Yujin hanya ingin keluarga utuh dengan suami yang tidak selingkuh dengan iparnya sendiri.
Jisung hanya ingin mempertahankan putrinya dan melepas istri yang tega berkhianat dengan kakak kandungnya sendiri.
Yumin hanya ingin melindungi mama dan adiknya dari luka yang ditorehkan oleh sang papa dan tante.
Yewon hanya ingin menjalani kehidupan kecil tanpa harus dibayangi pengkhianatan mamanya dengan sang paman.
______
Ketika keluarga besar Kim dihancurkan oleh nafsu semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca Lavender, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka Suami yang Dikhianati
Hujan turun setelah Jisung tiba di apartemen, membasahi jendela yang sudah terlalu lama sepi. Jisung berdiri di depan kaca jendela, menatap riak air yang mengalir seperti pikirannya sendiri, berantakan, kacau, namun tetap bergerak.
Kediamannya terasa sangat sepi.
Tanpa Hana dan Yewon.
Tidak ada suara kecil yang meminta dibacakan dongeng sambil melompat ke kasur. Tidak ada tawa renyah Hana saat melihat putri mereka bertingkah. Semua itu lenyap.
Hana
Sejak pengakuan yang dibuat setelah mereka pulang dari rumah sakit, Jisung tidak bisa melihat istrinya dengan cara yang sama lagi. Meski Hana menangis, meski ia bersujud dan memohon maaf, Jisung tahu, ada sesuatu yang telah rusak secara permanen.
"Aku jatuh cinta dengan Jihoon."
Kalimat itu terucap dengan pelan namun jelas. Seperti pisau yang disayat perlahan ke dalam dada. Tapi yang paling menyakitkan bukan hanya pengkhianatan itu. Tapi karena di tengah semua rasa benci ini, Jisung masih mencintai Hana.
Hana cinta pertamanya di bangku kuliah. Hana yang hatinya susah payah ia taklukan. Hana yang pada akhirnya bersedia mengucap janji suci dengannya. Hana yang menjadi ibu dari anaknya. Rasa cinta itu tidak bisa hilang dalam semalam. Tidak bisa hilang bahkan setelah dihadapkan oleh pengkhianatan.
Tapi rasa cinta itu tidak bisa lagi menghalangi keputusan Jisung untuk menceraikan Hana. Hati Hana bukan untuk dirinya lagi. Parahnya, hati itu kini tertuju pada saudara kandung Jisung sendiri. Jisung tidak mampu mempertahankan pernikahan dengan wanita yang tega menghancurkan semua pihak di keluarga besarnya.
Malam itu, di tengah kesendirian, Jisung benar-benar hancur. Ia meluapkan kesedihannya dalam tangisan pilu. Ia menangis kencang dengan harapan ia akan segera terbangun dari mimpi buruk.
Tapi sekali lagi, ini bukan mimpi.
...----------------...
Keesokan harinya, Jisung kembali datang ke rumah Yujin. Ia harus mengantar Sunghan dan Yewon ke sekolah, sebelum dirinya sendiri berangkat kerja.
Begitu pintu dibuka, suara tawa anak-anak langsung menyambutnya. Sunghan dan Yewon sudah siap di ruang tamu. Mereka tertawa sambil melempar candaan beberapa kali. Yujin keluar dari dapur, mengenakan apron dan membawa nampan kecil berisi irisan buah.
“Kamu sudah datang,” sapa Yujin lembut, “mau sarapan dulu?”
“Aku sudah sarapan tadi,” jawab Jisung sambil menghampiri dua bocah kecil itu.
Yujin memasangkan tas di punggung Sunghan dan Yewon. Kemudian, terdengar derap kaki terburu-buru dari tangga. Sumin menghampiri mereka, lalu mengecup pipi Yujin.
“Aku berangkat dulu, Ma,” ucap Sumin yang langsung berjalan menuju pintu depan.
“Sumin,” panggil Jisung membuat Sumin berhenti dan menoleh, “berangkat bersama paman saja. Paman akan mengantar kamu setelah mengantar Sunghan dan Yewon.”
Sumin terdiam sebentar. Sejak memasuki bangku SMA, ia tidak pernah diantar dan selalu menaiki bus.
“Eum … tidak perlu, aku bisa naik bus,” tolak Sumin.
Jisung menggandeng Sunghan dan Yewon menuju Sumin, “paman antar saja. Kantor paman searah dengan sekolahmu.”
Sumin tampak ragu sebentar. Ia melihat Yujin, mamanya mengangguk sambil tersenyum. Lalu, Sumin pun segera menyusul Jisung memasuki mobil.
...----------------...
Mobil Jisung berhenti di depan sekolah Sumin. Gadis itu tiba di sekolah lebih awal dari biasanya karena diantar langsung oleh sang paman. Ia mengucapkan terima kasih sebelum keluar dari mobil. Saat memasuki gerbang sekolah, sudut matanya menangkap sosok Minho yang berjalan ke arahnya, tapi ia pura-pura tidak melihat dan terus berjalan ke depan.
"Sumin," panggil Minho yang kini menyamai langkah Sumin.
Sumin Hanya bergumam membalasnya. Ia tidak membenci Minho, sebaliknya, ia malah memiliki rasa pada teman sekelasnya itu. Tapi suasana hatinya sedang buruk akhir-akhir ini, jadi ia tidak punya energi untuk berinteraksi dengan orang lain.
"Kamu baik-baik saja?"
Lagi-lagi pertanyaan itu hanya dibalas dengan gumaman singkat. Minho sudah seperti anak kucing yang mengikuti langkah induknya. Tapi itu tidak bertahan lama, karena di detik berikutnya, Minho menarik lengan Sumin menuju belakang gedung sekolah.
"Minho! Lepas!"
Sumin terus memberontak sepanjang perjalanan, tapi Minho Hanya diam dan tanpa melonggarkan genggamannya pada lengan Sumin. Setelah sampai di belakang sekolah yang sepi, Minho memojokkan Sumin di dinding sekolah.
"Sialan! Mau apa kamu hah?!" berontak Sumin.
Minho memegang kedua lengan Sumin yang berusaha memukul tubuhnya.
"Sumin, tenang," ucap Minho berusaha menenangkan Sumin.
Perlahan, Sumin mulai tenang. Kedua tangannya masih digenggam oleh Minho. Wajah mereka berhadapan. Dan Minho bisa melihat genangan air mata yang siap meluncur kapan saja.
"Apa maumu?" gumam Sumin dengan suara lirih.
"Aku tahu kamu tidak baik-baik saja," balas Minho sambil menatap tepat di mata Sumin.
Saat itu juga, tangis Sumin langsung pecah. Minho menarik gadis itu ke dalam pelukan. Sejak awal, Minho tahu kalau sesuatu yang buruk telah terjadi di kehidupan Sumin. Walaupun Sumin adalah sosok yang dingin dan pendiam, tapi ia bukan gadis yang lemah dan ragu. Tapi belakangan ini, Minho bisa melihat keraguan dan kemarahan, bahkan kesedihan di dalam mata Sumin.
Mereka masih dalam posisi yang sama hingga beberapa menit. Sumin yang menangis sambil bersandar di dada Minho, sedangkan Minho merengkuh pinggang Sumin dengan sebelah tangan, tangan yang satunya digunakan untuk mengusap rambut Sumin yang tergerai.
Untuk pertama kalinya, Sumin menunjukkan sisi lemah di hadapan orang lain. Setelah berusaha terlihat kuat untuk melindungi mama dan adiknya, akhirnya ia bisa melepaskan emosi yang ia bendung. Sekuat apapun dirinya, Sumin masih seorang gadis remaja yang mendambakan perlindungan.
...----------------...
Setelah anak-anak tidur, Jisung duduk di balkon belakang. Akhir-akhir ini, ia memang sering melamun dengan pikiran yang melayang entah kemana. Saat ia sedang memandang langit malam, suara pintu geser membuatnya menoleh.
Yujin keluar membawa dua kaleng soju.
“Kamu butuh teman minum,” kata perempuan yang masih berstatus kakak iparnya.
Jisung tersenyum kecil dan menerima keleng itu, “terima kasih.”
Beberapa menit mereka Hanya diam. Hanya ada suara jangkrik dan angin yang berembus pelan.
“Aku tahu sulit untukmu menerima kenyataan tentang Hana,” ucap Yujin pelan, “kalau kamu ingin berbagi bebanmu, aku di sini.”
Jisung mengangguk sambil menatap uap teh yang mengepul, “aku masih mencintainya, Yujin.”
Yujin tidak terkejut. Ia tahu betapa besar cinta Jisung kepada istrinya.
“Meski aku tahu dia menghancurkan segalanya. Meski dia memilih Jihoon daripada aku. Aku masih tetap memikirkan dia setiap kali bangun tidur,” Jisung menghela napas lelah, “aku benci itu.”
Yujin meletakkan cangkirnya, bersandar pada sandaran kursi, “saat pertama kali tahu Jihoon selingkuh, aku hancur. Tapi bagian terburuknya adalah aku tetap menunggunya pulang. Aku masih berharap dia mengakui kesalahannya dan kembali padaku.”
“Dan dia tidak melakukannya,” imbuh Jisung seolah tahu benar perangai kakaknya.
Yujin hanya bisa menggeleng lemah.
Jisung menunduk dalam, “mereka terlalu egois.”
Yujin menoleh dengan mata sendu, “dan kita terlalu setia.”
...----------------...
Keesokan paginya, Yujin menyiapkan sarapan lebih banyak dari biasanya. Sunghan dan Yewon membantu dengan semangat. Suara riang mereka mengisi ruang dapur. Saat Jisung turun dari kamar atas dengan mengenakan kaus abu-abu dan celana panjang, ia terlihat jauh lebih santai dibanding pakaian kerjanya.
“Ada roti panggang,” kata Yujin sambil menyodorkan piring, “tapi gosong sedikit. Sunghan mengatur toasternya sendiri.”
Jisung tertawa kecil, “sempurna. Aku memang suka yang gosong-gosong.”
Tak lama kemudian, Sumin ikut bergabung di meja makan. Mereka duduk berlima di meja makan. Momen yang sederhana, tapi terasa nyaman. Kelima orang berbeda usia itu merasa nyaman sekaligus perih di dalam hati mereka. Rasa nyaman yang salah. Rasa nyaman yang tidak seharusnya. Tapi inilah kenyataan. Keluarga mereka sudah berantakan.
...🥀🥀🥀🥀🥀...