Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Di tengah keramaian pasar Wonokromo, Sri tiba-tiba berkata dengan semangat,
“Sri, beli es dawet dulu ya.”
Sri tersenyum dan mengangguk,
“Iya, Mas.”
Mereka pun berdiri mengantri di depan gerobak es dawet yang harum dan menggoda. Saat menunggu giliran, Grilyanto kembali membuka kenangan masa kecilnya dengan suara hangat dan penuh tawa.
“Kamu tahu, waktu kecil aku sering ikut nenek ke pasar,” ceritanya.
“Setiap kali aku habis makan dawet, aku selalu nggak sengaja memecahkan mangkoknya. Aku pikir mangkok itu kotor, jadi aku buang.”
Sri tertawa kecil tak bosan-bosannya mendengar kisah itu, membayangkan bocah kecil Grilyanto yang ceria dan sedikit nakal. Grilyanto melanjutkan,
“Orang-orang di pasar malah pada tertawa lihat aku. Tapi nenek selalu baik, dia yang selalu mengganti mangkok yang pecah itu.”
Momen itu membuat suasana antri menjadi lebih hangat. Sri semakin merasa dekat dengan kisah masa lalu suaminya, menambah rasa sayang dan pengertian dalam hati mereka.
Ketika giliran mereka tiba, Sri mengambil es dawet hangat dan manis itu, lalu mereka melangkah bersama melanjutkan perjalanan belanja mereka dengan senyum penuh kehangatan.
Setelah selesai berkeliling dan belanja di pasar Wonokromo, Grilyanto dan Sri berjalan pulang menuju rumah kontrakan mereka di Bumiarjo.
Udara siang mulai terasa hangat, tapi suasana hati mereka tetap ceria dan penuh semangat.
Sesampainya di rumah, Sri segera meletakkan barang belanjaan di dapur kecil mereka. Dengan suara lembut, ia berkata,
“Mas, aku masak dulu ya.”
Grilyanto tersenyum dan menganggukkan kepala sambil mengambil palu dari dalam tasnya.
“Aku juga ada kerjaan kecil, Sri. Aku mau pasang selambu di dapur biar lebih nyaman.”
Sri mengangguk, merasa senang melihat semangat suaminya dalam membangun rumah sederhana mereka. Grilyanto mulai bekerja dengan tekun, menancapkan selambu kayu itu di dinding dapur, sementara aroma harum bumbu masakan mulai tercium dari panci Sri.
Kedua hal sederhana itu—memasak dan memperbaiki rumah—menjadi bukti kecil cinta dan kebersamaan mereka dalam menjalani hidup baru.
Grilyanto menatap Sri dengan penuh perhatian,
“Mas, nanti malam kita jenguk ibu, ya?”
Sri mengangguk pelan, senyum haru terpancar di wajahnya.
“Iya, Sri. Mas juga mau membelikan kalung untuk ibu kamu sebagai tanda terima kasih dan penghormatan.”
Sri tersenyum bahagia mendengar itu, hatinya terasa hangat karena perhatian dan rasa sayang Grilyanto kepada keluarganya. Mereka pun berjanji untuk meluangkan waktu bersama mengunjungi ibu, mempererat tali kekeluargaan yang sudah mulai terbina.
Setelah selesai memasak, Sri dan Grilyanto duduk bersama di meja makan sederhana mereka. Aroma harum sayur asem dan empal daging yang baru matang memenuhi ruangan, menambah selera makan keduanya.
Grilyanto mengambil suapan pertama dan tersenyum puas,
“Enak sekali sayur asem dan empal dagingnya, Sri.”
Ia mengambil sedikit sambel terasi dan menambahkannya ke piringnya, lalu berkata,
“Sambel terasinya juga enak banget, Sri. Mantap sekali kamu memasaknya.”
Sri tersipu malu, tapi bahagia mendengar pujian suaminya. Mereka makan dengan lahap, menikmati hidangan sederhana yang penuh rasa dan cinta di rumah kecil mereka.
Sri menatap Grilyanto dengan penuh harap,
“Mas, kapan kita pulang ke Magelang? Ayo kita pulang, Mas. Mumpung Mas masih cuti. Sekalian beli kalung untuk Ibu, Mas." ucap Sri agar membelikan kalung untuk ibu yang ada di Magelang.
Grilyanto menghela napas panjang, terlihat sedikit berat hati, tapi kemudian tersenyum lembut.
“Baiklah, nanti kita ke toko emas beli kalung dua. Besok malam kita pulang ke Magelang.”
Keduanya pun saling tersenyum, siap menyambut perjalanan dan momen penting bersama keluarga besar mereka.
Malam itu, suasana rumah Ngagel terasa hangat dan penuh keakraban.
Lampu-lampu temaram menerangi ruang tamu, di mana Grilyanto dan Sri duduk bersama keluarga besar.
Suara tawa dan percakapan ringan mengisi udara, menciptakan suasana yang nyaman dan penuh kasih.
Setelah perjalanan panjang dari Surabaya, mereka akhirnya kembali ke akar keluarga, tempat kenangan dan harapan bertemu.
Grilyanto memandang Sri dengan lembut, menyadari bahwa malam ini bukan hanya tentang bertemu keluarga, tapi juga tentang menguatkan ikatan yang selama ini mereka bangun bersama.
Di tengah hangatnya kebersamaan itu, hati mereka penuh rasa syukur dan semangat baru untuk melangkah maju, melewati tantangan dengan cinta dan dukungan dari orang-orang terkasih.
Ibu Mariyati tersenyum hangat sambil memandang Grilyanto,
“Terima kasih, Gril, sudah belikan ibu kalung.”
Grilyanto membalas dengan senyum tulus dan menganggukkan kepala,
“Sama-sama, Bu.”
Sri ikut menambahkan dengan lembut, “Besok kita pulang ke Magelang, Bu.”
Suasana menjadi hangat dan penuh harapan, seolah mereka semua siap melanjutkan babak baru dalam hidup bersama keluarga yang saling menyayangi.
Ibu Mariyati menatap penuh perhatian pada Grilyanto dan Sri, lalu berkata dengan suara lembut namun tegas, “Hati-hati ya kalau pulang ke Magelang. Perjalanan jauh, jangan sampai kelelahan.”
“Tenang, Bu. Kami akan jaga kesehatan dan hati-hati di perjalanan.” Grilyanto mengangguk sambil tersenyum,
“Iya, Bu. Kami sudah siapkan semuanya dengan baik.” Sri pun menambahkan,
Ucapan ibu itu membuat suasana semakin hangat, penuh rasa sayang dan kekhawatiran yang tulus dari orang tua kepada anak-anaknya.
Malam itu, aroma harum ayam bumbu rujak memenuhi dapur rumah Ibu Mariyati.
Suara desisan di wajan dan bau rempah yang khas menciptakan suasana hangat penuh kehangatan keluarga.
Setelah menunggu beberapa saat, hidangan pun siap disajikan di meja makan.
Grilyanto, Sri, dan seluruh keluarga berkumpul mengelilingi meja, menikmati makan malam bersama.
Setiap suapan ayam bumbu rujak yang kaya rasa dan pedas manis itu menghangatkan tubuh dan hati mereka.
Percakapan hangat dan tawa kecil mengisi ruang makan, mempererat ikatan keluarga yang telah lama dirindukan.
Setelah makan malam yang hangat dan penuh keakraban, suasana mulai tenang.
Grilyanto dan Sri berdiri, saling bertukar pandang penuh rasa terima kasih.
Ibu Mariyati mengantar mereka ke pintu dengan senyum hangat, “Terima kasih sudah datang, jaga diri kalian di perjalanan pulang ya.”
“Kami juga berterima kasih, Bu. Semoga kita bisa berkumpul lagi segera.” Grilyanto membalas dengan tulus
“Sampai jumpa, Bu.” Sri mengangguk dan menambahkan
Dengan hati penuh kenangan manis dan doa dari keluarga, mereka pun beranjak pulang, melangkah menyusuri jalan menuju rumah kontrakan di Surabaya dengan harapan dan semangat baru.
Sesampainya di rumah kontrakan kecil mereka di daerah Bumiarjo, suasana malam terasa begitu sunyi dan damai.
Lampu ruang tengah dinyalakan, menyebarkan cahaya kekuningan yang hangat di seantero rumah.
Grilyanto membuka pintu perlahan, membiarkan Sri masuk lebih dulu, lalu menutupnya kembali dengan hati-hati agar tak membangunkan tetangga.
Sri langsung menuju kamar, membuka lemari kecil tempat mereka menyimpan pakaian.
Grilyanto meletakkan tas belanja dan oleh-oleh dari rumah Ngagel di atas meja, lalu menyusul istrinya.
Tanpa perlu banyak kata, mereka saling memahami bahwa malam ini harus digunakan untuk bersiap—karena esok adalah hari penting, pulang ke Magelang, kota kelahiran Grilyanto, tempat kenangan dan keluarga menunggu.
Sri mulai melipat pakaian satu per satu dengan rapi. Ia memasukkan beberapa kebaya, daster, dan kain panjang ke dalam koper kecil miliknya.
Grilyanto menyiapkan pakaian kerja, beberapa kemeja, dan celana panjang.
Mereka bekerja dalam diam, hanya sesekali saling melempar senyum, merasa tenang dalam kebersamaan yang sunyi namun penuh makna.
“Mas, jangan lupa bawa jaket. Di Magelang dingin,” ucap Sri sambil menyerahkan jaket abu-abu Grilyanto yang disimpannya dengan hati-hati.
“Iya, Sri,” jawab Grilyanto sambil tersenyum, lalu duduk di samping koper untuk memastikan semuanya cukup.
Setelah semua pakaian dan perlengkapan siap, Sri mengecek kembali keperluan kecil: obat-obatan, peralatan mandi, dan tentu saja oleh-oleh untuk keluarga Magelang yang tadi mereka beli dari Surabaya.
Tak lama kemudian, mereka duduk di sisi ranjang, saling memandang dengan lega.
Ada ketenangan di wajah mereka bukan hanya karena barang sudah siap, tapi karena hati mereka juga siap untuk menyambut perjalanan yang akan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan harapan akan masa depan.
Grilyanto menggenggam tangan Sri, “Besok kita pulang, Sri. Terima kasih sudah selalu mendampingiku.”
Sri hanya mengangguk, matanya berkaca-kaca. Malam itu, sebelum tidur, mereka tidak hanya menyiapkan pakaian untuk perjalanan ke Magelang.
Mereka sedang mempersiapkan hati, untuk pulang ke asal, mengenang, dan melanjutkan hidup bersama dalam satu langkah yang sama.