Argani Sebasta Ganendra adalah pewaris muda dari keluarga yang berdiri di puncak kejayaan. Ayahnya seorang CEO tambang emas, ibunya desainer ternama dengan butik yang selalu menjadi pusat perhatian sosialita. Semua yang ia butuhkan selalu tersedia: mobil sport mewah, sekolah elit dengan fasilitas kelas dunia, dan hidup yang diselimuti gengsi serta hormat dari sekitarnya. Di sekolah, nama Argani bukan sekadar populer—ia adalah sosok yang disegani. Wajah tampan, karisma dingin, dan status pewaris membuatnya tampak sempurna. Namun, di balik citra itu, Argani menyimpan ruang kosong di hatinya. Sebuah perasaan yang ia arahkan pada seorang gadis—sederhana, berbeda, dan jauh dari dunia yang penuh kemewahan. Gadis itu tak pernah tahu kalau ia diperhatikan, dijaga dari kejauhan oleh pewaris yang hidupnya tampak sempurna. Kehidupan Argani semakin rumit ketika ia dipaksa mengikuti jejak keluarga: menjadi simbol keberhasilan, menghadiri pertemuan bisnis, bahkan menekan mimpi pribadinya. Di satu sisi, ia ingin bebas menjalani hidupnya sendiri; di sisi lain, ia terikat oleh garis keturunan dan kewajiban sebagai pewaris
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASTORIA
Luar Basecamp
Suara motor yang sesekali melintas terdengar samar. Argani bersandar di dinding luar basecamp, menyalakan rokoknya dengan tenang. Arsela berdiri di sampingnya, melipat tangan sambil menatap wajah sang pacar yang terlihat dingin.
“Kenapa sih kamu tadi ngomong kayak gitu soal Latisha?” tanya Arsela tiba-tiba, nada suaranya lembut tapi mengandung rasa penasaran.
Argani menghembuskan asap rokok, menatap ke arah jalan kosong. “Ngomong kayak gitu gimana?”
“Ya… seakan-akan dia itu cewek jutek yang enggak bisa ditemenin. Padahal dari cerita Amora sama Zamora tadi, dia orangnya seru. Aku jadi penasaran, kenapa kamu sinis banget sama dia.” Arsela menyipitkan mata, mencoba membaca ekspresi pacarnya.
Argani hanya tersenyum miring. “Karena aku tahu tipe orang kayak dia, Sel. Banyak ngomong, sok akrab, tapi ujung-ujungnya ribet.”
Arsela mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat. “Atau jangan-jangan… kamu sinis karena kamu sebenarnya notice dia? Kamu kan kalau enggak suka sama orang, biasanya malah cuek. Bukan begini.”
Ucapan itu membuat Argani sempat terdiam. Ia cepat-cepat menunduk, mematikan rokoknya di tembok. “Kamu kebanyakan mikir, Sel. Buang-buang energi aja.”
Arsela tersenyum kecil, tapi matanya berkilat penuh rasa penasaran. “Hmm… aku enggak yakin. Intuisi cewek jarang salah loh, Gan.”
Argani mendesah, mencoba menutup obrolan. “Sudahlah, jangan bahas dia lagi. Fokus aja ke kita.”
Namun, ekspresi Arsela jelas menunjukkan kalau benih cemburu samar itu sudah tumbuh, meski ia berusaha menutupinya dengan senyum manis.
Rumah Latisha
Sinar sore yang hangat menembus tirai kamar. Latisha terbaring pulas di ranjangnya, napasnya teratur, wajahnya damai. Seakan semua drama yang orang lain perdebatkan tentang dirinya sama sekali tidak menyentuh hidupnya.
Pintu kamar terbuka perlahan, sosok kecil masuk dengan langkah terburu-buru. Amar, adik laki-lakinya yang baru beranjak remaja, langsung menggoyang pelan bahu kakaknya.
“Kak, bangun dong… udah jam empat sore.”
Latisha menggeliat malas, menarik selimut menutupi wajah. “Hmmm… bentar lagi, Mar…”
Amar cemberut. “Nanti kita telat ke supermarket. bunda udah siap dari tadi, tinggal nunggu kamu aja.”
Mendengar kata supermarket, Latisha beranjak, akhirnya membuka mata. Ia mengucek wajahnya sambil duduk. Rambutnya yang berantakan membuat Amar terkekeh.
Perjalanan ke Supermarket
Sore itu, halaman rumah terasa sejuk setelah gerimis kecil reda. Latisha sudah berganti pakaian santai: kaos putih longgar, celana jeans biru, dan rambut diikat sederhana. Amar tampak ceria dengan hoodie biru gelapnya, sedangkan bunda mereka memakai cardigan hangat dan kerudung lembut warna pastel.
Sebuah taksi online berhenti tepat di depan rumah. Supir menurunkan kaca jendela, tersenyum ramah.
“Latisha, ya? Ayo, silakan naik.”
“Siap, Pak,” jawab Latisha sambil membantu bunda masuk lebih dulu, lalu Amar, dan terakhir dirinya.
Di dalam mobil, Amar langsung heboh. “Kak, nanti kita beli sereal yang ada mainannya, ya! Aku udah nabung dari uang jajan!”
Latisha terkekeh. “Dasar bocah… yang kamu pikirin cuma mainan. Tapi oke deh, nanti kita cari.”
Bunda ikut tertawa kecil, menoleh pada keduanya. “Kalian berdua dari dulu memang selalu paling senang kalau urusan belanja. Padahal Bunda capek jalan lama-lama di supermarket.”
Amar merangkul lengan bunda, manja. “Tapi kan seru, bun,Kita bisa pilih camilan bareng, bisa nyicip tester kue, terus pulangnya bawa banyak kantong belanja. Itu kayak pesta kecil buat kita.”
Latisha tersenyum hangat, menatap adiknya. “Iya, Bun, Kadang aku juga mikir, belanja bareng kayak gini itu salah satu momen paling indah. Enggak perlu liburan jauh-jauh, asal kita bertiga kumpul aja udah cukup.”
Bunda terdiam sesaat, lalu matanya berkaca-kaca mendengar itu. Ia menggenggam tangan Latisha. “Kamu anak baik, Nak. Bunda bersyukur kalian masih bisa menghargai hal kecil seperti ini.”
Mobil pun melaju di antara jalanan sore Jakarta, dengan cahaya jingga matahari menyapu jendela. Di dalam taksi itu, tawa dan obrolan sederhana mereka membuat perjalanan terasa lebih dari sekadar rutinitas,itu adalah kebahagiaan kecil yang tidak tergantikan.
“Ya ampun, Kak, kayak singa baru bangun tidur.”
“Dasar bocah,” gumam Latisha, melempar bantal kecil ke arah adiknya. Amar tertawa sambil menghindar.
Tak lama kemudian, Latisha bangkit dengan malas, melangkah ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Dari cermin, ia tersenyum kecil. Tidak ada beban di matanya, hanya rutinitas sederhana yang harus dijalani.
Sore ini, ia hanya akan pergi bersama bunda dan Amar naik taksi online, membeli kebutuhan bulanan. Hidupnya terasa normal, jauh dari segala prasangka atau gosip yang orang lain pikirkan tentangnya.
Bagi Latisha, yang penting hanyalah keluarganya,bukan siapa yang membicarakannya di luar sana.