaran uang mainan yang sudah dilumuri kotoran ke arah pintu rumah Luna. Para tetangga yang tidak tahu apa-apa mulai ikut tertawa dan mencemooh. Bibi Luna mencoba keluar untuk memohon agar mereka pergi, namun salah satu siswa justru menyiramkan air es ke arah wanita tua itu.
"Bibi!" Luna berteriak dari dalam, hendak lari keluar.
Namun, tangan Xavier menahan bahunya dengan kuat. "Jangan. Itu yang mereka mau. Mereka mau kamu keluar, menangis, dan memohon. Duduklah. Baca bukumu."
"Tapi mereka menyakiti Bibiku, Xavier!" Luna meronta, air matanya mulai mengalir.
"Lihat ke layar ini," Xavier menunjuk ke monitor laptop. Di sana terlihat wajah Maya dan teman-temannya yang sedang tertawa puas. "Rekam wajah-wajah itu dalam ingatanmu. Rasakan kebenciannya. Jangan biarkan kebencian itu meledak sekarang. Simpan. Jadikan bahan bakar."
Luna menatap layar itu. Tubuhnya gemetar hebat antara rasa takut dan amarah yang meluap-luap. Ia melihat bibinya yang menggigil kedinginan sambil memunguti uang-uang kotor itu karena mengira itu uang asli yang bisa membantu mereka. Hati Luna hancur berkeping-keping melihat martabat keluarganya diinjak-injak seperti itu.
"Aku benci mereka... aku sangat membenci mereka..." desis Luna. Suaranya tidak lagi terdengar seperti Luna yang malang. Suaranya terdengar seperti bisikan kematian.
Xavier melepaskan genggamannya. "Bagus. Gunakan kebencian itu untuk menyelesaikan bab pertama buku ini dalam semalam. Jika kamu bisa melakukannya, aku akan memberimu 'hadiah kecil' besok."
Malam itu, di tengah kegaduhan teriakan di luar yang baru bubar setelah diusir paksa oleh satpam sewaan Xavier yang menyamar, Luna tidak tidur. Ia duduk di bawah cahaya lampu bohlam yang redup, membaca setiap kata dalam buku yang diberikan Xavier. Ia belajar bagaimana cara memutarbalikkan opini, bagaimana cara menyerang titik lemah finansial seseorang, dan bagaimana cara tetap tenang di tengah badai.
Keesokan harinya, Xavier datang lagi. Kali ini wajahnya terlihat sedikit lebih puas.
"Apa hadiahnya?" tanya Luna dengan mata yang merah karena kurang tidur, namun tatapannya jauh lebih fokus.
Xavier menyodorkan ponselnya. Di sana terdapat sebuah berita ekonomi lokal yang baru saja rilis.
"Butik 'Selin Luxury' Resmi Dinyatakan Pailit; Seluruh Aset Disita untuk Menutup Hutang Pajak."
Luna tertegun. "Ini..."
"Itu adalah contoh kecil dari apa yang bisa dilakukan oleh 'kekuatan' yang kamu inginkan," kata Xavier. "Selin sekarang sedang berada di jalanan, mencoba mencari tumpangan karena mobilnya ditarik paksa. Dan itu baru permulaan. Madam ingin kamu melihat bahwa musuh-musuhmu bisa runtuh satu per satu tanpa kamu harus mengotori tanganmu dengan darah."
Luna menatap berita itu. Ada rasa puas yang aneh merayap di hatinya, namun ia sadar bahwa ini bukan perbuatannya. Ini adalah bantuan dari Madam.
"Aku ingin bisa melakukan itu sendiri, Xavier. Tanpa bantuan siapa pun," ucap Luna tegas.
"Maka selesaikan pelatihan mentalmu. Minggu depan, masa skorsingmu berakhir. Kamu akan kembali ke sekolah untuk mengikuti ujian akhir semester. Itu akan menjadi hari terakhirmu sebagai 'Luna si Cupu'. Pastikan kamu meninggalkan kesan yang tidak akan pernah mereka lupakan sebelum kamu menghilang untuk bertransformasi."
Malam sebelum kembali ke sekolah, Luna berdiri di depan cermin. Ia mengambil gunting dan memotong rambutnya yang selama ini selalu menjadi sasaran jambakan Selin dan Maya. Ia memotongnya menjadi pendek, tajam, dan terlihat lebih tegas.
Ia melepas kacamata lamanya yang sudah retak dan menggantinya dengan lensa kontak yang diberikan Xavier. Untuk pertama kalinya, mata Luna yang indah dan penuh tekad terlihat jelas.
Xavier berdiri di belakangnya, menatap bayangan Luna di cermin.
"Sudah siap kembali ke neraka untuk terakhir kalinya?" tanya Xavier.
Luna tersenyum tipis sebuah senyum yang tidak pernah terlihat selama ini. "Ini bukan lagi neraka bagiku, Xavier. Ini adalah awal dari panggung pertunjukanku."
Tanpa Luna ketahui, di sebuah ruangan mewah di belahan kota lain, seorang wanita tua (Madam) sedang menyesap tehnya sambil menatap foto Luna yang baru saja dikirimkan Xavier.
"Dia sudah bangun," gumam Madam. "Siapkan keberangkatan ke Swiss segera setelah ujiannya selesai. Dan Xavier... pastikan keluarga Dirgantara tidak sempat bernapas sebelum cucuku meninggalkan kota ini."