My Rich Husband

“Aku hanya menyadarkanmu,” balas George tak kalah garang. Ia kesal dengan Davis yang sembarangan memeluk dirinya bagai seorang kekasih. Jika ada orang yang melihat pasti akan salah sangka mereka gay, tapi beruntungnya mereka berada di dalam ruangan.

“Cinta memang bisa membuat orang menjadi gila, bahkan kau sekarang seperti bunglon. Selalu berubah-ubah, terkadang kau arogan, terkadang kau lembut, terkadang kau gila!” George menyerukan kata gila tepat di telinga Davis.

Davis menyumpal dengan sapu tangan yang selalu ada di saku depan jasnya ke mulut George yang sudah berani mengatakan dia gila bahkan berteriak di telinganya. “Lancang kau.”

George tak mau kalah, dia membalas Davis. Ia keluarkan sapu tangan dari dalam mulutnya, sudah bercampur dengan air liur dan jigongnya. Tapi tentu saja air liur dan jigongnya tak akan bau. Ia lemparkan benda itu ke wajah Davis. “Rasakan pembalasanku.”

“Kau menjijikkan!” murka Davis. Sapu tangan tepat mendarat dan terbuka lebar menutupi wajahnya.

“Salah kau sendiri menyumpalku, aku hanya mengembalikan apa yang menjadi milikmu.” George tertawa puas bisa membalas perbuatan Davis.

“Awas kau!” geram Davis memberikan sorotan tajam.

“Sudahlah, jangan seperti anak kecil! Kita kembali membahas hal yang penting. Rencana apa yang akan kau lakukan untuk merebut Diora.” George tak ingin berkepanjangan bertengkar seperti anak kecil dengan Davis.

Mereka pun akhirnya kembali ke topik, menyusun rencana-rencana yang akan mereka jalankan. Berbagai rencana mereka susun, bukan hanya satu rencana saja. Untuk berjaga-jaga jika satu rencana gagal, ia menyusun tiga rencana. Jika ketiganya gagal, maka mereka akan menyusun rencana yang baru.

“Bagaimana? Ideku bagus bukan?” seloroh Davis membangkan ide-ide yang dia sampaikan.

“Mmm ... aku sedikit tak setuju dengan kegilaanmu memisahkan mereka dengan cara licik, aku kira kau akan membuat Diora jatuh cinta denganmu.” tolak George.

“Kau ini sahabatnya atau sahabatku? Bisa-bisanya kau memihaknya daripada aku, kau sendiri yang mengatakan bahwa hampir tak ada celah bagiku merebut Diora, sebab Danzel orang yang sangat setia dan sangat mencintai Diora. Bahkan keluarganya pun menerima Diora dan merestui hubungan mereka,” tukas Davis. Ya, George memang mengatakan hal itu ketika mereka sedang merencakan misi mereka.

“Tapi rencanamu itu sungguh gila! Kau bukan seperti orang yang mencintai Diora, sebab jika kau mencintainya, kau seharusnya tak melakukan hal itu! Kau lebih seperti orang yang terobsesi dengannya,” tuduh George.

“Tidak perduli cinta ataupun obsesi, yang jelas aku tak ingin dia dimiliki orang lain! Tidak akan ada lagi kejadian seperti aku dan Gwen. Dulu aku terlalu naif, tapi sekarang aku bukanlah Davis yang dulu! Orang yang selalu mengalah dan mengedepankan kepentingan orang lain,” balas Davis. Dia memang sudah lelah menjadi orang yang selalu mengalah dan diam saja jika diinjak-injak. Peristiwa sepuluh tahun silam benar-benar sudah mengubah seluruh sifatnya.

George membuang nafasnya kasar, percumah menasehati orang yang sudah terobsesi dengan cinta. Dia hanya berharap tak akan ada orang yang terluka, meskipun itu tidak mungkin terjadi.

“Terserah kau sajalah,” ucap George malas. Meskipun ia pasti tetap akan membantu rencana Davis.

Kini Davis sudah bersiap untuk keluar kantor. Ia sudah memakai jaket yang sangat tebal karena masih musim salju.

“Mau kemana kau?” George menghadang Davis yang sudah keluar ruangan.

“Menemui bidadariku.” Davis mencoba menyingkirkan penggangu di hadapannya dengan mendorong ke samping tubuh sang pengganggu.

“Tidak bisa! Kita ada pertemuan penting malam ini. Jika kau ingin mengalahkan Danzel, kau harus lebih unggul darinya. Pertemuan malam ini akan membantumu untuk menaikkan derajatmu!”

Davis tak dapat menghindar lagi, meskipun dia sudah merengek untuk memberikannya kesempatan sebentar saja agar bisa bertemu dengan bidadarinya. Tapi George tak mau melepaskan pria yang tengah terobsesi cinta itu.