Pernikahan Adelia dan Reno terlihat sempurna, namun kegagalan memiliki anak menciptakan kekosongan. Adelia sibuk pada karir dan pengobatan, membuat Reno merasa terasing.
Tepat di tengah keretakan itu, datanglah Saskia, kakak kandung Adelia. Seorang wanita alim dan anti-laki-laki, ia datang menumpang untuk menenangkan diri dari trauma masa lalu.
Di bawah atap yang sama, Reno menemukan sandaran hati pada Saskia, perhatian yang tak lagi ia dapatkan dari istrinya. Hubungan ipar yang polos berubah menjadi keintiman terlarang.
Pengkhianatan yang dibungkus kesucian itu berujung pada sentuhan sensual yang sangat disembunyikan. Adelia harus menghadapi kenyataan pahit: Suaminya direbut oleh kakak kandungnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Rumah tua itu seolah bernapas dengan aroma masa lalu, bau kayu lapuk, wangi tanah basah dari kebun belakang, dan samar-samar wangi melati yang selalu ditanam oleh almarhum Ibu. Malam terasa lebih dingin dan sunyi di desa ini, seolah menjadi kanvas kosong yang siap menampung setiap rahasia baru.
Reno duduk di ruang tengah, di dekat meja kayu tua yang dicat cokelat tua. Meja itu adalah jantung rumah ini, tempat keluarga Saskia dan Adelia dulu berkumpul. Meja itu menyaksikan tawa polos, air mata diam-diam, dan janji-janji masa kecil yang tak terucapkan.
Saskia berdiri di depannya, tangannya menyentuh ukiran di permukaan meja dengan perlahan, seolah mencoba merasakan kembali kehangatan jari ibunya.
"Meja ini... tidak pernah berubah," bisik Saskia, suaranya pelan dan penuh nostalgia.
Reno mendongak, menatap mata Saskia. Di mata itu, ia melihat bayangan Adelia muda, tetapi ia juga melihat kedalaman penderitaan yang tidak pernah dimiliki Adelia. Ia melihat dirinya sendiri, yang juga berjuang keras tanpa sandaran emosional.
"Aku ingat," kata Reno, suaranya bergetar pelan.
"Adelia sering menangis di sini, saat Ayah memarahinya karena pulang terlalu larut setelah bermain dengan teman-temannya. Dan kamu... kamu selalu membela Adelia, meskipun kamu yang harus menanggung omelan Ayah."
Saskia tersenyum getir. "Aku hanya tidak ingin Adelia merasa sakit. Dia selalu lebih rapuh, lebih sensitif dariku. Tugas Kakak adalah melindungi, bukan?"
"Tapi kamu mengorbankan dirimu sendiri," balas Reno, matanya mengunci mata Saskia. "Aku ingat saat kamu demam tinggi, kamu tetap bangun untuk memasak agar Adelia bisa makan makanan kesukaannya. Kamu selalu memanggul semua beban, Kak, dari dulu sampai sekarang."
Kata-kata Reno menusuk ke inti hati Saskia. Belum pernah ada orang, termasuk Adelia, yang menyadari betapa berat beban yang ia tanggung dengan begitu detail.
Reno memang sering kali mendapatkan cerita masa lalu dari kedua kakak beradik itu lewat Adelia dulu ,saat awal mereka menikah,sebelum Jadwal padat yang membuat Adelia sudah tak pernah bercerita lagi tentang masalalu keluarganya.
Mereka tenggelam dalam ingatan yang pahit. Saskia bercerita panjang lebar tentang perjuangannya setelah Ayah meninggal. Ia menceritakan bagaimana ia harus membatalkan mimpinya untuk kuliah demi biaya perawatan ibunya.
"Dan saat itu, Arif meninggalkanku. Dia bilang aku wanita miskin yang terlalu sibuk dengan masalah. Aku merasa, aku memang ditakdirkan untuk sendirian," bisik Saskia, matanya kembali berkaca-kaca. Ia menceritakan ini dengan kejujuran yang belum pernah ia tunjukkan pada siapa pun.
Reno mendengarkan, hatinya tercabik. "Jangan bicara begitu, Kak. Arif itu... dia tidak pantas mendapatkanmu. Dia tidak tahu nilai kesetiaanmu. Aku... aku menghargai semua yang kamu lakukan."
"Aku tidak pantas mendapatkan kehidupan yang layak, Reno," bisik Saskia, air matanya menetes di atas permukaan meja tua.
"Aku ditakdirkan untuk selalu berkorban, dan menjadi sandaran orang lain yang kuat sepertimu dan Adelia."
Reno tidak tahan lagi. Ia melihat Saskia bukan lagi sebagai kakak ipar, bukan lagi sebagai objek hasrat terlarang, melainkan sebagai jiwa yang terluka dan sangat mirip dengannya dalam kesendirian.
Reno, yang terbiasa memanggul beban bisnis dan menyembunyikan kerapuhannya, merasa ia menemukan kembarannya dalam penderitaan.
Reno bangkit dari kursinya. Ia melangkah mengelilingi meja, langkahnya tegas dan penuh tekad.
Ia mengangkat tangannya, ragu-ragu sejenak, lalu mengusap lembut air mata di pipi Saskia. Sentuhan itu lebih lembut, lebih hati-hati, tetapi seribu kali lebih berbahaya. Itu adalah sentuhan empati dan cinta yang terlarang, pengakuan bahwa mereka berdua merasakan sakit yang sama.
"Jangan katakan itu, Kak," bisik Reno, nadanya seperti sumpah yang tak bisa ditarik kembali. "Kamu pantas mendapatkan semua kebahagiaan. Kamu pantas dicintai dengan tulus. Kamu sudah terlalu lama sendiri."
Saskia mendongak, matanya yang basah menatap mata Reno. Ia melihat kejujuran yang murni, tanpa hasrat liar, hanya kepedihan yang mendalam di sana. Sentuhan Reno di pipinya terasa seperti pengakuan bahwa ia dilihat.
Reno tidak bisa menahan dirinya. Ia melangkah lebih dekat. Ruang di antara mereka lenyap. Mereka berhadapan di ruang tengah rumah masa lalu, di bawah bayangan kamar Adelia.
Reno memeluk Saskia. Pelukan ini bukan lagi pelukan khilaf karena terpeleset. Ini adalah pelukan yang didorong oleh rasa bersalah yang bercampur dengan cinta yang baru lahir, cinta yang tidak pantas.
"Maafkan aku... maafkan aku," bisik Reno di telinga Saskia. Ia meminta maaf atas dosa ciuman pertama, dan kini, ia meminta maaf atas dosa yang baru akan ia lakukan.
Saskia tidak bisa melawan. Ia membalas pelukan Reno dengan kekuatan yang sama, membenamkan wajahnya di bahu Reno. Ia menemukan tempat yang aman dalam pelukan Reno, tempat di mana ia merasa dilihat dan diterima tanpa syarat, tanpa dihakimi karena kesetiaannya pada keluarga.
Reno mengangkat wajah Saskia perlahan. Ia menatap Saskia sejenak, mencari izin. Kali ini, ia tidak butuh kata-kata.
Saskia, dengan air mata dan napas yang terengah-engah, menutup matanya. Itu adalah izin yang paling eksplisit.
Reno menciumnya.
Ciuman ketiga. Kali ini, ciuman itu lambat, menyakitkan, dan didominasi oleh keputusan yang sadar. Itu adalah pengkhianatan yang dingin, yang terjadi di tempat paling suci bagi kenangan mereka.
Reno menekan bibirnya dalam ciuman, Saskia membalasnya. Tubuh mereka saling menarik, seolah mereka adalah dua kutub magnet yang tak boleh menyatu namun tak bisa menolak.
'Aku mencintai Adelia. Adelia adalah istriku'.bisik Reno dalam hati kecil nya.
Adelia sedang tidur di kamar sebelah. Suara hati Reno berteriak. Namun, sentuhan Saskia terasa menenangkan, membawa kedamaian yang tidak pernah ia temukan dalam kehidupannya yang sempurna. Sentuhan Saskia adalah pelarian dari kesempurnaan Adelia. Aku hanya ingin menghapus penderitaannya. Aku ingin melihat dia bahagia.
Reno memegang tengkuk Saskia, memperdalam ciuman itu, berusaha menenggelamkan semua rasa bersalahnya dalam rasa takut yang terpancar dari Saskia.
Ia melepaskan ciuman itu, dahi mereka bersentuhan. Napas mereka memburu, suara detak jantung mereka terdengar keras di keheningan ruang tengah.
"Kak... Aku..." kata Reno, suaranya serak, penuh penyesalan dan keputusasaan.
Kreeek...
Tiba-tiba, terdengar bunyi tempat tidur berderit dari kamar utama. Bunyi pergerakan, dan kemudian batuk pelan Adelia, seolah Adelia baru saja mengubah posisi tidurnya.
Reno dan Saskia seketika tersentak, mata mereka melebar karena horor. Keintiman mereka terputus seketika. Adelia hanya berjarak beberapa meter, dipisahkan oleh satu pintu kayu tua, pintu kamar yang dulunya milik orang tua mereka.
Mereka mundur dari satu sama lain dengan gerakan yang canggung dan cepat, kembali ke posisi awal, tubuh mereka gemetar hebat.
"Aku... aku harus tidur," bisik Saskia, suaranya nyaris hilang. Ia berbalik dan segera masuk ke kamarnya, menutup pintu tanpa suara.
Reno berdiri sendiri di ruang tengah. Ia menyentuh bibirnya, merasakan jejak ciuman Saskia. Ia harus kembali ke kamar. Ia harus melakukan sesuatu untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia masih suami Adelia.
Ia berjalan cepat, masuk ke kamar utama. Adelia bergumam dalam tidurnya.
Reno berbaring di sebelah Adelia. Aroma parfum Adelia yang mewah, kontras dengan aroma sederhana Saskia, menyeruak. Rasa bersalah Reno mencapai puncaknya. Ia merasa kotor. Ia harus membersihkan dosa ini.
Ia memeluk Adelia erat-erat. Pelukan yang terlalu kuat, terlalu mendesak.
"Mas?" Adelia terbangun, terkejut dengan tekanan pelukan Reno. "Ada apa? Kenapa kamu belum tidur?"
"Aku merindukanmu, Sayang. Aku ingin kamu. Aku ingin membuktikan... betapa aku mencintaimu," bisik Reno, suaranya serak oleh kebohongan yang ia coba paksakan.
Adelia, yang masih mengantuk dan merasa sangat dicintai, tersenyum dan merespons.
Reno membalas setiap sentuhan Adelia, setiap ciuman, setiap keintiman dengan intensitas yang ganas. Ia mencintai Adelia. Ya, ia mencintainya. Tetapi di tengah keintiman itu, ia terus melihat bayangan Saskia.
Ia memeluk Adelia, tetapi ia mengingat tekstur rambut Saskia.
Ia mencium Adelia, tetapi ia merasakan asinnya air mata Saskia.
Ia mencoba meyakinkan Adelia akan cintanya, tetapi ia hanya mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia bukan pengkhianat.
Keintiman ini bukanlah cerminan cinta murni, melainkan ritual pembersihan dosa yang gagal.
Semakin ia mencoba membuktikan cintanya pada Adelia, semakin besar rasa bersalah dan pengkhianatan yang ia rasakan pada Saskia, yang berjarak hanya tembok tipis di kamar sebelah.
Setelah keintiman itu berakhir, Adelia kembali tertidur, lega dan merasa dicintai.
Reno tetap terjaga. Ia berbalik, menatap tembok di belakang tempat tidur. Di kamar sebelah, Saskia pasti masih terjaga, mendengarkan.
Reno tahu Saskia pasti mendengar semuanya. Suara tempat tidur berderit, suara bisikan, suara pengkhianatan.
Reno dan Saskia sama-sama tahu,keintiman terlarang itu tidak hanya merusak mereka, tetapi kini telah menyeret Adelia ke dalam kehancuran.
Reno mencoba membuktikan cintanya, tetapi ia justru mengkhianati Adelia dua kali lipat.
Mereka terikat oleh rahasia baru di rumah yang seharusnya suci, rumah kenangan yang kini menjadi saksi bisu pengkhianatan terberat mereka.