NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:277
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27 - Bertahan Hidup di Musim Panas

Debu beterbangan di udara kering, menempel di kulit dan menutup rongga hidung Raka dan Yarun’ru Beta.

Setiap langkah di tanah retak terdengar seperti gesekan kayu mati. Rumput kuning mengering, dan sungai berliku kini hanya terlihat parit retak di tepinya.

Matahari jarang menampakkan wujudnya, tersembunyi di balik awan kanopi abadi yang tebal dan megah, namun panas bumi tetap menyengat, menekan setiap gerak mereka.

Raka berjalan di depan, membawa anyaman bambu berisi belalang bakar kering.

Ia menoleh sesekali, memastikan Yarun’ru Beta masih mengikuti.

Tapi perut mereka berteriak. “Kau sudah empat hari tak makan. Normalnya manusia butuh dua hari sekali, perutmu pasti mulai memberontak,” ucap Raka lirih.

Yarun’ru Beta menatap anyaman itu dengan ekspresi jijik, namun kelaparan memaksa ia mengambil beberapa belalang.

Aroma menyebar di udara panas, dan setiap gigitan terasa seperti setetes kehidupan yang mengisi perutnya yang kosong.

Debu menempel di bibir dan tangan, mengingatkan mereka bahwa dunia ini keras dan tidak memaafkan.

Langkah mereka terasa lambat dan berat. Tubuh mereka mampu menahan perjalanan panjang berkat otot lentur dan sendi stabil, namun metabolisme lambat tidak mengurangi rasa haus; udara panas dan debu menggerogoti energi, setiap napas terasa penuh panas yang tertahan oleh lapisan kabut tipis di langit.

Di kejauhan, sisa vegetasi meranggas; daun gugur berterbangan mengikuti angin kering.

Tanah keras memaksa akar pohon untuk menggenggam lebih dalam, menahan hidupnya.

Kontrasnya, awan kanopi abadi tetap menutupi langit, memberikan cahaya temaram seperti sore panjang, seolah menenangkan pandangan, tapi tidak memberi keringanan bagi bumi yang panas.

Raka menatap cakrawala, bibirnya mengeras. “Kita harus menemukan sumber air sebelum panas ini memakan kita sepenuhnya,” katanya.

Yarun’ru Beta mengangguk, menelan rasa lapar dan jijik, langkah mereka tetap maju meski dunia seolah menantang setiap napas mereka.

Di bawah kanopi abadi yang teduh secara visual, bumi terasa menekan dan membakar.

Musim Panas menegaskan kerasnya ujian, menguji ketahanan fisik dan tekad sebelum bumi akhirnya menyiapkan diri untuk fase Redup yang menenangkan.

Di tengah tanah terbuka yang panas dan retak, terbentang rawa yang permukaannya agak surut. Meski air menipis, sebagian tetap tertahan oleh enceng gondok liar yang menyebar di permukaan, talas yang tegak di tepi lumpur, dan beberapa pohon pisang yang akarnya menggenggam tanah basah, mencegah air hilang total.

Rawa itu terlihat hidup meski kemarau ekstrem masih menekan bumi. Raka menatapnya dengan harapan; airnya cukup untuk menyegarkan tubuh dan memberi mereka kesempatan bertahan. Debu dari tanah kering beterbangan, namun aroma lembap dari tanaman rawa memberi sedikit kelegaan di tengah teriknya Musim Panas.

“Air!” seru Raka, suaranya pecah karena debu dan panas. Tanpa menunggu jawaban, ia mulai berlari, langkahnya ringan meski tanah keras dan retak. Membawa tubuhnya maju di tengah teriknya panas musim Panas.

Yarun’ru Beta menatapnya sejenak, ragu antara mengikuti atau menunggu, tapi kelaparan dan dahaga mendorongnya bergerak juga.

Aroma lumpur basah dan bau rawa yang lembap menembus hidung mereka, membawa janji kehidupan dan pelepas dahaga.

Setiap langkah Raka menimbulkan debu di udara, tapi semakin dekat ke rawa, tanah mulai lebih lembab, menahan panas sedikit lebih lama. Cahaya kanopi yang teduh memantul samar di permukaan air, membuatnya tampak berkilau seperti cermin yang memanggil mereka.

Raka menginjak tepi lumpur, hati berdebar. Airnya dingin dan tenang, menandakan bahwa, meski kemarau ekstrim masih menguasai sebagian bumi, kehidupan tetap bertahan.

Ia menenggelamkan tangan ke air, menyegarkan diri, lalu menengok ke Yarun’ru Beta. “Cepat, minum dan isi perutmu. Ini kesempatan kita bertahan hidup.”

Rawa itu menjadi oase di tengah musim Panas yang menyengat, sekaligus pengingat bahwa bumi, meski kejam dan kering, masih menyisakan celah untuk hidup bagi yang mampu bertahan.

Raka menunduk, meremas air rawa dengan kedua tangan, merasakan kesegaran yang begitu berharga di tengah teriknya Musim Panas.

Tapi tiba-tiba, sebuah rasa dingin menembus punggungnya. Matanya membesar ketika ia menyadari kepala buaya yang muncul dari permukaan, rahangnya menganga, siap menerkam tepat ke arah kepalanya.

Seketika, waktu terasa melambat. Debu dan uap panas dari rawa menambah kekacauan di pandangan Raka, tapi nalurinya berhenti ia terdiam mematung, jantungnya berdegup kencang seolah semua kekuatan tubuhnya hilang.

Tatapannya kosong, pasrah menghadapi kematian yang nyaris tak terelakkan.

Namun Yarun’ru Beta sudah siap. Sejak awal, ia menyadari sesuatu tidak beres.

Tanpa ragu, ia menarik pedangnya, otot-ototnya bekerja harmonis, dan ia berlari sekuat tenaga.

Loncatannya tinggi, tepat mengincar leher belakang buaya yang siap menyerang.

Seketika, benturan terjadi. Buaya tersentak, tubuhnya terbenam kembali ke dalam air, sementara air rawa muncrat ke segala arah, menimpa tubuh dan pakaian Raka.

Cipratan dingin menyelimuti kulitnya yang panas dan kering, menimbulkan sensasi yang membuatnya tersadar dari kepasrahan.

Raka terengah, tubuhnya basah kuyup, jantung masih berdegup kencang, tapi ia selamat nyawa yang hampir lepas berhasil diselamatkan oleh keberanian dan ketepatan Yarun’ru Beta.

Ia menatap sahabatnya dengan mata masih tercengang, campuran antara ketakutan, kelegaan, dan rasa syukur yang tak terucapkan.

Di bawah kanopi abadi, di rawa yang sebagian surut, detik-detik itu terasa seperti kemenangan hidup, sekaligus pengingat betapa rapuhnya kehidupan di tengah musim Panas yang kejam.

Yarun’ru Beta melangkah keluar dari rawa, kakinya tertutup lumpur basah, dan berdiri di samping Raka.

Ia menepuk bahu sahabatnya dan berkata dengan suara tegas tapi tenang, “Kau baik-baik saja?”

Raka mengangguk perlahan, napasnya masih berat, jantungnya berdegup kencang.

Tapi belum sempat ia menenangkan diri, matanya kembali membesar saat menatap di belakang Yarun’ru Beta.

Dari permukaan tanah dan semak, muncul kepala ular raksasa, tubuhnya selebar leher manusia dewasa, mata hitamnya menatap dengan dingin dan tajam, siap menyerang.

Sekali lagi, naluri Yarun’ru Beta bereaksi lebih cepat daripada pikirannya.

Ia menarik pedang, tubuhnya menunduk dan memutar, gerakan harmonis dan penuh tenaga.

Dengan sekali ayunan tegas, bilah pedang mengenai leher ular, suara gesekan logam dan siraman darah membuat Raka terperanjat.

Tubuh ular itu terseret sedikit, kemudian terbelah menjadi dua, jatuh dengan gemuruh ke tanah dan lumpur, cipratan kotoran dan darah menutupi tanah di sekitarnya. Udara terasa berat sesaat, hanya suara napas mereka dan gemericik air rawa yang tersisa.

Raka menunduk, masih terengah dan tubuhnya gemetar, menatap sisa-sisa ular itu dengan campuran ketakutan dan takjub.

Yarun’ru Beta berdiri tegak, pedang masih di tangan, wajahnya tenang tapi waspada. “Kau harus tetap waspada,” katanya, menatap Raka,

“di dunia ini, bahkan setelah selamat dari satu bahaya, ancaman lain selalu menunggu.”

Di bawah kanopi abadi yang teduh secara visual, panas Musim Panas tetap menekan, lumpur rawa menempel di kaki mereka, dan ancaman dari alam purba mengingatkan bahwa bertahan hidup membutuhkan kewaspadaan tanpa henti.

Yarun’ru Beta menatap Raka, wajahnya serius. “Jangan langsung diminum,” katanya tegas. “Air itu keruh, tidak aman. Perut dan kepala akan sakit. Sebaiknya saring dulu dengan kain serat berlapis-lapis.”

Dengan sigap, ia mengambil tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar kain dari serat tanaman. Raka memperhatikan, kagum sekaligus lega meski sederhana, kain itu bisa menyaring endapan lumpur dan daun dari air rawa. Yarun’ru menyiapkan wadah dari bambu, menempatkan kain serat di atasnya, dan mulai menuang air rawa perlahan. Endapan besar langsung tertahan di kain, sementara air jernih menetes ke bambu, siap diminum nanti.

Tak hanya itu, Yarun’ru juga menggunakan helm jirahnya sebagai alat memasak darurat. Ia menuangkan air saring ke dalamnya dan menyiapkan api dari ranting kering, menunggu air cukup panas untuk membunuh mikroorganisme yang tersisa. Aroma asap dan panas dari api kecil itu memenuhi udara, bercampur dengan aroma lumpur basah dari rawa.

Sambil menunggu air tersaring dan dipanaskan, Raka dan Yarun’ru membersihkan lumpur yang menempel di kulit dan pakaian mereka. Mereka menggosok lumpur dari rambut, lengan, dan kaki, mengganti pakaian basah dengan yang kering dari tas. Debu dan keringat bercampur, tapi kegiatan itu memberi mereka sedikit rasa kontrol dan ketenangan di tengah musim Panas yang menyengat.

Raka menatap air yang menetes perlahan dari kain serat, merasakan ketenangan sekaligus ketegangan; setiap tetes adalah janji hidup, sekaligus pengingat betapa kerasnya dunia di bawah kanopi abadi yang teduh tapi tidak memaafkan. Yarun’ru berdiri tegap di sampingnya, pedang masih diikat di pinggang, mata selalu waspada pada rawa terbuka yang mengandung bahaya tersembunyi.

Di tengah lumpur, debu, dan udara panas Musim Panas, mereka belajar menahan lapar dan haus dengan cara sederhana tapi efektif saring air, bersihkan diri, dan tetap siap menghadapi bahaya alam yang bisa muncul kapan saja.

Raka menatap Yarun’ru Beta, mata masih berbinar meski lelah dan haus. “Aku tak menyangka kau yang paling kehausan dan lapar bisa bersabar untuk menyaring air keruh dan memasaknya.

Ini sungguh pengalaman yang luar biasa,” ucapnya, suara serak tapi penuh kekaguman.

Yarun’ru tersenyum tipis, menunduk sambil membersihkan pedang dengan kain serat, gerakan santai tapi penuh ketelitian.

Ia menatap Raka sekejap, lalu kembali fokus pada tugasnya.

Dari sisa-sisa pertempuran dengan ular raksasa, ia mulai menguliti daging ular dengan belati, memisahkan daging yang masih layak dimasak.

Setiap gerakan presisi, memastikan tidak ada bagian yang terbuang sia-sia.

Raka mengamati, belajar dari ketenangan Yarun’ru.

Aroma daging mentah yang mulai dipanggang di api kecil dari ranting kering dan helm jirah menambah sensasi kenyamanan di tengah teriknya Musim Panas.

Suara mendesis air yang mendidih dan aroma asap menyeimbangkan rasa lelah dan lapar yang masih tersisa.

“Kau selalu tenang, bahkan dalam bahaya,” kata Raka lirih, matanya menatap sahabatnya.

“Aku harus banyak belajar dari cara kau bertahan hidup.”

Yarun’ru mengangkat pedangnya sejenak, menatap permukaan rawa terbuka, waspada terhadap kemungkinan bahaya lain, sebelum kembali menekuni daging ular yang sedang dimasak.

“Kesabaran dan ketelitian adalah kunci,” katanya sambil menempelkan daging di api, “tanpa itu, bahkan sedikit air atau makanan bisa menjadi bencana.”

Di bawah kanopi abadi, di tengah rawa yang sebagian surut dan terik Musim Panas yang menyengat, mereka menikmati detik-detik sederhana: air saring yang mulai hangat, daging yang mulai matang, dan rasa lega karena berhasil selamat dari bahaya, sekaligus belajar bertahan hidup dengan penuh kehati-hatian.

Akhirnya, air sudah mendingin. Raka memegang wadah bambu, menyesap air sedikit demi sedikit. Rasanya dingin dan segar, menenangkan dahaga yang sudah bertahan berhari-hari.

Setiap tegukan terasa seperti hadiah kecil dari rawa yang nyaris kering itu.

Yarun’ru Beta duduk di sisi Raka, memegang daging ular yang mulai matang di atas api kecil.

Aroma hangat dan asapnya menyebar, memberi semangat yang perlahan kembali ke tubuh mereka yang lelah.

Dengan hati-hati, ia membagi daging menjadi potongan-potongan kecil, lalu menyerahkannya ke Raka.

“Ini cukup untuk kita bertahan beberapa jam lagi,” kata Yarun’ru, sambil tetap menatap rawa terbuka. Meski mereka sedang makan dan minum, kewaspadaan tidak pernah hilang; mata tajamnya terus memindai permukaan air dan sekeliling rawa, siap menghadapi ancaman yang tersembunyi.

Raka menggigit potongan daging ular, rasa gurih dan kenyalnya mengejutkan lidahnya.

Tubuhnya mulai menghangat kembali, energi yang sempat terkuras mulai pulih sedikit demi sedikit. “Rasa lapar dan haus akhirnya terbayar,” gumamnya lirih, menatap sahabatnya dengan rasa syukur.

Sambil makan, mereka membersihkan lumpur yang masih menempel di kulit dan pakaian, menyesuaikan diri dengan panas musim Panas yang menyengat.

Debu beterbangan, tanah retak, dan cahaya temaram dari kanopi abadi di atas seolah mengingatkan bahwa perjuangan mereka belum selesai dunia ini keras, tapi detik-detik seperti ini memberi napas kecil untuk bertahan hidup.

Ketika air dan daging mulai mengisi tubuh mereka, Raka menatap Yarun’ru Beta. “Kau selalu tahu cara menghadapi semuanya, bahkan di saat paling sulit,” katanya, suara penuh kagum.

Yarun’ru tersenyum tipis, tetap waspada, tapi sesekali menatap api dan air, menikmati momen sederhana di tengah kerasnya Musim Panas.

Tiba-tiba, dari arah langit, terdengar suara keras menggema, seperti dentuman logam raksasa yang menghancurkan udara.

Bunyi itu mengguncang rawa terbuka, membuat debu beterbangan dan cipratan air dari permukaan rawa yang tersisa.

Yarun’ru Beta langsung sigap, tangan mengepal gagang pedang perunggu. Tubuhnya menegang, mata menyapu langit dengan cepat, siap menghadapi ancaman yang belum terlihat.

Setiap ototnya siap melepaskan ayunan, setiap refleks terasah oleh latihan dan pengalaman.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!