NovelToon NovelToon
TUMBAL TERAKHIR

TUMBAL TERAKHIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Horor / Iblis / Fantasi Timur
Popularitas:406
Nilai: 5
Nama Author: pena biru123

Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya

bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 12

"Kita tidak bisa melukainya secara fisik!" teriak Ratih pada Wijaya. "Dia butuh sesuatu yang lain!"

Wijaya melirik Ratih, matanya yang dingin memancarkan pengertian. "Aku akan mengulur waktu. Temukan kelemahannya!"

Saat Wijaya dan Penghuni Jurang itu terlibat dalam tarian mematikan antara bilah dan cakar, Ratih memejamkan mata. Dia memusatkan jiwanya pada liontinnya, pada panas tak terlihat yang telah menguapkan ilusi Jaya. Kali ini, dia membiarkannya menyebar, tidak menjadi api, tetapi gelombang panas yang mendistorsi udara.

Penghuni Jurang itu tersentak, gerakannya melambat sejenak. "Panas... bukan api... ini menyakitiku..."

Ratih membuka matanya, melihat ada celah. Dia mengarahkan tangannya ke arah makhluk itu, memfokuskan semua panas yang tak terlihat itu. "Kau membutuhkan darah, kan? Bagaimana dengan panas yang membuat darahmu mendidih?"

Makhluk itu meraung kesakitan, mundur beberapa langkah. Kulitnya mulai melepuh, dan asap tipis mengepul darinya. Wijaya memanfaatkan kesempatan itu, melompat dan menancapkan kedua belatinya ke dada Penghuni Jurang. Belati-belati itu tidak menembus dagingnya, tetapi cahaya biru dari bilahnya mulai berdenyut, seolah menyedot energi dari makhluk itu.

Penghuni Jurang itu berteriak, suaranya kini dipenuhi kepanikan. "Cukup! Aku akan kembali ke jurangku! Aku akan kembali!" Dengan erangan terakhir, makhluk itu ambruk dan mencair menjadi genangan lumpur hitam yang berbau busuk, meninggalkan belati Wijaya tertancap di dalamnya.

Wijaya terengah-engah, mencabut belatinya dan membersihkannya dengan kain. Dia menatap Ratih dengan tatapan yang sedikit berbeda. "Aku rasa kita punya beberapa trik baru, Api Merah."

Sementara itu, Dara dan Jaya bergegas menuju balai pertemuan, suara pertarungan di belakang mereka memudar ditelan kabut yang kini mulai kembali.

"Oke, jadi nenekmu ada di sini," kata Dara, mencoba terdengar berani, meskipun ia memegang belatinya erat-erat. "Balai pertemuan adalah tempat yang logis. Mungkin mereka menyekapnya di sana."

Jaya yang masih sedikit gemetar, mengangguk. "Tapi, kenapa dia tidak melawan? Nenek Ratih itu kuat, aku tahu."

Mereka sampai di balai pertemuan. Pintu kayunya terbuka sedikit, mengundang mereka masuk. Di dalamnya, gelap gulita, hanya diterangi oleh celah cahaya dari celah-celah dinding.

"Nenek?" panggil Dara, suaranya bergema hampa. "Nenek Ratih?"

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang mencekam. Dara melangkah masuk, diikuti Jaya yang sedikit ragu. Mereka melihat sekeliling. Ada meja-meja panjang yang berdebu, kursi-kursi yang berserakan, dan di tengah ruangan, ada semacam perapian yang sudah lama padam.

"Tidak ada orang di sini," bisik Jaya, merasa kecewa. "Mungkin kita salah tempat?"

Tiba-tiba, dari kegelapan di sudut ruangan, terdengar suara tawa pelan. "Oh, kalian tidak salah tempat, Nak muda."

Dara dan Jaya tersentak. Dari bayangan, muncul dua sosok. Yang pertama adalah seorang wanita bertubuh ramping dengan dua belati berkilauan di tangannya, tersenyum sinis. Yang kedua adalah seorang pria tinggi berjubah hitam, wajahnya tersembunyi di balik kerudung, tetapi matanya berkilat di kegelapan.

"Penjaga Kabut!" seru Dara, mengangkat belatinya.

Wanita belati kembar itu tertawa kecil. "Betul sekali. Aku adalah Aria, dan ini rekanku, Kael. Dan kami sudah menunggu kalian."

Jaya bersembunyi di belakang Dara. "Menunggu kita? Kenapa?"

"Oh, tentu saja," jawab Aria, melangkah maju. "Kami membutuhkan kalian sebagai pengalih perhatian. Agar 'Wadah' tidak terlalu bosan."

Tiba-tiba, Kael, pria berjubah hitam itu, mengangkat tangannya. Dari tanah, kabut tebal menyembur, memenuhi ruangan dalam sekejap. Dara dan Jaya terbatuk, mata mereka berair.

"Hei! Aku tidak bisa melihat!" seru Dara, mengayunkan belatinya membabi buta.

"Ini seperti memotong sup!" keluh Jaya, mencoba menangkis kabut.

Terdengar suara tawa Aria yang melengking. "Kalian lucu sekali. Tapi sayangnya, ini bukan lelucon."

Dara merasakan sesuatu menyentuh bahunya. Dia mengayunkan belatinya, tetapi tidak mengenai apa-apa. "Di mana kalian?"

"Di sini," bisik Aria, suaranya kini terdengar tepat di telinga Dara.

Sebelum Dara sempat bereaksi, sebuah belati dingin menekan lehernya, dan belati lain mencengkeram pergelangan tangannya, membuat belatinya jatuh dengan bunyi gemerincing.

"Dan di sini," suara Kael yang berat menggelegar dari belakang Jaya. Sebelum Jaya sempat berbalik, sebuah kain hitam dilemparkan ke kepalanya, dan tangannya diikat dengan cepat.

"Lepaskan kami!" teriak Dara, mencoba meronta.

Aria menjentikkan jari-jarinya, dan kabut itu perlahan menipis, menampakkan mereka bertiga. Dara dipegang erat oleh Aria, dengan belati di lehernya, sementara Jaya diikat di sampingnya, dengan kain penutup kepala yang lucu.

"Sekarang," kata Aria dengan senyum kemenangan, "mari kita lihat apa yang akan dilakukan Api Merah ketika dia tahu bahwa teman-temannya sudah... menjadi bagian dari rencana."

Kael menarik Jaya, sementara Aria mendorong Dara keluar dari balai pertemuan, menuju tengah desa, di mana Ratih dan Wijaya baru saja selesai dengan Penghuni Jurang.

"Lihat siapa yang datang," kata Aria dengan nada mengejek. "Pengorbanan yang manis untuk 'Wadah' kita."

Ratih dan Wijaya berdiri di tengah genangan lumpur hitam yang tersisa dari Penghuni Jurang. Kabut mulai merayap kembali, lebih tebal dan lebih dingin dari sebelumnya.

"Dara! Jaya!" panggil Ratih, suaranya terdengar cemas.

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan Desa Tiga Batu yang menelan suara mereka.

"Mereka seharusnya kembali setelah aku mengalahkan makhluk itu," kata Ratih, menatap balai pertemuan yang gelap. Liontinnya kembali bersinar redup, seolah waspada.

Wijaya mengencangkan cengkeramannya pada gagang belati. "Mereka tidak menghilang tanpa jejak, Ratih. Para Penjaga Kabut itu licik. Mereka mungkin membiarkan Penghuni Jurang sibuk dengan kita, sementara mereka mengurus teman-temanmu."

"Tapi kenapa? Mereka tidak membunuh nenekku untuk mendapatkan sandera," tanya Ratih, wajahnya mulai mengeras.

"Mereka tidak membutuhkan darah. Mereka membutuhkan pengalih perhatian. Atau mungkin..." Wijaya menunjuk ke gerbang desa dengan dagunya. Tulisan tinta darah di kertas lusuh itu tampak lebih jelas dalam kabut yang mulai tebal: "Wadah sedang menunggu. Pengorbanan telah dibuat."

"Mereka membutuhkan umpan," kata Wijaya dingin. "Mereka tahu kau akan datang. Mereka membiarkanmu menang melawan Penghuni Jurang untuk memberimu rasa aman palsu."

Ratih menatap Wijaya, matanya menyala. "Kalau begitu, kita harus mencari mereka. Balai pertemuan adalah tempat pertama."

Mereka berdua bergerak cepat menuju balai pertemuan. Begitu mereka tiba, Ratih mengulurkan tangannya, dan panas tak terlihat yang dia ciptakan tadi mulai menyebar. Kabut di sekitar balai pertemuan mendesis dan menguap.

Di dalam, mereka tidak menemukan siapa pun. Hanya sisa-sisa kabut buatan dan belati perak kecil yang tergeletak di lantai.

"Ini belati Dara!" Ratih segera mengambilnya. "Mereka ada di sini. Dan mereka melawan."

Wijaya mengendus udara. "Bau kembang tujuh rupa yang kering dan darah... jejak Penjaga Kabut Aria. Tapi kenapa baunya begitu kuat? Seolah-olah mereka ingin kita menciumnya."

"Ini jebakan," bisik Ratih.

"Tentu saja ini jebakan," jawab Wijaya, tatapannya menyapu atap-atap rumah. "Tapi mereka telah mengambil umpannya. Kita tidak punya pilihan selain mengikuti."

Wijaya menunjuk ke sebuah rumah yang jauh lebih kecil, terbuat dari batu gelap, yang terletak di antara dua dari tiga batu besar yang mengelilingi desa. "Lihat rumah itu. Rumah itu tidak mengeluarkan bau apa-apa. Seolah-olah rumah itu menelan semua aroma dan suara."

"Tempat 'Wadah' itu berada," Ratih menyimpulkan.

"Tempat para Penjaga Kabut akan membawa pengorbanan mereka," koreksi Wijaya. "Ayo. Tapi ingat, Ratih, mereka sudah tahu kita datang. Mereka mengharapkan kita."

Mereka bergerak menyusuri jalanan desa yang sepi. Rumah-rumah beratap jerami tampak seperti barisan hantu di tengah kabut yang kembali pekat. Saat mereka berjalan, bisikan halus mulai kembali, tetapi kali ini, bisikan itu berbeda, lebih fokus dan pribadi.

"Sang Pelindung telah gagal..."

"Kematian ibunya adalah tanggung jawabnya..."

Wijaya mengabaikannya, tetapi Ratih merasakan bisikan itu menusuk jiwanya. Dia gagal menyelamatkan neneknya. Dia gagal melindungi teman-temannya.

Tiba-tiba, dari kegelapan di depan, sebuah suara tajam dan familiar memecah keheningan.

"Tolong! Siapapun! Kami diikat di sini! Aku tidak bisa melihat!"

Itu suara Jaya!

Ratih langsung berlari ke depan, naluri menyelamatkan temannya mengalahkan semua kehati-hatian. "Jaya! Di mana kau?"

"Tunggu, Ratih!" teriak Wijaya, tetapi sudah terlambat.

Ratih tiba di sebuah sumur batu kecil—bukan sumur tempat Penghuni Jurang muncul, tetapi sumur lain, yang lebih kecil. Di atas sumur itu, tergantung dua boneka jerami yang diikat tali, bergerak perlahan.

"Jaya! Dara! Bukan boneka yang bicara! Itu mereka!" Ratih maju untuk menyentuh boneka-boneka itu, tetapi Wijaya segera menariknya mundur.

"Jangan sentuh!" desis Wijaya. "Itu ilusi tingkat rendah. Tapi suara Jaya itu nyata, entah bagaimana mereka merekamnya atau menciptakan resonansi."

Tiba-tiba, sumur di sebelah boneka jerami itu mulai bergetar. Sebuah kepala kecil muncul dari bibir sumur, ditutupi kain hitam. Itu adalah Jaya, yang diikat dan dimasukkan ke dalam sumur, hanya kepalanya yang menyembul keluar.

"Ratih! Ratih! Kami tertangkap! Aku tidak tahu kenapa! Tali ini gatal sekali!" keluh Jaya dengan suara teredam oleh kain penutup kepala. "Oh, dan mereka memberikan Dara gaun yang jelek! Kenapa gaun?"

Tepat di sebelah Jaya, muncul kepala Dara. Wajahnya marah. "Diam, Jaya! Dan ini bukan gaun, ini karung kentang! Mereka bilang aku butuh makeover sebelum bertemu 'Wadah'!"

Ratih menahan napas lega dan sebal sekaligus. Mereka tertangkap, tetapi setidaknya mereka tidak terluka. Namun, ini terlalu mudah.

"Kalian tidak apa-apa?" tanya Ratih, mencoba menahan tawa melihat kekonyolan situasi teman-temannya.

"Tidak, Ratih, kami tidak apa-apa," jawab Dara dengan sarkasme yang khas. "Kami hanya tergantung di sumur dengan kain penutup kepala! Ini pasti adalah pesta penyambutan terburuk yang pernah kualami!"

"Ini jebakan, Ratih," bisik Wijaya, matanya bergerak-gerak mencari pergerakan di balik kabut.

Tiba-tiba, suara tawa melengking terdengar dari belakang Ratih.

"Oh, tentu saja ini jebakan, Pelindung Jiwa!"

Ratih dan Wijaya berbalik. Di sana, berdiri Aria, wanita belati kembar, dan Kael, pria berjubah hitam, tersenyum puas.

"Kami tidak hanya mengambil teman-temanmu," kata Aria, menunjuk ke sumur dengan belatinya. "Kami juga memberikan mereka lokasi yang mencolok. Kami tahu kau akan datang."

"Dan 'gaun' itu," tambah Kael dengan suara berat, "itu adalah ritual. Agar mereka murni untuk persembahan."

"Persembahan?" Ratih melangkah maju. "Lepaskan mereka!"

"Setelah ini selesai," kata Aria. "Tetapi pertama-tama, kami punya kejutan untukmu. Lihat ke belakang, Ratih. 'Wadah' sedang menunggumu."

Ratih berbalik, dan matanya melebar. Di depan rumah batu yang gelap dan sunyi, bayangan di depannya tiba-tiba memanjang. Sesosok tubuh yang sangat tinggi dan kurus berdiri tegak. Sosok itu mengenakan jubah abu-abu kuno dan memegang tongkat bengkok.

Sosok itu tidak bergerak, tetapi Ratih merasakan dingin yang menusuk tulang. Dia menyadari, sosok itu adalah neneknya. Tidak, itu bukan neneknya. Itu adalah wadah yang disebut-sebut, dan wajah neneknya hanyalah topengnya.

Tiba-tiba, dari mulut Jaya yang tertutup kain penutup kepala, terdengar suara bisikan, teredam.

"Ratih... aku mendengar suara... nenekmu tidak di sana... itu hanya kulit... nenekmu ada di bawahku!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!