Aliya harus menelan pil pahit saat tunangannya ingin membatalkan pernikahan lalu menikahi Lisa yang tak lain adalah adik kandung Aliya sendiri. Demi mengobati rasa sedih dan kecewa, Aliya memutuskan merantau ke Kota, namun siapa sangka dirinya malah terjerat dengan pernikahan kontrak dengan suami majikannya sendiri. “Lahirkan anak untuk suamiku, setelahnya kamu bebas.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shann29, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Udara malam masih terasa panas ketika mobil hitam yang dikendarai Angkasa meluncur keluar dari halaman kantor catatan sipil. Aliya duduk di kursi penumpang dengan kepala menunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat seolah mencari sedikit kekuatan dari dirinya sendiri. Dadanya terasa sesak. Ia baru saja resmi menikah dengan pria asing yang bahkan tak sekalipun menatapnya dengan lembut.
Di pelupuk matanya masih membekas bayangan dingin Tania ketika menyerahkan dirinya begitu saja. “Kabari aku jika ada kabar baik,” ucap wanita itu tanpa beban, seakan yang dimaksud hanyalah hasil dari sebuah eksperimen, bukan tentang kehidupan seorang manusia.
Aliya memejamkan mata. Ia tak tahu harus bersyukur atau menangis. Mungkin seharusnya ia merasa lega karena tidak benar-benar diseret ke kantor polisi, tetapi harga yang harus ia bayar sungguh terlalu mahal: masa depan, kebebasan, juga harga dirinya.
“Duduk tenang.” Suara berat Angkasa tiba-tiba memecah keheningan. Nada itu datar, nyaris tanpa emosi.
Aliya hanya mengangguk kecil. Ia memang sudah duduk tenang, tapi jantungnya berdegup tak terkendali.
Sepanjang perjalanan, tak ada kata-kata lain yang terucap. Mobil itu hanya diisi suara deru mesin dan detik-detik yang berjalan lambat. Sesekali Angkasa melirik melalui kaca spion, tetapi tatapan itu bukan penuh rasa ingin tahu melainkan sekadar memastikan bahwa penumpangnya masih ada di sana, diam, tanpa suara.
Setibanya di halaman sebuah rumah megah yang dikelilingi taman luas, Aliya tercekat meski tadi ia sudah sempat datang ke rumah ini. Bangunan bercat putih dengan arsitektur modern itu terlihat begitu indah, namun justru menghadirkan rasa asing baginya. Inilah rumah yang katanya akan menjadi tempat tinggalnya, tapi lebih mirip seperti penjara tak kasat mata.
“Turun.” Suara Angkasa kembali terdengar, singkat, dingin.
Aliya menurut. Kakinya melangkah pelan mengikuti langkah pria itu. Begitu pintu besar terbuka, aroma wangi bunga segar menyambut, bercampur dengan semilir pendingin ruangan. Rumah ini tak hanya besar, tapi juga berkelas.
Di ruang utama, seorang wanita paruh baya berseragam pelayan segera menghampiri. Rambutnya yang sudah mulai beruban digelung rapi, wajahnya bersih, sorot matanya penuh kewibawaan. Dialah Bibi Mar, kepala pelayan yang sudah belasan tahun mengabdi untuk keluarga Albirru.
“Tuan muda,” sapa Bibi Mar dengan sedikit membungkuk. “Selamat datang.”
Angkasa mengangguk singkat. Pandangannya kemudian beralih ke arah Aliya, lalu kembali ke kepala pelayannya.
“Bi, antar dia ke kamar utama selain kamarku.” Ucapnya dingin tanpa menyebut nama.
Bibi Mar menoleh ke arah Aliya, sedikit bingung. “Maaf Tuan muda, dia…?”
Seketika sorot mata Angkasa mengeras. “Dia istri keduaku. Mulai sekarang dia tinggal di sini. Dan Bi, dengarkan baik-baik, jangan sampai berita ini bocor keluar. Tidak boleh ada seorang pun tahu, termasuk Mommy dan Daddy. Jika sampai ada yang membocorkan, aku tidak segan-segan memecat siapa pun.”
Nada ancaman itu begitu jelas hingga membuat udara di sekitar mereka terasa berat. Bibi Mar hanya bisa menunduk dalam-dalam. “I-iya, Tuan muda. Saya mengerti.”
Aliya berdiri kaku di samping, wajahnya memerah menahan malu. Kata “istri kedua” itu begitu menusuk, seakan status dirinya hanyalah tempelan tanpa nilai.
“Antar dia,” ujar Angkasa lagi, lalu tanpa menoleh ia melangkah menaiki tangga menuju kamarnya sendiri.
Bibi Mar menarik napas pelan sebelum akhirnya menoleh pada Aliya. Ia memperhatikan wajah gadis muda itu yang tampak sembab, matanya bengkak seolah habis menangis sepanjang hari. Ada sesuatu di sana yang membuat hati wanita paruh baya itu terenyuh—campuran takut, bingung, sekaligus pasrah.
“Silakan ikut saya, Nak,” ucap Bibi Mar dengan nada lembut yang kontras dengan nada majikannya tadi.
Aliya menunduk sopan, lalu mengikuti langkah Bibi Mar melewati lorong panjang.
“Ini kamarmu,” kata Bibi Mar sambil membuka sebuah pintu besar bercat putih.
Aliya melangkah masuk. Kamarnya luas, lengkap dengan tempat tidur king size, lemari besar, meja rias, bahkan balkon kecil dengan pemandangan taman belakang. Semua begitu mewah, jauh melampaui imajinasi gadis desa sepertinya. Tapi kemewahan itu justru terasa asing, dingin, dan menekan.
“Terima kasih, Bu,” ucap Aliya lirih.
Bibi Mar tersenyum kecil. “Panggil saja Bi Mar, Nak. Semua orang di rumah ini begitu. Jangan sungkan.”
Aliya hanya mengangguk.
Bibi Mar menatapnya sejenak, seolah ingin memastikan kondisi gadis itu. “Kamu sudah makan?” tanyanya penuh perhatian.
Aliya menggeleng pelan. Sejak pagi ia belum menelan apapun selain air putih. Tenggorokannya terlalu kering untuk sekadar menyebut kata ‘belum’.
“Baiklah, nanti Bibi akan menyuruh pelayan menyiapkan makanan untukmu. Sekarang kamu bisa membersihkan diri dulu, mandi, istirahatlah. Hari ini pasti berat bagimu.”
Mata Aliya sedikit berkaca-kaca mendengar nada tulus itu. Ada kehangatan yang baru saja ia rasakan setelah sekian lama hidup dalam ketakutan. “Terima kasih, Bi Mar,” suaranya nyaris bergetar.
Wanita paruh baya itu menepuk pelan bahunya. “Kamu tidak sendirian di sini. Jika butuh sesuatu, jangan ragu panggil Bibi.”
Setelah Bibi Mar meninggalkan kamar, Aliya duduk di tepi ranjang. Kamar yang begitu indah itu terasa hampa. Ia menatap tangannya sendiri, menggenggamnya erat, berusaha menenangkan diri.
Pertanyaan demi pertanyaan menghantui pikirannya:
Apakah malam ini pria itu akan menyentuhnya? Apakah benar tujuannya hanya satu—untuk melahirkan seorang anak? Apakah setelah itu ia akan benar-benar bebas, atau justru makin terjebak dalam permainan yang lebih kejam?
Air mata kembali menetes tanpa bisa ia tahan. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, tubuhnya bergetar. Namun di balik ketakutan itu, ada secuil keyakinan kecil bahwa mungkin masih ada orang-orang seperti Bibi Mar yang bisa memberinya sedikit kekuatan untuk bertahan.
Dan di luar sana, Angkasa yang kini duduk sendirian di ruang kerjanya meneguk segelas whiskey. Ia memejamkan mata, mencoba mengusir rasa sesak di dada. Baginya, semua ini hanya kewajiban, bukan pilihan. Tapi entah mengapa, bayangan wajah gadis yang tadi menunduk pasrah itu tetap muncul di benaknya, membuatnya merasa terganggu.
jangan lengah,ntar kejadian lagi Aliya hilang
gak jauh jauh dari semesta kan kk Thor 😆...
udah 4 bulan ya dad 🤣🤣🤣