NovelToon NovelToon
DIARY OF LUNA

DIARY OF LUNA

Status: tamat
Genre:Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Cintapertama / Mengubah Takdir / Tamat
Popularitas:829
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."

Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CERITA INDAH

DUA MINGGU KEMUDIAN...

Hari-hari yang dilalui Luna terasa jauh lebih ringan dari sebelumnya. Setiap pagi ia berangkat ke sekolah tanpa rasa terburu-buru atau gelisah seperti dulu. Beban yang dulu menumpuk di dadanya perlahan mulai mengendur. Ia tak lagi terlalu peduli pada bisik-bisik atau tatapan aneh di sekolah—semuanya seakan kehilangan daya untuk menjatuhkannya.

Kini, setelah jam pelajaran usai, Luna selalu menantikan saat di mana ia bisa melangkah menuju toko bunga. Tempat itu sudah bukan sekadar tempat kerja baginya, melainkan tempat di mana hatinya bisa bernapas.

Kehadiran Indah membawa perubahan besar dalam hidupnya. Perempuan itu bukan hanya seorang atasan yang sabar, tapi juga seperti sosok kakak, bahkan sedikit seperti ibu yang selama ini ia rindukan. Indah selalu menanyakan kabarnya, menegur dengan lembut kalau ia terlihat lelah, atau sekadar menyodorkan segelas air dingin setiap kali Luna sibuk merangkai bunga terlalu lama.

Di bawah bimbingannya, Luna belajar banyak hal—tentang cara menyusun buket, memahami warna, bahkan bagaimana menghadapi pelanggan dengan senyum meski sedang letih. Tapi lebih dari itu, Indah mengajarkannya sesuatu yang tak tertulis, arti ketulusan.

"Lun, ngemil yuk! Laper, gue!" Seru Indah sambil datang mendekat, membawa dua gelas teh dingin dan sepiring donat penuh yang ia taruh di atas meja.

Mata Luna membulat lebar. “Serius, kita makan ini semua?!” Gumamnya, setengah terkejut, setengah tak percaya sambil menatap tumpukan donat yang beragam—ada yang polos, cokelat, taburan gula, hingga cokelat kacang yang menggiurkan.

Indah hanya terkekeh, duduk santai di bangku di sebelah Luna. “Ya iyalah. Nggak cuma buat dimakan sendiri, kan? Kita ngemil bareng, biar seru,” Ujarnya sambil menyeruput teh dinginnya.

Luna tersenyum kikuk, hati hangat sekaligus takjub. Ini bukan pertama kalinya Indah begitu perhatian—selalu membawa sesuatu yang membuatnya merasa dihargai. Perlahan, ia meraih donat pertama, sambil menatap Indah penuh rasa terima kasih.

Di tengah Aroma manis donat dan suasana santai itu, Luna tiba-tiba menghentikan kunyahannya sejenak. Mulutnya penuh, tapi pikirannya melayang ke rumah—ke ayahnya...

Indah yang duduk di sebelahnya memperhatikan sejenak. “Lun?” ucapnya lembut. "Lo kenapa?"

Luna meneguk teh, tersadar dari lamunannya. "Gue... boleh minta satu permintaan, ga...?" Katanya ragu.

"Apaan?!” Sahut Indah, menoleh dengan mata berbinar penuh penasaran.

“Gue boleh nggak bawa satu atau dua donat buat dibawa pulang… buat bokap gue?” Gumam Luna, wajahnya sedikit memerah sambil menunduk.

Indah tertawa pecah, suaranya mengisi sudut toko bunga dengan hangat. “Ya ampun, Luuun… Tenang, ntar gue beli yang baru! Jangan khawatir, bokap lo pasti seneng banget,” Katanya sambil menyodorkan piring donat ke arah Luna.

"Serius?"

Indah mengangguk mantap. "Udah, donat ini kita abisin aja. Lo lagi gak diet, kan?" Celetuknya.

Luna tertawa kecil dengan anggukkan di kepala sambil meraih satu donat di depannya. "Makasih ya Dah, lo ud—"

"Ssssst, stop!" Potong Indah cepat. "Lo sering banget ngucapin kalimat itu. Lun, gue udah paham lo semenjak kerja disini. Lo jangan sungkan, jujur aja... gue baru nemuin bestie kayak lo."

Bola mata Luna berkaca, hangatnya rasa haru merayap ke dadanya. Bibirnya bergetar sedikit, seolah kata-kata Indah menembus semua dinding rasa ragu yang selama ini ia bangun di hatinya.

"Gue… gue juga senang bisa kerja sama sama lo,” Gumam Luna pelan, suaranya hampir tersedak oleh perasaan yang sulit ia ungkapkan. “Gue… nggak nyangka bisa punya teman sebaik lo, Indah.”

Indah tersenyum lembut, menepuk bahu Luna dengan hangat. “Santai aja, Lun. Oh ya... lo pernah cerita kalau sorry, nyokap lo udah gak ada?"

Luna mengangguk.

Indah tersenyum tipis. "Lo gak sendiri, Lun." Ungkapnya. "Bokap dan Nyokap gue malah udah pergi semua."

Luna menelan ludah, mata berkaca saat mendengar ucapan Indah. Ia menatap Indah dengan mata berkilat.

Indah meneguk minumannya pelan, suara tegukan teh dingin itu terdengar ringan di udara toko yang hangat. Ia menatap Luna sejenak dengan mata lembut, senyum tipisnya tersungging di bibirnya. "Mereka berpisah dan ninggalin gue di panti." Jelasnya, Indah meneguk minumannya pelan, lalu matanya perlahan berpaling, menatap kosong ke arah rak bunga di sudut ruangan. Sorot matanya jauh, seolah sedang menelusuri kenangan yang hanya bisa ia rasakan sendiri.

Sementara, Luna memperhatikannya diam-diam, hati kecilnya bergetar. Ada kesan kesepian yang samar di balik senyum Indah—sebuah luka yang tak terlihat jelas tapi terasa hangat dan nyata.

"Hingga suatu hari... ada pasangan yang akhirnya mau ngadopsi gue sebagai anak angkat mereka." Lanjut Indah. "Gue gak pernah sekolah, gue homeschooling karena ternyata mereka berasal di keluarga yang sangat berada. Sampai-sampai... gue di kasih dua pilihan. Kerja... apa lanjut kuliah. Gue lebi milih kerja dan pengen usaha sendiri."

"Kenapa?" Tanggap Luna. "Dapetin gelar itu buat kita merasa dihargai oleh orang lain."

Indah mendesis pahit, nada suaranya lembut tapi tajam. “Gak menjamin kita bisa dihargai sama orang lain,” ujarnya sambil menatap Luna dengan mata serius. “Orang yang benar-benar menghargai kita itu karena mereka tulus menghargai keberadaan kita, Lun. Bukan karena gelar, jabatan, atau harta yang kita miliki. Andai kata itu ada, mereka semua hanya orang yang munafik.”

Luna membisu, kata-kata itu menempel di pikirannya, menembus hati yang selama ini kadang merasa tak terlihat. Ia menunduk, mencoba mencerna maknanya.

“Kenapa gue bisa bilang kayak gitu, karena…” Indah menelan saliva, suaranya bergetar pelan. Matanya menatap jauh ke arah rak bunga, seolah kembali ke masa lalu yang tak mudah diungkap. “Karena nyokap gue pergi, ninggalin bokap gue yang waktu itu… benar-benar berjuang sendirian buat gue.”

Luna menatapnya dengan mata berkaca, hatinya bergetar merasakan kesedihan yang tersimpan di balik senyum Indah. Udara di toko terasa hening, hanya suara kipas yang berputar pelan dan aroma bunga yang semerbak menemani keheningan itu.

Indah menghela napas panjang, kemudian melanjutkan dengan nada lebih lembut tapi penuh tekad. “Bokap gue ngasih gue segalanya, tapi sekaligus ngajarin gue satu hal penting bahwa... orang yang tulus menghargai kita itu nggak banyak. Jadi, sejak itu gue selalu hati-hati memilih siapa yang gue anggap dekat."

Luna tersenyum haru. Matanya yang berkaca kini tak lagi dapat menahan sesuatu yang perlahan menetes, membasahi wajah. Kalimat terakhir Indah benar-benar menganggap bahwa dirinya masih layak untuk dihargai, untuk disayangi, dan untuk dipercaya.

Selama ini, ia terlalu sering merasa tak pantas, terbiasa menjadi bayangan di tengah keramaian, hingga lupa rasanya punya seseorang yang benar-benar peduli tanpa pamrih. Tapi kini, di hadapan Indah, semua rasa itu perlahan luruh.

Indah menoleh menatap Luna kosong. "Lo nangisin penderitaan gue, Lun?!" Celetuknya.

Luna menggeleng cepat. Ia mengambil selembar tisu dan mengusap wajahnya kasar. "Eng-Enggak, kok. Gue cumaaa..."

"Cuma apa?!"

Luna segera melahap donatnya lagi. "Gue cuma masih laper!" Jawabnya tanpa menghentikan kunyahannya kali ini.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!