Ujian hidup yang di alami Erina Derranica seakan tiada habisnya. Di usia 19 tahun ia dituntut kedua orang tuanya memenuhi wasiat mendiang kakeknya untuk menikah dengan cucu temannya yang menetap di Singapura.
Pernikahan pun telah sepakati untuk dilaksanakan. Mempelai pria bernama Theodoriq Widjanarko, 34 tahun. Seorang pebisnis di bidang real estate. Theo panggilan pria itu tentu saja menolak permintaan orangtuanya meskipun sudah melihat langsung surat wasiat kakeknya.
Pada akhirnya Theo menerima putusan orangtuanya tersebut, setelah sang ayah Widjanarko mengancam akan menghapus namanya dari penerima warisan sang ayah.
Namun ternyata Theo memiliki rencana terselubung di balik kepatuhannya terhadap wasiat mendiang kakeknya tersebut.
"Apa rencana terselubung Theodoriq? Mampukah Erina bertahan dalam rumah tangga bak neraka setelah Theo tidak menganggapnya sebagai istri yang sebenarnya?
Ikuti kelanjutan kisah ini. Jangan lupa tinggalkan jejak kalian setelah membaca ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Emily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ALONE
"Kamu..?"
"K-au..?"
"Bukankah kamu adik sepupu Theo teman ku? Apa kau mengingatku?"
Laki-laki itu mengulurkan tangannya. "Bryant", ucapnya dengan senyuman ramah di wajahnya.
Erin menyambut uluran tangan itu. "Iya. Aku ingat. Kita bertemu di ruangan kak Theo", jawab Erin pun tersenyum.
"Namu E-rin? Benar?", tanya Bryant ragu-ragu menatap lekat wajah gadis di depannya.
Erina menganggukkan kepalanya. "Iya. Namaku Erina".
"Buku ini untuk mu saja, Erin", ujar Bryant memberikan buku yang sudah di tangannya pada Erina.
"Oh tidak usah, kakak sudah mendapatkannya dengan susah payah. Bukannya tadi kita war untuk mendapatkan buku itu", seloroh Erina dengan kedua netra membulat sempurna.
Bryant tertawa melihat wajah Erin seperti itu. Tanpa ragu ia menarik tangan Erina dan memberikan buku itu padanya. "Sepertinya kamu lebih membutuhkan buku itu di banding aku".
"Benarkah, kakak ikhlas memberikan nya pada ku?", tanya Erina dengan tatapan selidik.
"Tentu saja. Koleksi buku ku sudah banyak, hampir serupa dengan buku itu. Jadi untuk mu saja", jawab Bryant.
"Baiklah kalau kakak ikhlas, aku terima. Terimakasih", ucap Erina tersenyum manis.
Setelah membayar buku yang mereka beli keduanya keluar bersama dari toko buku yang lumayan lengkap itu.
"Erina, apa kamu sendirian saja? Bukankah kau tinggal bersama kakak mu Theo? Apa Theo sudah bekerja?".
Erina tertawa mendengar banyak pertanyaan Bryant. "Iya, kak Theo sudah pergi ke kantornya. Kakak sendiri kenapa belum pergi kerja padahal sudah pakaian rapi begini".
"Aku tidak ngotot seperti kakak sepupu mu itu bekerja Erin. Pekerjaan ku lebih santai", jawab Bryant.
"Bagaimana kalau aku traktir kamu minum kopi enak, di cafetaria itu", ujar Bryant menunjuk bangunan mungil di taman yang tidak jauh dari mereka berdiri.
Erina terlihat ragu-ragu. "Terimakasih tawarannya. Sebenarnya aku penasaran rasa kopi di sana, tapi aku masih harus berbelanja kebutuhan rumah. Lain kali saja ya", ujar Erina menolak halus tawaran Bryant.
Laki-laki itu menganggukkan kepalanya. "We'll. Tidak apa-apa. Tapi aku minta nomor telpon mu, aku akan menagih janji mu". Bryant memberikan ponsel miliknya pada Erina.
Erina tidak menolaknya. Gadis itu memasukkan nomor telepon nya.
Bryant tersenyum menerima kembali ponselnya. "Thanks Erin, senang berkenalan dengan mu. Semoga hari mu menyenangkan".
"Kak Bryant juga", balas Erina melambaikan tangannya sebelum mobil laki-laki tampan itu melaju.
Senyuman masih menghiasi wajah Erina saat masuk ke toserba yang bersebelahan dengan toko buku. Ia sangat senang telah mendapatkan beberapa buku yang ia inginkan.
*
Malam. Langit yang berselimut awan sejak tadi sore kini di guyur hujan deras.
Erina mengurung diri di kamarnya sejak hujan mulai turun. Ia sendirian di apartemen yang besar itu, apalagi petir berulangkali terdengar menggelegar membuatnya bergidik ngeri. Yang Erin hindari bagaimana kalau lampu padam, hal yang paling ia takuti ketika suasana gelap gulita. Dan tidak ada siapapun di sampingnya.
Erina memakai pakaian berlapis karena cuaca sangat dingin sekali hingga menusuk tulang. Gadis itu menarik selimut tebal menutupi sebagian tubuhnya walau belum mau memejamkan mata. Dia duduk bersandar di ujung tempat tidurnya, membaca buku yang ia beli tadi.
Erina tenggelam dalam keasyikannya membaca buku, begitu fokus hingga melupakan ketakutannya jika lampu padam.
"Drrt...
"Drrrt...
Suara panggilan handphone miliknya mengagetkan Erin. Kebiasaan gadis itu jika tengah serius membaca akan melupakan segalanya. Termasuk panggilan telepon yang sudah terdengar berapa kali.
"Drtt... Kembali berdering.
"Ahh mengganggu saja.."
Erina mengambil handphonenya di atas nakas tanpa melihat siapa yang menghubungi. Bahkan matanya masih membaca buku di pangkuannya.
"Iya kak Bryant?"
"Bryant? Bryant siapa maksud mu?Kenapa lama sekali kau jawab telpon ku, Erina. Kau tuli?!!!"
Suara bariton Theo mengagetkan Erina. Seperti biasa nada bicaranya sedikit membentak seperti saat bicara berhadapan langsung dengan Erina membuat telinga Erin panas.
"Oh... Maaf kak, aku sedang membaca buku yang tadi aku beli. Aku sudah izin pada mu kak, kalau kakak lupa", seru Erin tidak mau Theo marah padanya termasuk menceritakan bertemu dengan Bryant temannya di telpon. Erina berpikir saat Theo pulang nanti saja bercerita.
Sungguh hatinya kini merasa tidak nyaman. Ternyata Theo yang menelponnya, Erina pikir Bryant. Karena selama menikah tidak pernah sekalipun Theo menghubunginya. Biasanya Adam atau Revan yang menyampaikan pesan-pesan Theo untuknya. Sekarang untuk pertama kali Erin mendengar suara laki-laki itu melalui ponsel.
"Bagaimana di apartemen, apa semua baik-baik saja? Jangan lupa kunci pintu", ujar Theo.
"Iya kak. Sekarang hujan deras aku sudah di kamar takut kalau lampu padam–"
"Sayang ..makanan yang kita pesan sudah datang. Kamu sedang menghubungi siapa?"
Erina mendengar jelas kata-kata itu. Ia pun tahu pemilik suara itu. Spontan tangan Erina mencengkram kuat selimut yang menutupi sebagian tubuhnya.
Bahkan sepertinya ponsel Theo di ambil dan di matikan secara tiba-tiba ketika masih terhubung dengan Erin.
"Ternyata kak Theo tidak sendirian. Ia bersama Nella juga", ujar Erina memeluk kedua lututnya sambil menyandarkan wajahnya di sana.
Tiba-tiba perasaannya tidak enak. Mungkin karena saat ini merasakan kesunyian yang mendera. Ditambah sedang turun hujan deras, tiba-tiba membuat perasaan Erin mendadak sedih begini.
"Aku pikir kak Theo menunjukkan perhatiannya dengan menghubungi ku. Ternyata aku salah, ia hanya ingin tahu saja tentang keadaan apartemennya. Ia menganggap ku sebagai pelayan yang menjaga rumahnya saja.."
Kedua mata Erina terasa menghangat.
"Aku tidak meminta lebih, aku hanya berharap kak Theo bisa menganggap ku sebagai bagian keluarganya. Itu saja".
"Seperti ia memperlakukan aku saat ada tante Widya", ucap Erina dengan suara bergetar.
...***...
Bersambung...