Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)
Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.
Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.
Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Hari-hari setelah sore itu berjalan pelan bagi Sekar. Meski Hanif sudah bicara dari hati ke hati, tetap saja suara-suara di kepalanya tak semudah itu diam. Ia masih sering mendapati dirinya terjebak dalam keraguan, terutama setiap kali melihat Yuna melintas dengan senyum penuh percaya diri. Senyum yang dulu membuat Sekar Yuna kalah sebelum sempat berperang.
Namun ada perbedaan kecil yang mulai tumbuh—perbedaan yang bahkan Sekar sendiri hampir tak menyadarinya. Bukan karena dunia mendadak jadi lebih ramah, tapi karena ada satu suara yang mulai ia izinkan berbicara lebih keras dibanding keraguan.
Kini, setiap kali rasa takut itu muncul, bayangan Hanif yang menunggunya di taman, mengucapkan kalimat sederhana “Aku tetap pilih kamu,” akan ikut hadir. Kalimat itu seolah mengisi celah-celah kosong di hatinya, menjadi penyeimbang bagi pikiran-pikiran buruk yang selama ini terlalu sering menang. Sekar masih takut, tentu saja. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak sendirian dalam ketakutannya.
Malam itu, rumah sakit sedikit lengang. Lampu-lampu lorong menyala redup, hanya menyisakan pantulan cahaya di lantai yang mengkilap. Suara langkah kaki bergema pelan, bercampur dengan bisik-bisik perawat yang lewat tergesa. Di antara keheningan itu, Sekar berdiri di depan ruang dokter, jari-jarinya melayang ragu di udara, tak kunjung mengetuk pintu.
Dari dalam, terdengar suara tawa beberapa rekan sejawat. Di antara gelak itu, suara Yuna terdengar jelas—renyah, tanpa beban, seolah keberadaannya selalu di tempat yang tepat. Sekar menarik napas dalam. Ia tidak punya urusan dengan mereka. Tidak ada kewajiban untuk masuk. Tapi entah kenapa, kakinya tak kunjung beranjak.
“Sampai kapan kamu mau terus lari kayak gini, Sekar?”
Suara itu datang dari belakang, cukup pelan, tapi membuat Sekar terlonjak. Hanif berdiri di sana, mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku, wajahnya tenang seperti biasa. Namun sorot matanya menyimpan sesuatu—bukan kemarahan, bukan paksaan. Hanya kejujuran yang telanjang.
“Aku nggak lari,” sanggah Sekar refleks, meski suaranya sendiri terdengar rapuh. Ia benci betapa mudahnya Hanif membaca kegundahannya.
Hanif tersenyum kecil, bukan senyum mengejek, melainkan senyum yang mengerti. Ia tidak menuntut jawaban lebih. Hanya mengangguk, lalu dengan gerakan santai, membuka pintu dan menyilakannya masuk.
“Kalau gitu, buktikan.”
Sekar menelan ludah. Kata-kata itu tidak datang sebagai ultimatum. Hanif memberinya pilihan: menghadapi, atau kembali terjebak dalam bayangannya sendiri. Ia tahu Hanif tidak akan memaksanya, tapi diam-diam Sekar juga tahu, selama ini ia terlalu sering memaksa dirinya untuk lari.
Dengan langkah kecil, Sekar masuk. Suasana di dalam ruangan langsung terasa berbeda. Lampu-lampu putih menerangi meja panjang yang dipenuhi berkas medis dan cangkir kopi. Beberapa dokter menyapa hangat, melontarkan senyum ramah yang tak pernah ia duga akan ditujukan kepadanya. Bahkan Yuna, dengan segala auranya yang memukau, sekadar mengangguk sopan tanpa nada mengejek.
Tidak ada konfrontasi. Tidak ada percakapan menyakitkan. Sekar hanya duduk di kursi kosong, mencoba menenangkan napasnya, mendengarkan diskusi medis yang berjalan. Mereka berbicara tentang kasus pasien, tentang prosedur terbaru, tentang hal-hal yang biasa, tapi terasa begitu besar bagi Sekar.
Lama-lama, ia mulai menyadari satu hal sederhana: dunia tidak memandangnya seremeh itu. Ketakutannya selama ini—takut dinilai tak sepadan, takut dibandingkan, takut dianggap bayangan dari masa lalu Hanif—ternyata sebagian besar bersumber dari pikirannya sendiri. Orang-orang di ruangan ini terlalu sibuk dengan urusan mereka untuk peduli pada kegelisahan kecil di sudut hatinya.
Di sampingnya, Hanif duduk tenang. Ia tidak banyak bicara, hanya sesekali menimpali diskusi dengan pendapat singkat. Tapi kehadirannya cukup sebagai jangkar. Setiap kali Sekar merasa pikirannya mulai melayang pada kecemasan, ia hanya perlu melirik Hanif, dan menemukan ketenangan di sana.
**
Kehadiran Yuna tetap ada, tetap menjadi bagian dari dinamika rumah sakit. Sosoknya masih melangkah anggun di lorong-lorong, terlibat dalam diskusi medis, atau sekadar menyapa staf dengan senyum ramah. Tapi entah sejak kapan, bayangannya mulai kehilangan daya untuk mengguncang Sekar. Ketakutan yang dulu mencengkramnya perlahan mengendur, berganti dengan kesadaran pahit—musuh terbesar bukanlah Yuna, melainkan pikirannya sendiri yang terus-menerus menciptakan skenario kekalahan.
Malam itu, rumah sakit mulai lengang. Sebagian besar lampu dipadamkan, menyisakan temaram di beberapa sudut. Sekar menyusuri koridor menuju ruang administrasi, hendak mengambil dokumen shift malam. Ia tidak menyangka akan berpapasan dengan Yuna di sana. Ruangan itu sunyi. Hanya ada mereka berdua.
Sekar hampir saja mundur, refleks lamanya masih bereaksi. Tapi kali ini, ia memilih bertahan.
“Aku nggak pernah berniat merusak apapun, Sekar,” ucap Yuna lebih dulu. Suaranya pelan, nyaris berbisik, namun jelas. Tidak ada nada tinggi, tidak ada aroma persaingan. Hanya kelelahan jujur dari seseorang yang lelah disalahartikan.
Sekar terdiam sejenak. Banyak kemungkinan respons melintas di kepalanya—mendebat, menghindar, atau sekadar pura-pura tidak mendengar. Namun yang keluar dari bibirnya justru kalimat yang mengejutkan dirinya sendiri.
“Aku tahu.” Ia menatap mata Yuna, tanpa gentar, tanpa getir. “Mungkin dulu aku takut, tapi itu salahku, bukan salah kamu.”
Hening menyelimuti ruangan sejenak. Sekar merasakan detak jantungnya sendiri, tenang, tak lagi berlari.
Yuna mengangguk perlahan. Sorot matanya bukan kemenangan, melainkan penghargaan. “Kamu perempuan yang kuat, Sekar. Hanif beruntung.”
Dulu, pujian semacam itu akan terdengar seperti sindiran bagi Sekar. Seolah-olah hanya formalitas belaka sebelum tusukan berikutnya datang. Tapi kali ini, Sekar merasakan ketulusan di balik kata-kata itu. Tidak ada kepura-puraan. Tidak ada persaingan.
Sekar tersenyum. Bukan senyum sinis, bukan senyum getir seperti biasanya. Tapi senyum yang tumbuh dari pemahaman. Untuk pertama kalinya, ia percaya pada kata-kata itu. Bukan karena Yuna yang mengucapkan, tapi karena dirinya sendiri yang memilih untuk percaya.
“Aku juga beruntung,” balas Sekar, lembut. “Karena aku belajar banyak, termasuk dari kamu.”
Kedua perempuan itu terdiam, namun keheningan di antara mereka tidak lagi terasa menyesakkan. Seolah-olah beban yang selama ini menghimpit dada Sekar perlahan-lahan menguap, membiarkan napasnya mengalir lega.
Yuna menurunkan pandangannya, menghela napas panjang. “Aku senang kamu tidak lagi menganggapku musuh, Sekar. Karena sejak awal, aku cuma ingin Hanif bahagia, apapun jalannya.”
Perkataan itu membuat Sekar teringat pada malam-malam penuh cemas, saat bayangan Yuna selalu hadir sebagai sosok sempurna yang mengancam kebahagiaannya. Tapi sekarang, ia tahu, kebahagiaan Hanif bukanlah kompetisi yang harus dimenangkan dengan cara menjatuhkan orang lain.
“Bahagia itu soal pilihan, bukan soal siapa yang menang,” ujar Sekar, setengah bergumam, lebih kepada dirinya sendiri.
Seketika, sesuatu yang dingin dan beku di hatinya retak pelan-pelan. Ia merasa lega. Bukan karena telah ‘mengalahkan’ Yuna, tapi karena ia berhenti bertarung dengan bayangan yang ia ciptakan sendiri.
Yuna melangkah mendekat, mengulurkan tangan. Gerakannya santun, tak memaksa. “Aku harap kita bisa mulai dari awal.”
Sekar menatap tangan itu. Dulu, mungkin ia akan berpaling. Tapi malam ini, ia menyambutnya. Genggaman mereka tak lama, namun cukup untuk menghapus jarak yang selama ini tak kasatmata.
“Terima kasih, Yuna,” kata Sekar, tulus. Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa damai.
Saat Yuna pergi meninggalkan ruangan, Sekar memandangi punggungnya dengan perasaan yang berbeda. Bukan iri. Bukan takut. Hanya penghargaan terhadap perempuan lain yang sama-sama berjuang dengan caranya sendiri.
Malam itu, di ruang administrasi yang sepi, Sekar menyadari satu hal penting: pertarungan terbesarnya selama ini adalah melawan rasa tidak aman di dalam dirinya. Dan malam ini, ia menang.
***